Pendidikan Kewarganegaraan
Sumber : Civitas, 1994, National Standards for Civics and Government, Center for Civic Education, U.S. Department of Education, hal. 157.
Kata Kewarganegaraan (Civics) berasal dari Yunani dengan istilah Civicus, yang berarti penduduk sipil (citizen) yang melaksanakan kegiatan demokrasi langsung dalam “polis” (negara kota) atau “City State”.
Sebagaimana diketahui bahwa negara kota yang tertua berada di daerah
Mesopotamia, diantara sungai Tigris dan Euphrates. Hal ini diungkapkan
oleh Glotz, Gustave dalam The Greek City and Its Institution (Encyclopedia International) : “ The
oldest city-state of which we are well informed grew up in the ancient
Near East – in Sumeria, the region of lower Mesopotamia between the
Tigris and Euphrates rivers – sometime betrween 4000 and 3000 B.C “.
(1977 : 443).
Negara
kota selanjutnya adalah Yunani, yaitu sekitar tahun 1000 – 500 sebelum
Masehi. Sebagai contoh misalnya Athena yang mengembangkan model
demokrasi. Praktek demokrasi langsung tersebut mencerminkan pelaksanaan
demokrasi politik penduduk dari negara kota. Setiap warga negara
berperan secara aktif dalam menentukan nasibnya maupun kehidupan
masyarakatnya. Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa “polis”
merupakan suatu organisasi yang berperan dalam memberikan kehidupan yang
lebih baik bagi warga negaranya, sehingga setiap warga negara berusaha
untuk mempertahankan “polisnya”.
Dalam kaitannya dengan peranserta warga negara dalam negara kota, Roger H. Soltau dalam bukunya An Introduction to Politics, menjelaskan sebagai berikut
“ The Greek city-states were indeed democratic in the participation
of all citizen, not only in the election of officials but in the daily
routine of administration and justice ; the pushed their belief in
equality to the extreeme of filling many posts by drawing lots,
on the assumption that one man was on the whole as good as
another “ (1960 : 162)
Dari
pandangan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa warga negara kota di Yunani
mengembangkan peran serta warga negara dalam kehidupan demokratis, tidak
hanya dalam pemilihan wakil-wakil rakyat secara resmi, melainkan pula
dalam kegiatan yang bersifat rutin sehari-hari baik dalam masalah
administrasi maupun aspek hukum. Sehingga dengan demikian suatu negara kota (polis), memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai negara dan sekaligus sebagai masyarakat.
Istilah Civicus tersebut kemudian diambil alih oleh Amerika Serikat untuk dipergunakan sebagai pengajaran demokrasi politik di sekolah-sekolah.
“Sebagaimana
diketahui pengetahuan tentang konstitusi di Amerika Serikat dimulai
sejak tahun 1790, yaitu setelah 14 tahun kemerdekaan negara tersebut
tahun 1776 dalam rangka meng-Amerika-kan (theory of americanization)
bangsa Amerika yang datang dari berbagai bangsa yang berbeda yang
beremigrasi ke Amerika Serikat setelah ditemukannya benua Amerika oleh
Christoper Colombus pada tahun 1492” (2001 : 294).
Rendahnya
pengetahuan rakyat Amerika mengenai konstitusi menyebabkan
dimasukkannya pelajaran Civics (kewarganegaraan) ke dalam kurikulum
sekolah pada abad ke sembilan belas. Sebagaimana dikemukakan oleh Stuart
Gerry Brown dari Syracuse University (Encyclopedia International) :
“Civics was introduced into the school curriculum during the
19 th century when large numbers of people were immigrating
into the United States and their children were often without
home instruction in American affairs. The National Education
Association and the United States Office of Education stimulated
Work of the schools and sponsore studies of appropriate methods
And materials of instruction “ ( 1977 : 446)
Dalam salah satu artikel tertua yang membahas Civics muncul dalam majalah The Citizen dan Civics yang terbit di tahun 1886, Henry Randall Waite merumuskan Civics sebagai the
science of citizenship, the relation of man, the individual, to man in
organized collection, the individual in his relation to the state “.
(2001 : 281)
Pentingnya pelajaran Civics diberikan di sekolah-sekolah antara lain dapat dilihat dari beberapa pengertian civics berikut ini :
1) Stanley Dimond (1970) mengungkapkan arti civic dengan “ Legal
status in a country and the activities closely related to the political
function : voting, governmental organizations, holding of public
office, and legal rights and responsibilities” (1970 : 36).
2) Carter Van Good (1972) menjelaskan pengertian civics dengan “The
elements of political science or that branch of political science
dealing with the rights and duties of citizens”. (1972 : 71).
3) The New Lexicon Webster International Dictionary (1977) mengungkapkan “Civics (L. Civicus), n., The political science of the rights and duties of citizens, and of civic affairs”. (1977 : 184).
Dalam
prakteknya para siswa mempelajari konstitusi, hak dan kewajiban warga
negara, hak azasi manusia, tugas-tugas lembaga negara dan lain-lain
hanya bersifat hafalan (by product) dan kurang melibatkan perubahan terhadap perilaku untuk menjadi warga negara yang baik (by process).
Arti Civics dalam
perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi “masalah hak dan
kewajiban” serta “pemerintahan” saja, akan tetapi berkembang menjadi “Community Civics”, “Economic Civics”, serta “Vocational Civics”.
Menurut Nu’man Somantri antara lain mengutip pandangan Van Good, (1945 : 71-72) mengungkapkan :
“Gerakan
“Community Civics” pada tahun 1907 yang dipelopori oleh W.A. Dunn
adalah permulaan dari ingin lebih fungsionalnya pelajaran tersebut bagi
para siswa dengan menghadapkan mereka kepada lingkungan atau kehidupan
sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional
maupun internasional. Gerakan “Community Civics” ini disebabkan pula
karena pelajaran Civics pada ketika itu hanya mempelajari konstitusi dan
pemerintah dengan kurang memperhatikan lingkungan sosial. Dengan
“Community Civics” ini dimaksudkan pula bahwa Civics membicarakan pula
prinsip-prinsip ekonomi dalam pemerintahan, usaha-usaha swasta, maupun
masalah pekerjaan warga negara” (2001 : 282)
Hampir bersamaan dengan timbulnya gerakan “Community Civics” yang dipelopori oleh W.A. Dunn tersebut di atas, ada lagi gerakan yang mirip dengan gerakan tersebut, yaitu “Civic Education” atau banyak pula yang menyebut dengan “Citizenship Education ”.
Gerakan
Pendidikan Kewarganegaraan itu muncul sekitar seratus sebelas tahun
setelah pelajaran civics diberikan di sekolah-sekolah di Amerika
Serikat, dimana para pendidik mulai merasa tidak puas terhadap
penyelenggaraan pelajaran civics. Mereka menganggap bahwa pelajaran civics
harus diperluas dan hendaknya lebih melibatkan aspek-aspek pendidikan
serta psikologi pendidikan dan mengikursertakan kebutuhan pribadi dan
masyarakat dalam pelajaran tersebut. Gerakan Pendidikan Kewarganegaraan
atau “Civic Education Movement”, dipelopori oleh Howard Wilson pada tahun 1901 (pada waktu itu beliau adalah Dekan dari School of Education University of California serta Ketua dari National Council for Social Studies atau NCSS).
Nu’man Somantri juga mengatakan, tanda-tanda dari Gerakan Pendidikan Kewarganegaraan tersebut adalah :
(1) Para pelajar harus terlibat dengan bahan pelajaran,
(2) Kegiatan dasar manusia (basic human activities) melandasi bahan pelajaran,
(3) Bahan
pelajaran Civics harus dikorelasikan atau diintegrasikan dengan
bahan-bahan ilmu sosial, sains, teknologi, etika dan agama agar bahan
Civic Education itu fungsional,
(4) Bahan
pelajaran Civic Education itu harus dapat menumbuhkan berfikir kritis,
analitis, kreatif agar para pelajar dapat melatih diri dalam berfikir,
bersikap dan berbuat yang sesuai dengan perilaku demokratis. Dengan
perkataan lain, para pelajar akan dilatih dalam menilai berbagai macam
masalah sosial, ekonomi, politik secara cerdas dan penuh rasa tanggung
jawab, agar propaganda serta agitasi politik yang tidak bernilai dapat
dihindarkan”. (1973 : 67)
Diperluasnya pelajaran Civics dapat dilihat dari beberapa pandangan para ahli berikut ini :
Chester W. Harris dalam Encyclopedia of Educational Research menyatakan :
“In
one sense citizenship education is concerned with the rights and duties
of the good citizen in a democratic society. This narrow definition of
citizenship emphasizes the political connotations of citizenship. In a
larger sense, citizenship education is concerned with the moral,
ethical, social and economic aspects of life as well as the political.
The trend in definition has been toward this larger meaning of
citizenship”. (1960 : 207)
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti sempit sama dengan Civics,
yaitu berkaitan dengan masalah politik, sedangkan dalam arti luas,
meliputi masalah moral, etika, serta aspek sosial ekonomi sebagaimana
juga politik.
Donald W. Robinson dalam bukunya Promising Practices in Civic Education mengatakan :
“
Civic Education is a process comprising all the positive influnces
which are intended to shape a citizen ‘s view of his in society. Civic
Education is, therefore, far more than a course of study. It comes
partly from formal schooling, partly from parental influence, and partly
from learning outside the classroom and the home. Through civic
education our youth are helped to gain an understanding of our national
ideals, the common good and the process “. More than ever before, civic
education today seeks to create citizens who are informed, analytic,
commited to democratic values, and actively involved in society. Because
civic education is a living process rather than a set of immutable
beliefs to be transmitted to youth, it accomplishes its objectives by
responding creatively to changing conditions. ( 1967 : 10-12).
Dari
uraian tersebut jelaslah bahwa ruang lingkup Pendidikan
Kewarganegaraan sangat luas, karena mencakup berbagai pengaruh positif
yang berasal dari pendidikan formal di sekolah, pendidikan orang tua di
rumah serta pendidikan yang diperoleh melalui belajar di luar kelas
maupun di luar rumah (masyarakat). Di samping itu, pendidikan
kewarganegaraan berupaya mengembangkan warga negara yang analitis,
menghargai akan nilai-nilai demokratis serta aktif dalam kegiatan di
masyarakat.
Berikutnya John J. Mahoney (Nu’man Somantri) mengungkapkan :
“ Civic
Education includes and involves those teaching, that type of teaching
method ; those student activities ; those administrative and supervisory
procedures which the school may utilize purposively to make for better
living together in the democratic way or (synonimously) to develop
better civic behaviors” (2001 : 283)
Definisi
tersebut telah memasukkan berbagai kegiatan sekolah seperti metode
mengajar, kegiatan siswa, masalah administrasi dan prosedur pengawasan
yang sesuai dengan tujuan sekolah yaitu membina kehidupan bersama yang
lebih baik dengan cara demokratis atau sama dengan mengembangkan
perilaku warga negara yang baik.
Pandangan lain diungkapkan oleh Jack Allen (Nu’man Somantri) :
“Citizenship
Education, properly defined, as the product, of the entire program of
the school, certainly not simply of the social studies program, and
assuredly not merely of a course of civics. But civics has an important
function to perform, it confronts the young adolescent for the first
time in his school experience with a complete view of citizenship
functions, as rights and responsibilities in democratic context”. (2001 :
283).
Dari
pandangan tersebut dapat diuraikan bahwa pendidikan kewarganegaraan
mengembangkan keseluruhan program sekolah, dimana berbagai pengalaman,
minat serta kepentingan-kepentingan seperti kepentingan pribadi,
masyarakat dan negara diwujudkan dalam kualitas pribadi seseorang.
Untuk mengembangkan kualitas pribadi warga negara, isi pelajaran
pendidikan kewarganegaraan sebagaimana pula isi bahan social studies
meliputi sumber bahan sebagaimana diungkapkan oleh Paul R. Hanna dan
John R. Lee berikut :
“The
content for a modern social studies program is drawn from various
sources. Three sources are easily identified in school practice :
1) That informal content found in the ongoing activities of the several expanding communities of men in which the pupil lives.
2) The
second source of social studies content is the formal disciplines of
the pure of semisocial sciences human geography, history, political
science, economics, sociology, anthropology, social psychology,
jurisprudence, philosophy and ethics, and linguistics.
3) A
third source of content is found in the response of pupils both to (a)
yhe informal events cited as the first source, and (b) the more formal
studies refered to as the second source”. (1962 : 62-63)
Dengan demikian materi Pendidikan Kewarganegaraan begitu luasnya karena meliputi pertama, bahan informal content,
yaitu bahan-bahan yang diambil dari kehidupan masyarakat sehari-hari
yang berada di sekitar kehidupan siswa. Bahan informal ini meliputi
bahan-bahan “yang saling bertentangan” (controversial issues),
yaitu adanya pandangan masyarakat yang pro dan kontra. Misalnya :
masalah lokalisasi wanita tuna susila, sumbangan dana sosial berhadiah,
masalah Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, masalah
tempat pembuangan akhir sampah, masalah lokalisasi pedagang kaki lima,
dan lain-lain. Di samping masalah “controversial issues”, juga masalah yang tabu (taboo) atau tertutup (closed areas) di dalam kehidupan masyarakat. Misalnya : masalah pendidikan seks (sex education),
jabatan sipil yang dipegang oleh tentara atau polisi, masalah gender,
masalah perkawinan dari insan sejenis dan lain-lain. Demikian pula yang
termasuk dalam informal content, adalah masalah yang dianggap
masih hangat atau yang sedang ramai dibahas masyarakat pada saat itu
dalam kehidupan sehari-hari (current affairs). Untuk itu setiap warga negara diharapkan peka terhadap berbagai informasi yang terdapat dalam media messa dan lain-lain.
Materi pendidikan kewarganegaraan yang kedua adalah formal disciplines,
yaitu bahan pendidikan kewarganegaraan yang diambil dari berbagai
disiplin ilmu sosial maupun semi sosial seperti : geografi, sejarah,
politik, ekonomi, anthropologi, sosiologi, psikologi sosial, hukum,
filsafat, etika dan bahasa.
Materi pendidikan kewarganegaraan yang ketiga adalah “The response of pupils both to the informal and the formal content” Dari
materi ketiga tersebut berarti pendidikan kewarganegaraan diperoleh
dari respon siswa terhadap bahan formal yang selama ini diberikan guru
serta bahan informal yang berasal dari kehidupan masyarakat.. Respon
siswa tersebut dapat positif dalam arti mendukung, dapat negatif dalam
arti menentang atau bersikap masa bodoh dalam arti tidak peduli dengan
masalah yang dibahas. Dari berbagai respon tersebut, diharapkan
guru-guru pendidikan kewarganegaraan akan dapat mengadakan koreksi,
perbaikan, perubahan atau tambahan terhadap bahan-bahan yang diberikan,
karena akan disesuaikan dengan kebutuhan siswa itu sendiri serta
pertimbangan-pertimbangan psikologis.
Pendapat
Paul R. Hanna dan John R. Lee tersebut kemudian diperkuat dan
ditambahkan oleh Jack Allen dengan materi pendidikan kewarganegaraan
yang keempat, yaitu “Sintese dari kebutuhan pribadi, kebutuhan
masyarakat dan kebutuhan negara”. (1973 : 99). Hal itu berarti
materi pendidikan kewarganegaraan perlu mempertimbangkan keseimbangan
antara kebutuhan pribadi, masyarakat dan negara dalam penerapannya di
lapangan.
Sedangkan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan menurut National Council for the Social Studies (NCSS) adalah :
1) Knowledge and skills to assist in solving the problems of our times.
2) Awareness of the effects of science on civilization and its use to improve the quality of life.
3) Readiness for effective economic life.
4) Ability to make value judgements for effective life in a changing world.
5) Recognition that we live in an open-ended world which requires receptivity to new facts, new ideas, and new way of life.
6) Participation in the process of decision making through expression of views to representative, experts, and specialist.
7) Belief in both liberty for the individual and equality for all, as guaranteed by the Constitution of the United States.
8) Pride
in the achievements of the United States, appreciation of the
contributions of other peoples, and support for international peace and
cooperation.
9) Use of the creative arts to sensitize oneself to universal human experience and to uniqueness of the individual.
10) Compassion and sensitivity for the needs, feeling, and aspiration of other human beings.
11) Development of democratic principles and application to daily life”. (1967 : 16 – 17).
Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
kewarganegaraan yaitu : 1) Warga negara memiliki pengetahuan serta
ketrampilan untuk pemecahan masalah yang dihadapi dewasa ini, 2) Warga
negara memiliki kesadaran adanya pengaruh sains dan teknologi terhadap
peradaban serta mampu memanfaatkannya untuk memperbaiki nilai kehidupan,
3) Warga negara memiliki kesiapan guna kehidupan ekonomi yang efektif,
4) Warga negara memiliki kemampuan untuk menyusun berbagai pertimbangan
nilai-nilai untuk kehidupan yang efektif dalam dunia yang selalu
mengalami perubahan, 5) Warga negara menyadari bahwa mereka hidup dalam
dunia yang terus berkembang, yang membutuhkan kesediaan untuk menerima
fakta baru, gagasan baru serta tata cara hidup yang baru, 6) Warga
negara dapat berperanserta dalam proses pembuatan keputusan melalui
pernyataan pendapat kepada wakil-wakil rakyat, para pakar dan para
spesialis, 7) Warga negara memiliki keyakinan terhadap kebebasan
individu serta persamaan hak bagi setiap orang yang dijamin oleh
Konstitusi, 8) Warga negara memiliki kebanggaan terhadap prestasi
bangsa, penghargaan terhadap sumbangan yang diberikan bangsa lain serta
dukungan untuk perdamaian serta kerjasama, 9) Warga negara mampu
memanfaatkan seni yang kreatif untuk meningkatkan perasaan terhadap
pengalaman manusia yang universal serta pada keunikan individu, 10)
Warga negara memiliki perasaan cinta kasih serta peka terhadap
kebutuhan, perasaan dan cita-cita ummat manusia, 11) Warga negara mampu
mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi serta melaksanakannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam fenomena berbagai konflik sosial dewasa ini, antara lain disebabkan tidak
diterapkannya pendidikan kewarganegaraan sebagaimana yang diharapkan
oleh tujuan tersebut di atas. Setiap anggota masyarakat mudah terpancing
oleh berbagai hasutan, intimidasi, provokasi yang mengakibatkan
kemampuan nalarnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mempersiapkan
warga negara yang mampu menentukan pilihan yang tepat diantara berbagai
macam alternatif yang terdapat dalam suatu masyarakat, merupakan tugas
utama dari pendidikan kewarganegaraan. Salah satu konsekuensi dari
masyarakat demokratis yaitu semakin luas dan kompleksnya pilihan-pilihan
bagi setiap orang, baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam
kehidupan masyarakat. Dengan semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mengikuti perkembangan zaman, maka semakin berat pula
tanggung jawab para pendidik. Hal tersebut berarti pendidikan
kewarganegaraan menjadi lebih penting.
Suatu
masyarakat demokratis yang bebas memerlukan peranserta dan kebebasan
yang bertanggung jawab dari warga negaranya. Untuk itu setiap warga
negara hendaknya memiliki kemampuan berfikir yang dapat dipergunakan
dalam memecahkan permasalahan. Mengenai pengertian berfikir, John Dewey
dalam bukunya How We Think, mengungkapkan :
“Thinking
is considered to be a process which involves the discovery of specific
links between what one does and what happens as a result of this action.
Thinking as “that operation in which present facts suggest other facts
(or truth) in such a way as to induce belief in the latter upon the
ground or warrant of the former” ( 1910 : 8-9).
Oleh karena itu dalam aktivitas berfikir terdapat adanya suatu penemuan
mengenai apa yang dilakukan oleh seseorang dengan apa yang akan terjadi
sebagai hasil dari aktivitas tersebut. Selanjutnya Dewey mencoba
mengungkapkan lima langkah dalam proses berpikir yang dapat diterapkan
dalam pemecahan masalah, yaitu :
(1) A feeling of perplexity,
(2) The definition of the problem,
(3) Suggesting and testing hypothesis,
(4) Development of the best solution by reasoning,
(5) Testing of the conclusion, followed by reconsideration if necessary (1910 : 10)
Dari
uraian tersebut jelaslah bahwa dalam pemecahan masalah diperlukannya
suatu proses yang berkembang dalam pikiran seseorang secara bertahap
yang dimulai dengan (1) Merasakan adanya suatu masalah, (2) Menyusun
batasan masalah, (3) Menyarankan serta melakukan tes terhadap pendapat,
(4) Mengembangkan pemecahan masalah yang terbaik dengan akal sehat,
serta (5) Menguji kesimpulan yang diikuti dengan pemikiran kembali jika
diperlukan. Terdapat beberapa tipe dalam berpikir yang diungkapkan oleh
David H. Russel dalam bukunya Children’s Thinking sebagaimana dikutip oleh John U. Michaelis yang meliputi : perceptual
thinking, associative thinking, inductive and deductive thinking,
critical thinking, problem solving and creative thinking. Berbagai macam tipe berpikir tersebut diuraikannya satu persatu sebagai berikut :
“Perceptual
thinking. This type of thinking is the least directive of the types of
thinking. It is most affected by environmental conditions and is based
on the child’s experiences. It is dependent upon the nature of the
stimulus situation, the capacity of the child’s receptors, and the state
of the organism rather than upon a definite problem or goal”. (1962 :
152)
Dari pendapat tersebut jelaslah bahwa berpikir perceptual sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana anak berada, seperti
lingkungan rumah dan sekolah. Dalam kaitannya dengan pola pikir
masyarakat, pada umumnya mereka yang memiliki tipe berpikir perceptual latar belakang pendidikannya masih rendah dan masih mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Selanjutnya adalah tipe berpikir associative.
“ Associative
thinking. This process involves reaction to a specific response in the
surrounding conditions, influences, or forces which affect it. It is a
type of thinking less involved than critical and creative thinking and
is more closely concerned with elements in previous experiences , recall
of specific happenings, and a logical succession of ideas than is
critical thinking or problem solving”. Since associative thinking is
loosely organized it may lapse into irrelevance, return to a path or
groove, or even start all over again”.( 1962 : 152).
Konsep berpikir associative
melibatkan reaksi siswa terhadap kondisi-kondisi yang ada di
sekitarnya. Di samping itu tipe berpikir ini kurang melibatkan kemampuan
berpikir kritis dan kreatif. Berikutnya adalah tipe berpikir induktif –
deduktif.
“ Inductive-deductive
thinking leading to concept formation. This type of thinking is
somewhat more directed in nature as compared with the types described
previously since it denotes more interrelationship and a more definite
conclusion. The development of concept seems to move along a continuum
from simple to complex, from concrete to abstract, from undifferentiated
to differentiated, from discrete to organized, and from egocentric to
nonsocial”. (1962 : 152).
Pada
konsep berpikir induktif dan deduktif, siswa mulai mengembangkan
kemampuan berpikirnya dengan mengadakan perbandingan terhadap kondisi
yang dihadapinya. Kemampuan membandingkan itu antara lain mulai dari
yang sederhana sampai yang kompleks, dari nyata kepada yang abstrak,
dari yang tidak berbeda kepada yang berbeda, dari yang terpisah kepada
yang terorganisir serta dari yang egosentris kepada non-sosial.
Berikutnya adalah tipe berpikir “critical thinking”.
“Critical
thinking. Critical thinking as defined in this section involves the
organization and unbiased examination of stimuli through comparison with
relevan, objective evidence and with norms of conduct and behavior, and
the formulation and verification of hypotheses. The extent to which a
child is able to think critically depends upon his background of
information, his attitude of acceptance or suspended judgment, his
skills in relating certain standards or values to the object or issue
involved, and his ability to approach the object or issue with
objectivity" ”1962 : 152)
Pada
kemampuan berpikir kritis telah terlibat di dalamnya suatu kemampuan
menguji tanpa sesuatu prasangka terhadap rangsangan yang dilakukan
melalui membanding-bandingkan hubungan dari berbagai peristiwa seperti
norma dengan kenyataan yang dihadapi. Kemampuan berpikir kritis sangat
tergantung dari berbagai latar belakang informasi yang diterima anak,
sikap serta ketrampilannya.
“Problem
solving. Problem solving is the process by which the child goes from a
task or problem as he sees it to a solution which, for him meets the
demand of the problem. The problem solving process varies with the
nature of the task, with the methods of attack known by the solver, with
personalcharacteristics of the solver, and with the total situation in
which the problem is presented”. (1962 : 153).
Dengan demikian dalam kemampuan berpikir Problem solving,
diharapkan anak mampu menemukan pemecahan permasalahan melalui suatu
proses. Proses pemecahan masalah itu bervariasi dengan tugas, metode
yang dikuasai, karakteristik individu serta situasi keseluruhan yang
dihadapi. Akhirnya David H. Russel mengungkapkan pengertian Creative
thinking :“ Creative thinking. Creative thinking is thinking that is
inventive, that explores novel situations or reaches new solutions to
old problems, or that results in thoughts original to the thinker”.
(1962 : 153). Dari uraian tersebut jelaslah bahwa yang dimaksud
dengan berpikir kreatif adalah suatu kemampuan berpikir yang mencoba
menemukan hal-hal baru atau pemecahan baru dalam menghadapi suatu
masalah dan merupakan pendapat baru yang orisinil atau asli.
Dalam
kaitannya dengan upaya warga negara untuk menemukan dan mencari
pemecahan terhadap masalah, John Dewey yang dikutip oleh John U.
Michaelis secara rinci mengemukakan pendapatnya mengenai proses
pemecahan masalah sebagai berikut :
1) Identification of the problem.
2) Comparison of the present problem with previous experiences.
3) Formulation of a tentative solution.
4) Testing the tentative solution.
5) Acceptance or rejection of the solution (evaluation). (1962 : 156)
Dari
uraian tersebut jelaslah bahwa dalam proses pemecahan masalah
dibutuhkan kemampuan siswa untuk : mengadakan identifikasi terhadap
masalah, mengadakan suatu perbandingan antara masalah yang dihadapi saat
ini dengan pengalaman yang baru lalu, merumuskan kesimpulan sementara,
mengadakan tes terhadap kesimpulan sementara dan akhirnya menerima atau
menolak kesimpulan tersebut (evaluasi). Dengan demikian dalam proses
belajar Pendidikan Kewarganegaraan dibutuhkan kemampuan dari setiap
warga negara untuk berpikir dan bertindak kritis dan kreatif.
Uraian
tersebut di atas, pada umumnya membahas peran aktif siswa untuk menjadi
warga negara yang baik. Di samping itu pendidikan kewarganegaraan di
sekolah disusun untuk mempersiapkan siswa agar berperan aktif dalam
masyarakat dan kehidupan orang dewasa. Sebagaimana diungkapkan oleh John
J. Cogan dalam tulisannya Developing the Civil Society : The Role of Civic Education : “ In
other words, civic education is the foundational course work in school
designed to prepare young citizens for an active role in their
communities in their adult lives” (1999 : 4).
Bagaimana
dengan peran aktif masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik ?
Apakah sama bahan pendidikan kewarganegaraan yang diberikan kepada para
siswa di sekolah dengan bahan untuk masyarakat ? Di Amerika Serikat
sendiri penggunaan istilah “Civic” dan “Citizenship” Education masih sering tertukar, sebagaimana pandangan John J. Cogan berikut :
“There
is one point which needs clarification before we proceed further. The
question is often raised regarding the difference, if any, between
“civic” and “citizenship” education. In the United States these terms
are generally used by educators interchangeably. However, I believe that
there is a distinction to be made although both elements are equally
important in one’s overall civic learning experience and preparation for
life in a democracy”. ( 1999 : 4).
Selanjutnya Cogan menyatakan :
“
Citizenship education, or ‘education for citizenship’ as I prefer to
say, is the more inclusive term and encompasses both these in-school
experiences as well as out-of-school or ‘non-formal/informal’ learning
which takes place in the family, the religious organization, community
organizations, the media, etc. which help to shape the totality of the
citizen. It focuses upon what the American educator, John Dewey, called
an ‘associationist’ concept of education” (1999 : 4)
Pandangan tersebut menjadi salah satu alasan membentuk organisasi Pusat Pendidikan Warganegara (Citizenship Education Center), karena menyangkut kepada kepentingan masyarakat. Berbeda dengan ‘Civic Education’ yang dikembangkan di tingkat persekolahan, maka Citizenship Education atau “Education for Citizenship’
merupakan istilah yang lebih inklusif dan mencakup kedua pengalaman di
dalam sekolah maupun di luar sekolah atau belajar formal/informal yang
terjadi di lingkungan keluarga, organisasi keagamaan, organisasi
masyarakat, media dan lain-lain yang membantu membentuk totalitas warga
negara.
Terdapatnya perbedaan penggunaan istilah civic dan citizenship di
Amerika Serikat dapat dimaklumi, karena asal usul kedua istilah itu
memang berbeda. Istilah Civics berasal dari bahasa Yunani, yaitu Civicus yang dalam bahasa Inggris berarti Citizen, sehingga dalam penggunaannya selalu tertukar.
Namun dalam disertasi ini, penulis memilih istilah Pusat Warganegara (Civic Center),
dengan alasan istilah tersebut lebih bersifat umum, dalam arti tidak
saja terbatas pada aspek pendidikan, akan tetapi berkembang kepada aspek
kemasyarakatan (community civics), aspek ekonomi (economic civics), dan aspek pekerjaan (vocational civics), di samping permasalahan pendidikan.
Selanjutnya dapat dilihat contoh Susunan Staf Organisasi Center for Civic Education sebagai berikut :
Tabel : 2.9
CENTER FOR CIVIC EDUCATION STAFF
Charles N. Quigley
(Executive Director)
Editorial Directors
Charles N. Quigley
Margaret S. Branson
Duane E. Smith
Senior Consultant and Advisor
R. Freeman Butts
Principal Research and Writers
Charles F. Bahmueller
Margaret S. Branson
Charles N. Quigley
Duane E. Smith
|
Staff Associates
Elaine Craig
Beth E. Farnbach
Michael Fischer
John Hale
Jack N. Hoar
Joseph S. Jackson
Kenneth Rodriguez
Assistant Editor
Theresa M. Richard
|
Public Information
Mark J. Molli
Tam Taylor
Art Direction
Richard Stein
Production
Sharon L. Bravo
Roslyn Danberg
Juliet F. De Souza
Patricia Mathwig
Valerie Milliani
|
CENTER FOR CIVIC EDUCATION BOARD OF DIRECTORS
Joseph Bergeron,Esq. Vice President State Bar of California
R.
Freeman Butts, William F. Russel, Professor Emeritus in the
Foundations of education Teachers College, Columbia University.
The Honorable Donald L. Clark. Superior Court, Santa Clara County Superior Court.
John F. Cooke, President The Disney Channel.
Jane A. Couch, Vice President for Resources Development, National Trust for Historic Preservation.
Thomas A. Craven, Esq. Diepenbrock, Wulff, Plant and Hannegan.
The Honorable Lawrence W. Crispo, Los Angeles County Superior Court.
H. David Fish, Education Legislative Services Inc.
|
C. Hugh Friedman, Professor School of Law San Diego University
Ruth M. Gadebusch, Former Member, Board of Education, Fresno Unified School District.
The Honorable Richard Ibanez Los Angeles County Superior Court.
The Honorable Napoleon Jones,Jr. San Diego Superior Court.
William L. Lucas, Assistant Superintendent, Retired, Los Angeles Unified School District.
Rev. Stephen P. McCall, Pastor Saint Mary Star of the Sea Catholic Church.
Joseph P. McElligott, Associate Director of Education, Division of Education, California Catholic Conference.
A. Ronald Oakes, Controller Retired, San Diego Unified School District.
|
Kenneth L. Peters Superintendent of Schools Retired, Beverly Hill Unified School District.
Jay J. Plotkin, Esq. Plotkin, Marutani and Kyriacou.
Leland R. Selna,Jr., Esq. Feldman, Waldman, and Kline.
Jonathan S. Shapiro, Assistant U.S Attorney, United States Department of Justice.
Robert B. Taylor, Field Services Division, Office of the Deputy Chief, University of Southern California.
The Honorable Benjamin Travis Oakland Superior Court.
Pearl West, former Director California Youth Authority.
|