Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

5/27/2012

Asal usul tradisi memberikan angpao sewaktu menyambut tahun baru Imlek



Sejak lama, warna merah melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan membawa nasib baik.

Angpao sendiri adalah dialek Hokkian, arti harfiahnya adalah bungkusan/amplop merah. Sebenarnya, tradisi memberikan angpao sendiri bukan hanya monopoli tahun baru Imlek, melainkan di dalam peristiwa apa saja yang melambangkan kegembiraan seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain-lain, angpao juga akan ditemukan.

Angpao pada tahun baru Imlek mempunyai istilah khusus yaitu "Ya Sui", yang artinya hadiah yang diberikan untuk anak2 berkaitan dengan pertambahan umur/pergantian tahun. Di zaman dulu, hadiah ini biasanya berupa manisan, bonbon dan makanan. Untuk selanjutnya, karena perkembangan zaman, orang tua merasa lebih mudah memberikan uang dan membiarkan anak2 memutuskan hadiah apa yang akan mereka beli.

Tradisi memberikan uang sebagai hadiah Ya Sui ini muncul sekitar zaman Ming dan Qing. Dalam satu literatur mengenai Ya Sui Qian dituliskan bahwa anak-anak menggunakan uang untuk membeli petasan, manisan. Tindakan ini juga meningkatkan peredaran uang dan perputaran roda ekonomi di Tiongkok di zaman tersebut.

Bagaimana bentuknya angpao di zaman dulu

Uang kertas pertama kali digunakan di Tiongkok pada zaman Dinasti Song, namun baru benar2 resmi digunakan secara luas di zaman Dinasti Ming. Walaupun telah ada uang kertas, namun karena uang kertas nominalnya biasanya sangat besar sehingga jarang digunakan sebagai hadiah Ya Sui kepada anak2.

Di zaman dulu, karena nominal terkecil uang yang beredar di Tiongkok adalah keping perunggu (wen atau tongbao). Keping perunggu ini biasanya berlubang segi empat di tengahnya. Bagian tengah ini diikatkan menjadi untaian uang dengan tali merah. Keluarga kaya biasanya mengikatkan 100 keping perunggu buat Ya Sui orang tua mereka dengan harapan mereka akan berumur panjang.

Jadi, dari sini dapat kita ketahui bahwa bungkusan kertas merah (angpao) yang berisikan uang belum populer di zaman dulu.

Makna Pemberian angpao

Orang Tionghoa menitik beratkan banyak masalah pada simbol-simbol, demikian pula halnya dengan tradisi Ya Sui ini. Sui dalam Ya Sui berarti umur, mempunyai lafal yang sama dengan karakter Sui yang lain yang berarti bencana. Jadi, Ya Sui bisa disimbolkan sebagai "mengusir/meminimalkan bencana" dengan harapan anak2 yang mendapat hadiah Ya Sui akan melewati 1 tahun ke depan yang aman tenteram tanpa halangan berarti.

Yang wajib memberikan angpao dan berhak menerima angpao

Di dalam tradisi Tionghoa, orang yang wajib dan berhak memberikan angpao biasanya adalah orang yang telah menikah, karena pernikahan dianggap merupakan batas antara masa kanak2 dan dewasa. Selain itu, ada anggapan bahwa orang yang telah menikah biasanya telah mapan secara ekonomi. Selain memberikan angpao kepada anak2, mereka juga wajib memberikan angpao kepada yang dituakan.

Bagi yang belum menikah, tetap berhak menerima angpao walaupun secara umur, seseorang itu sudah termasuk dewasa. Ini dilakukan dengan harapan angpao dari orang yang telah menikah akan memberikan nasib baik kepada orang tersebut, dalam hal ini tentunya jodoh. Bila seseorang yang belum menikah ingin memberikan angpao, sebaiknya cuma memberikan uang tanpa amplop merah.

Namun tradisi di atas tidak mengikat. Sekarang ini, pemberikan angpao tentunya lebih didasarkan pada kemapanan secara ekonomi, lagipula makna angpao bukan sekedar terbatas berapa besar uang yang ada di dalamnya melainkan lebih jauh adalah bermakna senasib sepenanggungan, saling mengucapkan dan memberikan harapan baik untuk 1 tahun ke depan kepada orang yang menerima angpao tadi.

Sumber Tulisan :
1. Sejarah Panjang Tahun Baru Imlek, Kim Tek Ie
2. http://jindeyuan.org/sejarah-panjang-tahun-baru-imlek/index.htm
3. Walter, Derek. The Complete Guide to Chinese Astrology: The Most Comprehensive
Study of the Subject Ever Published in the English Language, Watkin Publishing,
London, 2002
4. Berdasarkan penuturan turun temurun masyarakat Tionghoa Gorontalo

http://asalusulbudayationghoa.blogspot.com/2010/02/asal-usul-tradisi-memberikan-angpao.html


5/26/2012

Cara Membaca Kepribadian Orang Melalui Gaya Tulisan

Tahukah Anda? Setiap tulisan yang dibuat seseorang menggambarkan emosi dan kepribadian orang tersebut. Melalui ilmu baca tulisan atau grafologi, kita bisa membaca kepribadian orang hanya dengan melihat gaya tulisannya saja! Menurut riset, keakuratan analisa grafologi mencapai 80-90%. Jadi, tidak ada salahnya jika kita mencoba menggunakan teknik ini (saya sudah mengujinya ke diri sendiri dan ternyata cukup akurat).
Beberapa sifat yang bisa dilihat lewat tulisan seseorang:


1. Arah kemiringan huruf
Ke kanan = ekspresif, emosional
Tegak = menahan diri, emosi sedang
Ke kiri = menutup diri
Ke segala arah dalam 1 kalimat = tidak konsisten
Ke segala arah dalam 1 kata = ada masalah dengan kepribadiannya

2. Bentuk umum huruf-huruf
Bulat atau melingkar = alami, easygoing
Bersudut tajam = agresif, to the point, energi kuat
Bujursangkar = realistis, praktek berdasar pengalaman
Coretan tak beraturan = artistik, tidak punya standar

3. Huruf-huruf bersambung atau tidak
Bersambung seluruhnya = sosial, suka bicara dan bertemu dengan orang banyak
Sebagian bersambung sebagian lepas = pemalu, idealis yang agak sulit membina hubungan (terlebih hubungan spesial).
Lepas seluruhnya = berpikir sebelum bertindak, cerdas, seksama

4. Spasi antar kata
Berjarak tegas = suka berbicara (mungkin orang yang selalu sibuk?)
Rapat/Seolah tidak berjarak = tidak sabaran, percaya diri dan cepat bertindak

5. Jarak vertikal antar baris tulisan
Sangat jauh = terisolasi, menutup diri, bahkan mungkin anti sosial
Cukup berjarak sehingga huruf di baris atas tidak bersentuhan dengan baris di bawahnya = boros, suka bicara
Berjarak rapat sehingga ujung bawah huruf ‘y’, ‘g’, menyentuh ujung atas huruf ‘h’, ‘t’ = organisator yang baik

6. Interpretasi huruf ‘t’
Letak palang (-) pada kail ‘t’
- Cenderung ke kiri = pribadi waspada, tidak mudah percaya
- Tepat di tengah = pribadi yang kurang orisinil tapi sangat bertanggung jawab
- Cenderung ke kanan = pribadi handal, teliti, mampu memimpin
Panjang kail ‘t’ menunjukkan kemampuan potensial untuk mencapai target.
Tinggi-rendah palang (-) pada kail ‘t’
- Rendah = setting target lebih rendah dari kemampuan sebenarnya (kurang percaya diri atau pemalas)
- Tinggi = setting target tinggi tapi juga diimbangi oleh kemampuan
- Di atas kail = setting target lebih tinggi dibanding kemampuan

7. Arah tulisan pada kertas polos
Naik/menanjak = energik, optimis, tegas
Tetap/lurus = perfeksionis, sulit bergaul
Turun = seorang yang tertekan atau lelah, kemungkinan menutup diri

8. Tekanan saat menulis
Makin kuat tekanan, makin besar intensitas emosional penulisnya

9. Ukuran huruf
Makin kecil huruf yang ditulis, maka makin besar tingkat konsenterasi si penulis, begitu pula sebaliknya.

10. Sedikit tentang huruf “O”
- Adanya rahasia ditunjukkan oleh lingkaran kecil pada huruf “O”
- Kebohongan ditunjukkan oleh lingkaran huruf “O” yang mengarah ke kanan.



Sumber: http://hajingfai.blogspot.com/2011/12/cara-membaca-kepribadian-orang-melalui.html#ixzz1vzGOL2Zd. Diakses dan dishare pada hari, Sabtu, 26 Mei 2012, pukul 21:45 WIB

5/21/2012

POLITIK HUKUM (POLITICS OF THE LEGAL SYSTEM) ATAU KEBIJAKAN HUKUM (LEGAL POLICY)


POLITIK HUKUM (POLITICS OF THE LEGAL SYSTEM)  
ATAU KEBIJAKAN HUKUM (LEGAL POLICY) 
Oleh : Prof. Dr. Sofian Effendi 

1. Sebagai orang awam dalam studi hukum, saya merasa amat dihormati mendapat undangan sebagai salah seorang Pembicara pada acara bedah buku karya Prof. Dr. Moh. Mahfudz MD yang berjudul “Membangun 
Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”, terbitan Pustaka LP3ES, Jakarta. 


2. Pada penutupan bagian Pendahuluan buku ini penulis menyatakan ada 2 alasan atas penggunaan judul tersebut. Pertama, penulis ingin menunjukkan bahwa salah satu tugas utama politik hukum nasional adalah selalu mengawal dan mengalirkan hukum-hukum yang sesuai dengan dan dalam rangka menegakkan konstitusi. Kedua, penulis juga ingin menunjukkan bahwa pembangunan politik hukum nasional harus 
selalu dijaga agar tidak menyimpang dari aliran konstitusi dan sumber nilai yang mendasarinya. 


3. Dari uraian tersebut jelas sekali pandangan penulis bahwa hukum atau sistem legal nasional harus dipandang sebagai sistem yang holistik dan mencakup hubungan antara sistem sosial, sistem politik dan sistem ekonomi dengan sistem hukum. Pandangan ini menurut pandangan saya cukup berbeda dari pandangan kebanyakan para pengasuh pendidikan hukum, yang memandang hukum dalam perspektif yang terbatas dan mencakup hanya lembanga penegak hukum serta hukum positif sebagai 
produk utamanya. 


4. William M. Lawrence, mantan gurubesar Univ. John Hopkins adalah salah seorang pelopor dalam pengembangan pandangan holistik tentang hukum dan sistem hukum . Dalam tulisannya “American Law in the 20th Century”, Lawrence menunjukkan dengan jelas pandangan holistiknya tentang hukum (law) dan tentang  sistem hukum (legal system). Katanya “… bagi  banyak orang mungkin hukum hanya dimaknai 
sebagai berbagai lembaga penegak  hukum seperti polisi, kejaksanaan, pengadilan, mahkamah agung, serta hukum positif yang dihasilkan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut ..” Tetapi, katanya, hukum 
jauh lebih luas daripada lembaga penegak hukum, karena kenyataannya hukum amat mempengaruhi kehidupan masyarakat Amerika moderen. Hukum telah menjadi bagian dari  kehidupan masyarakat. Karena itu hukum tidak bisa lagi dilihat secara terisolasi dari masyarakat, tetapi telah merupakan bgian integral  dari kehidupan masyarakat, budaya hukum adalah sal;ah satu unsur dari budaya masyarakat. Sistem hukum 
tidak dapat dipisahkan lagi dari  sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial suatu masyarakat. Pandangan seperti tersebut dapat kita tangkap dari uraian Prof. dalam bukunya yang sedang kita diskusikan.  


5. Kebetulan mata kuliah  yang saya asuh sejak kembali dari studi di Amerika Serikat adalah Kebijakan Publik (Public Policy). Menurut studi Kebijakan Publik,  dalam melaksanakan fungsinya Pemerintah 
melakukan tindakan-tindakan kebijakan dalam bidang-bidang yang ditetapkan oleh konstitusi. Hukum (law) adalah salah satu instrument kebijakan yang digunakan pemerintah untuk melakukan tindakantindakan tersebut. Jadi, politik hukum sebagai terjemahan dari  legal policy, mempunyai makna yang lebih sempit daripada politik hukum sebagai terjemahan dari politics of law atau politics of the legal system. 


6. Studi kebijakan publik juga menganggap sistem kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh dua subsistem yaitu konfigurasi pemangku kepentingan (stakeholders) dan lingkungan sosial, politik, budaya dan ekonomi. Kalau kita teropong dari kacamata sistem kebijakan publik tersebut, arah kebijakan hukum amat dipengaruhi oleh siapa pemangku kepentingan yang paling dominan pengaruhnya terhadap suatu 
kebijakan hukum, kalau lingkungan hukum, termasuk etika tidak terlalu dijadikan landasan pertimbangan dalam penyusunan hukum sebagai produk kebijakan publik? 


7. Pendekatan yang digunakan oleh  penulis dalam memandang hukum atau sistem hukum lebih mendekati pendekatan Lawrence dalam studinya tentang Hukum Amerika pada Abad 20. Lawrence menunjukkan bahwa Amerika mengalami pergeseran sistem hukum karena perubahan lingkungan politik yang dialami oleh Pemerintah Amerika.  Pada masa-masa awal Pemerintahan Amerika pengaruh Bill of Rights dan  Supreme Court amat dominan  terhadap sistem hukum Amerika. Tahap selanjutnya adalah pemerintahan Welfare State di bawah kepresidenan Roosevelt  yang menghasilkan arah kebijakan hukum yang baru. Selanjutnya Amerika  berkembang menjadi kekuatan ekonomi dan politik dunia, dan sejalan dengan perubahan tersebut, 
terjadi perubahan dalam sistem hukum. 


8. Struktur buku “Membangun Politik  Hukum, Menegakkan Konstitusi” menunjukkan bahwa penulis sejalan dengan Lawrence dalam memandang politik hukum, yaitu sistem hukum akan berkembang dan 
berubah sesuai dengan kemajuan bangsa dan negara, atau konstruksi politik negara, sebagaimana diuraikan dalam bab-bab di Bagian II sampai dengan IV. Pada Bab I s/d III penulis menunjukkan bahwa salah 
satu unsur penting dari konstruksi politik yang harus menjiwai sistem hukum adalah falsafah dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Dalam pandangan Prof. Notonagoro, Pembukaan UUD 1945 adalah landasan dasar atau  staatsfundamentalnorms  bagi sistem hukum Indonesia, Bung Karno sebagai pencipta Pancasila bahkan menamakan dasar negara tersebut sebagai weltanschaaung  bagi bangsa Indonesia.  Dari sudut pandangan ini, penegakan konstitusi hanya mungkin terjadi kalau amandemen untuk menyempurnakan konstitusi dilakukan dengan tujuan untuk lebih meningkatkan pelaksanaan staatsfundamentalnorms 
tersebut.   


9. Dalam upaya menyesuaikan konstitusinya dengan perkembangan konfigurasi politik, kita menyaksikan adanya perbedaan yang nyata antara Amerika Serikat. Amerika Serikat menyesuaikan konstitusi dengan perkembangan konfigurasi politik melakukan pendekatan yang amat hati-hati dan dengan tetap  mempertahanan bangunan asli konstitusinya. Penyempurnaan dilakukan dengan tetap mempertahankan konstitusi yang  asli dan melakukan amandemen secara bertahap melalui prosedur amandemen yang cukup rumit, diusulkan oleh Congress dan harus disetujui oleh 2/3 negara bagian. Karena itu selama 230 tahun baru diadakan  amandemen sebanyak 27 kali. Dengan cara seperti tersebut, dapat dipertahankan adanya 
pemerintahan negara yang efektif dan stabilitas politik tetap terjada.  10. Sebaliknya Indonesia menempuh prosedur perubahan besar-besaran, kalau tidak mau dikatakan pergantian UUD, karena dari 199 ketentuan 
yang terdapat pada UUD baru, hanya 27 yang berasal dari UUD 1945 asli. Bentuk dan susunan pemerintahan negara R.I. mengalami perubahan mendasar, dan menghasilan pemerintahan negara yang tidak 
stabil dan tidak efektif, persis seperti ramalan para  constitutional framers hampir enam puluh tahun yang lalu.  Peringatan pak Mahfudz agar Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila harus menjadi landasan dalam pembangunan politik hukum dan sebagai landasan dasar dalam penyusunan hukum ternyata telah diabaikan oleh MPR. Hukum dasar atau  grondwet yang  mereka hasilkan dalam kenyataannya telah menyimpang dari falsafah dasarnya sebagaima tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. perkembangan  konfigurasi politik bangsa. Ternyata perubahan dinamika politik yang cepat karena didorong oleh Gerakan Reformasi pada 1998  telah mengobarkan nafsu untuk merombak UUD secara semena-mena. 


11. Pada tataran yang lebih rendah kita juga melihat terjadinya kekacauan dalam sistem hukum yang dihasilkan oleh UUD hasil amandemen yang semena-mena. Karena perimbangan kekuasaan yang berubah dalam sistem politik, dan karenanya juga dalam sistem hukum, UU yang dihasilkan banyak yang tidak dilandasi oleh ketentuan dalam UUD dan tidak lagi berlandaskan pada falsafah dasar yang seharusnya menjiwai semua produk dan perilaku sistem hukum Indonesia.  Jadi, cita-cita Prof. Mahfudz untuk “Membangun Politik Hukum (untuk) Menegakkan Konstitusi” nampaknya masih harus diperjuangkan bukan saja oleh para ahli hukum, tetapi juga oleh segenap bangsa Indonesia.  


Yogyakarta, 7 Agustus 2006 
   

Filsafat Hukum

PENGERTIAN FILSAFAT

Manusia memiliki sifat ingin tahu terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui manusia tersebut disebut pengetahuan. Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat) yaitu
pengetahuan indera,
pengetahuan ilmiah,
pengetahuan filsafat,
pengetahuan agama.

Istilah “pengetahuan” (knowledge) tidak sama dengan “ilmu pengetahuan”(science). Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan sistematika tertentu serta ilmu juga bersifat universal.

Adanya perkembangan ilmu yang banyak dan maju tidak berarti semua pertanyaan dapat dijawab oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat. Harry Hamersma (1990:13) menyatakan filsafat itu datang sebelum dan sesudah ilmu mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut Harry Hamersma (1990:9) menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ilmu (yang khusus) itu mungkin juga tidak akan pernah terjawab oleh filsafat. Pernyataan itu mendapat dukungan dari Magnis-Suseno (1992:20) menegaskan jawaban –jawaban filsafat itu memang tidak pernah abadi. Kerena itu filsafat tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah hal ini disebabkan masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan berubah, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah –masalah lama manusioa (Magnis-Suseno,1992: 20).

Filasafat tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa – apa yang menarik perhatian manusia angapan ini diperkuat bahwa sejak abad ke 20 filsafat masih sibuk dengan masalah-masalah yang sama seperti yang sudah dipersoalkan 2.500 tahun yang lalu yang justru membuktikan bahwa filsafat tetap setia pada “metodenya sendiri”. Perbedaan filsafat dengan ilmu-ilmu yang lain adalah ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan, sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan..Kesimpulan dari perbedaan tersebut adalah filsafat tersebut adalah ilmu tanpa batas karena memiliki syarat-syarat sesuai dengan ilmu.Filsafat juga bisa dipandang sebagai pandangan hidup manusia sehingga ada filsafat sebagai pandangan hidup atau disebut dengan istilah way of life, Weltanschauung, Wereldbeschouwing, Wereld-en levenbeschouwing yaitu sebagai petunjuk arah kegiatan (aktivitas) manusia dalam segala bidang kehidupanya dan filsafat juga sebagai ilmu dengan definisi seperti yang dijelaskan diatas.

Syarat-syarat filsafat sebagai ilmu adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan yang menyeluruh dan universal, dan sebagai petunjuk arah kegiatan manusia dalam seluruh bidang kehidupannya. Penelahaan secara mendalam pada filsafat akan membuat filsafat memiliki tiga sifat yang pokok, yaitu
menyeluruh,
mendasar, dan
spekulatif

itu semua berarti bahwa filsafat melihat segala sesuatu persoalan dianalisis secara mendasar sampai keakar-akarnya. Ciri lain yang penting untuk ditambahkan adalah sifat refleksif krisis dari filsafat

PEMBIDANGAN FILSAFAT DAN LETAK FILSAFAT HUKUM.

Terdapat kecenderungan bahwa bidang-bidang filsafat itu semakin bertambah, sekalipun bidang-bidang telaah yang dimaksud belum memiliki kerangka analisis yang lengkap, sehingga belum dalam disebut sebagai cabang. Dalam demikian bidang-bidang demikian lebih tepat disebut sebagai masalah-masalah filsafat. Dari pembagian cabang filsafat dapat dilihat dari pembagian yang dilakukan oleh Kattsoff yang membagi menjadi 13 cabang filsafat.

Seperti kita ketahui bahwa hukum berkaitan erat dengan norma-norma untuk mengatur perilaku manusia.Maka dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia, yang disebut etika atau filsafat tingkah laku.

PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM

Karena filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Maka obyek filsafat hukum adalah hukum. Definisi tentang hukum itu sendiri itu amat luas oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1986:2-4) keluasan arti hukum tersebut disebutkan dengan meyebutkan sembilan arti hukum.Dengan demikian jika kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum itu.Hukum itu juga dipandang sebagai norma yang mengandung nilai-nilai tertentu.Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai norma. Norma adalah pedoman manusia dalam bertingkah laku. Norma hukum diperlukan untuk melengkapi norma lain yang sudah ada sebab perlindungan yang diberikan norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain karena pelaksanaan norma hukum tersebut dapat dipaksakan.

MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT HUKUM

Dari tiga sifat yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain manfaat filsafat hukum dapat dilihat.Filsafat memiliki karakteristik menyeluruh/Holistik dengan cara itu setiap orang dianggap untuk menghargai pemikiran, pendapat, dan pendirian orang lain. Disamping itu juga memacu untuk berpikir kritis dan radikal atas sikap atau pendapat orang lain. Sehingga siketahui bahwa manfaat mempelajari filsafat hukum adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru.

ILMU ILMU LAIN YANG BEROBJEK HUKUM

Disiplin hukum, oleh Purbacaraka, Soekanto, dan Chidir Ali, di artikan sebagai teori hukum namun dalam artian luas, yang mencakup politik hukum, filsafat hukum, dan teori hukum dalam arti sempit atau ilmu hukum.

Dari pembidangan tersebut, filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang ilmu hukum, tetapi sebagai bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum. Teori hukum dengan demikian tidak sama dengan filsafat hukum karena yang satu mencakupi yang lainnya. Satjipto Raharjo (1986: 224-225) menyatakan, teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas. Teori hukum memang berbicara tentang banyak hal, yang dapat masuk ke dalam lapangan politik hukum, filsafat hukum, atau kombinasi dari ketiga bidang tersebut. Karena itu, teori hukum dapat saja membicarakan sesuatu yang bersifat universal, dan tidak menutup kemungkinan membicarakan mengenai hal-hal yang sangat khas menurut tempat dan waktu tertentu.

PENGERTIAN FILSAFAT, PERBEDAAN FILSAFAT DENGAN ILMU DAN SISTEMATIKA FILSAFAT.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan cabang filsafat yaitu filsafat tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikatn objek hukum. Dengan kata lain bahwa filsafat itu merupakan ilmu yang mempelajari sejara filosofis, yang mana objek dari filsafat hukum adalah hukum dan objek yang akan dikaji secara mendalam sampai ke akar-akarny. Dalam ilmu filsafat sangat erat kaitannya dengan ilmu hukum yakni ilmu melihat gejala-gejala hukum sebagaimana yang dapat kita amati dari perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakat.Dengan begitu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum tersebut tidak luput dari ilmu hukum.Norma (kaidah) hukum tidak termasuk dunia nyata (sein) tetapi pada dunia lain (solen dan mogeni) sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum. Seperti kita ketahuin objek dari filsafat hukum adalah hukum maka masalah yang perlu kita bahas baik dari ilmu filsafat maupun hukum adalah hubungan hukum dan kekuasaan, hukum dengan hukum kodrat, dan hukum dengan hukum positif.

PERBEDAAN FILSAFAT DENGAN ILMU

Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek [atau alam obyek] yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Prinsip-prinsip obyek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam kaitan-kaiatan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip metafisis obyek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicarikan oleh visi ruhani terhadap realitas tetapi oleh berpikir

Persamaannya
Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya
Memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya
Hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan
Mempunyai metode dan sistem
Hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia [obyektivitas].



Perbedaannya :


Obyek materil (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuau yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris.
Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error.
Filsafat lebih kepada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu


Filsafat memberikan penjelasan yang terakhri, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar [primary cause] sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder [secondary cause]



SISTEMATIKA FILSAFAT

Telah kita ketahui bahwa filsafat adalah sebagai induk yang mencakup semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri dari induknya, filsafat. Mula-mula matematika dan fisika melepaskan diri, kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu lain. Adapun psikologi baru pada akhir-akhir ini melepaskan diri dari filsafat, bahkan di beberapa insitut, psikologi masih terpaut dengan filsafat. Setelah filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata ia tidak mati, tetapi hidup dengan corak baru sebagai ‘ilmu istimewa’ yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.

5/20/2012

Politik Indonesia - Politik Sukhoi Jatuh: Inilah Nama 45 Jasad Korban yang Diidentifikasi

Politik Indonesia - Politik Sukhoi Jatuh: Inilah Nama 45 Jasad Korban yang Diidentifikasi

Politikindonesia - Sebanyak 45 jasad korban jatuhnya pesawat Sukhoi SuperJet 100 berhasil diidentifikasi oleh timn identifikasi gabungan DVI Mabes Polri. Identifikasi tersebut dilakukan berdasarkan sidik jari, DNA, gigi geligi, tanda medik dan properti korban jatuhnya Sukhoi di Gunung Salak, Bogor.

Data hasil kerja tim DVI Mabes Polri sama dengan manifest penerbangan Sukhoi SuperJet 100 ketika melakukan joy flight. Yaitu 45 orang korban yang terdiri dari 35 orang WNI dan 10 orang WNA.

"Ada 31 pria dan 14 orang wanita," ungkap Direktur Eksekutif DVI Indonesia, Kombes Anton Castilani saat jumpa pers di RS Polri Raden Said Soekanto, Jakarta, Minggu (20/05).


Berikut daftar nama korban yang berhasil diidentifikasi tim DVI Mabes Polri:

1. Donardi Rahman (Aviastar)

2. Nur Ilmawati (Sky Aviation)

3. Edward M Panggabean (Indo Asia)

4. Femi Adiningsih (Bloomberg News)

5. Ganis Arman Zuvianto

6. Darwin Pelawi (Pelita Air)

7. Kornel M Sihombing (PT Dirgantara Indonesia)

8. Anton Daryanto (Indonesia Air Transport)

9. Herman Suladji (Air Maleo)Aditya (Sky Aviation)

10. Stephen Kamagi (Indo Asia)

11. Aditya Rekodianti (Sky Aviation)

12. Ade Arisanti (Sky Aviation)

13. Dody Aviantara (Majalah Angkasa)

14. Didik Nur Yusuf (Majalah Angkasa)

15. Yusuf Ari Wibowo (Sky Aviation)

16. Edie Satriyo (Pelita Air)

17. Haidir Bachsin (PT Catur Daya Prima)

18. Salim Kamaruzzaman (Sky Aviation)

19. Henny Stevani (Sky Aviation)

20. Charles Peter Adler (Sriwijaya Air)

21. Insan Kamil Djatmika (Indo Asia)

22. Gatot Purwoko (Airfast)

23. Raymond Sukanto (Sky Aviation)

24. Faizal Ahmad (Indo Asia)

25. Rully Darmawan (Indo Asia)

26. Susana Famela Rompas (Sky Aviation)

27. Aditya Sukardi (Trans TV)

28. Maysyarah (Sky Aviation)

29. Arief Wahyudi (PT Trimarga Rekatama)

30. Santi (Sky Aviation)

31.Ismiati (Trans TV)

32. Maria Marcella (Sky Aviation)

33. Capt. Aan Husdiana (Kartika Airlines)

34. Rossy Withan (Sky Aviation)

35. Dewi Mutiara (Sky Aviation)

36. Anggraeni Fitria (Sky Aviation)

37. Thonam Tran (Snacma/Perancis)

38. Eugeny Alexandro Grebenshikov (Sukhoi)

39. Kristina Nikolaesna Kurzhuposa (Sukhoi)

40. Nikolay Dmitriesich Nartyshchenko (Sukhoi)

41. Alexey Nikolaesich Kirkin (Sukhoi)

42. Alexander Nikolaevich Yablontsev (Sukhoi)

43. Alexander Pavlovich Kochetkov (Sukhoi)

44. Denis Valerievich Rakhimov (Sukhoi)

45. Oleg Vasilevich Shvetsov (Sukhoi)

Sumber : http://politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=34474-Sukhoi-Jatuh%3A-Inilah-Nama-45-Jasad-Korban-yang-Diidentifikasi#.T7j_MtdoNWN.blogger, diakses Minggu, 20 Mei 2012, 9:29 PM

DIALEKTIKA


                                                                  
1.    Pengertian dan sejarah singkat
Dialektika pertama-tama merupakan suatu struktur atau metode filsafat yang berkembang melalui pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban. Pada zaman Yunani kuno, struktur filsafat semacam ini digunakan dalam karya-karya Platon. Dialektika platonisian merupakan suatu proses pemurnian ide lewat dialog-dialog yang bertujuan memperoleh definisi tentang sesuatu.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada Abad Pertengahan, struktur dialektika digunakan dalam Logika berupa silogisme-silogisme. Anselmus dari Canterbury, misalnya, melakukan pembuktian akan adanya Allah dengan argumen ontologis dalam karyanya Proslogion.
Pada zaman modern, Kant menunjukkan bagaimana pengetahuan selalu memuat sisi-sisi kontradiktif, dan karenanya juga selalu merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori dalam keaktifan akal budi dan unsur-unsur a posteriori dalam pengalaman inderawi. Pemikiran inilah yang mendamaikan rasionalisme yang dirintis oleh Descartes dengan empirisme yang dirintis oleh Bacon dan Hobbes yang kemudian dikembangkan oleh Locke, Hume, dan Berkeley.
Hegel bisa disebut tokoh terpenting dalam dialektika. Dia menunjukkan bagaimana semua logika bahkan sejarah dunia mengikuti suatu struktur dialektis di mana kontradiksi-kontradiksi sebelumnya “disimpan”, “ditiadakan”, sekaligus “diangkat” (aufheben) menuju suatu kebenaran yang lebih tinggi, dan akhirnya menyeluruh, absolut.

2.    Dialektika Hegelian
 Yang khas bagi filsafat Hegel adalah ciri proses[i]. Hal ini juga berarti bahwa menurut Hegel, kebenaran itu selalu menyeluruh, tidak pernah hanya partikular saja. Untuk mencapai kebenaran itu, Hegel menggunakan logika kontradiktif dan bukan logika non-kontradiktif atau prinsip identitas yang lebih “populer”.
Prinsip identitas atau logika non-kontradiktif menyatakan bahwa “A” adalah “A”, dan bukan “non-A”. Yang disebut “A” sama sekali tidak berhubungan dengan “non-A”; “A” sama sekali terisolir dari “non-A”. Sementara itu, logika kontradiktif menyatakan bahwa “A” itu “ada”, diketahui, juga karena “non-A”. Yang disebut “A” tidak pernah berdiri sendiri. “A” selalu berhubungan dengan “non-A”. Demikianlah dapat dimengerti bahwa prinsip identitas atau logika non-kontradiktif itu hanya bisa mencapai pengetahuan yang partikular saja, hal mana merupakan sesuatu yang “belum” benar menurut Hegel, sementara logika kontradiktif dapat mencapai kebenaran yang menyeluruh karena semua saling terkait dalam hubungan pembenaran dan penyangkalan.
Dalam arti inilah dialektika berarti: sesuatu itu hanya benar apabila dilihat dengan seluruh hubungannya, dan hubungan ini berupa negasi. Hanya melalui negasi kita bisa maju, kita dapat mencapai keutuhan, kita dapat menemukan diri sendiri.[ii] Hal ini tidak berarti bahwa yang disangkal, di-negasi itu sepenuhnya salah. Negasi atau penyangkalan dialektis tidak sekedar meniadakan, melainkan kebenaran yang disangkal itu tetap dipertahankan[iii]. Yang di-negasi itu aufheben, berarti disimpan, ditiadakan, sekaligus diangkat ke kebenaran yang lebih tinggi. Hal ini memperlihatkan struktur dialektika Hegel, yaitu tesis-antitesis[iv].

3.    Materialisme dialektis
Materialisme dialektis adalah istilah yang diberikan pada filsafat Marx oleh para pendukungnya di Uni Soviet[v]. Materialisme dialektis berusaha “mendamaikan”, “membuat dialog” antara materialisme dan idealisme, meskipun tekanan tetap diberikan pada materialisme. Materialisme mengacu pada pemikiran Feuerbach dan Marx yang menyatakan bahwa yang sungguh nyata adalah materi, dan bukan kesadaran.
Sementara itu, idealisme menyatakan yang sebaliknya, yaitu bahwa tidak ada apapun (materi) tanpa kesadaran. Kant, Fichte, Schelling, dan Hegel termasuk kaum idealis meskipun juga tidak sepenuhnya meniadakan peran materi[vi]. Materialisme dialektis berusaha mengenakan materialisme pada dialektika Hegel. Oleh karena itu, menurut materialisme dialektis, pertanyaan mendasar filsafat adalah: “Mana yang lebih penting: materi atau kesadaran?”[vii] Materialisme dialektis tetap berpendapat bahwa materi lebih penting, namun dengan cara yang berbeda dengan materialisme abad 18 yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara mesin dan makhluk hidup. Tokoh materialisme dialektis yang patut dicatat adalah K. Marx dan F. Engels.
Pertama-tama materialisme dialektis mengakui kebenaran penelitian-penelitian empiris tentang pikiran[viii]. Tidaklah sulit untuk memahami bagaimana seorang materialis menyetujui penelitian-penelitian empiris tentang otak, misalnya, untuk mendukung pendapatnya bahwa yang ada hanyalah materi. “Pikiran” menurut seorang materialis adalah rangkaian materi-materi, entah itu syaraf, darah, otot, sel-sel otak dan sebagainya, yang bekerja sedemikian rupa sehingga “hidup” dan “berpikir”, sebagaimana sebuah komputer adalah rangkaian VGA card, processor, RAM, power supply, dll., yang hidup dan bekerja. Namun seorang materialis dialektis tidak puas dengan materialisme sedemikian itu.
Penelitian-penelitian empiris tentu menghasilkan teori-teori. Nah, di samping mengakui kebenaran penelitian empriris, seorang materialis dialektis juga berpendapat bahwa di lain sisi, pikiran manusia tidak lagi membutuhkan apapun selain teori-teori yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian empiris itu sebagai syarat pengetahuan, syarat “kesadaran”.[ix] Di sinilah seorang materialis dialektis memberi ruang pada idealisme, namun juga sekaligus menutup ruang baginya.
Materialisme dialektis memberi ruang pada idealisme dengan menyatakan bahwa pikiran manusia itu “ada” (meskipun dengan tidak membutuhkan apapun selain teori-teori penelitan empiris). Dengan demikian, materialisme dialektis mengakui adanya subjek; suatu aku-yang-sedang-berpikir. Namun di lain sisi materialisme dialektis juga menutup ruang bagi idealisme dengan menyatakan bahwa pikiran tidak membutuhkan apa-apa lagi selain teori-teori yang dihasilkan oleh penelitian empiris sebagai syarat pengetahuan atau “kesadaran”. Teori-teori itu sudah cukup bagi pikiran manusia sebagai syarat “kesadaran” dan dengan inilah idealisme disangkal. Pikiran atau “kesadaran” adalah rangkaian teori-teori yang dihasilkan penelitian empiris.
Selain itu, materialisme dialektis juga menjelaskan hubungan antara pikiran dan materi. Hubungan itu adalah bahwa pikiran adalah bayangan, gambaran dari materi; dunia kesadaran adalah dunia materi yang “diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pikiran”. Demikianlah pikiran diberi bentuk-bentuk tertentu yang memungkinkan hubungan antara satu pikiran dengan pikiran yang lain. Di sinilah terjadi dialektika.[x] Pikiran-pikiran yang merupakan gambaran dari materi itu berdialektika sedemikian rupa sehingga membentuk “kesadaran”, pengetahuan.
Dengan demikian materialisme dialektis semakin menutup ruang bagi idealisme. Kesadaran, yang menurut idealisme merupakan hal yang penting, disangkal oleh materialisme dialektis hanya sebagai gambaran, bayangan materi saja. Demikianlah materialisme dialektis tetap berpendapat bahwa bukan kesadaran yang memberi bentuk kepada materi, melainkan materi-lah yang membentuk “kesadaran” melalui proses dialektika.
Sebagai implikasi lebih lanjut, materialisme dialektis juga memberikan kritik terhadap materialisme metafisis. Materialisme metafisis mengabaikan materi yang berkembang secara alamiah, mencoba mereduksi semua perubahan hanya pada perubahan kuantitatif saja, dan gagal menyelidiki kontradiksi-kontradiksi internal yang ada dalam kondisi alami materi sebagai sumber mendasar perubahan.[xi] Tentang hal ini dapat dinyatakan tiga “logika” materialisme dialektis:
a.      Kesatuan dalam pertentangan. Segala sesuatu memuat prinsip kontradiksi.
b.      Kuantitas dan kualitas. Perubahan kuantitatif dapat menyebabkan perubahan kualitatif juga.
c.       Negasi atas negasi. Perubahan adalah berarti menyangkal sesuatu yang berubah, dan hasilnya disangkal lagi, namun bukannya kembali lagi pada kondisi semula.

Materialisme dialektis tentu saja belum mencapai tujuannya karena merupakan filsafat “resmi” Uni Soviet yang ditandai oleh kekuasaan otoriter, tekanan-tekanan politis, dan ketakutan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana materialisme dialektis yang kritis bisa berkembang dalam situasi macam itu.
Oleh karena itu, materialisme dialektis masih memiliki tugas pada masa sekarang yaitu mencerahkan dunia dengan mencari dasar metafisika ilmiahnya dan mengatasi tantangan-tantangan ilmiah yang belum berhasil diatasi.[xii]


[i] Franz Magnis-Suseno, Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 60.
[ii] Magnis, Marx, hlm. 61.
[iii] Magnis, Marx, hlm. 62.
[iv] Banyak yang menyebut struktur dialektika Hegel triadik: tesis-antitesis-sintesis, sementara Hegel sendiri tidak pernah menggunakan istilah itu.
[v] Ted Honderich (ed.), The Oxford Companion to Philosophy (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 198.
[vi] Kant, misalnya, tetap menyatakan bahwa benda-pada-dirinya-sendiri, das ding an sich (the thing in itself), itu tetap ada meskipun tidak dapat diselidiki dan Schelling dengan pemikiran idealisme objektifnya.
[vii] Honderich, Philosophy, hlm. 198.
[viii] Honderich, Philosophy, hlm. 198.
[ix] Honderich, Philosophy, hlm. 198.
[x] Honderich, Philosophy, hlm. 198.
[xi] Honderich, Philosophy, hlm. 199.
[xii] Honderich, Philosophy, hlm. 199.



DAFTAR PUSTAKA

Honderich, Ted (ed.). The Oxford Companion to Philosophy. New York: Oxford University Press. 1995.

Magnis-Suseno, Franz. Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia. 2005.



5/18/2012

Foto Kreatif









Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana (Criminal Law)

Posted by Prasko, S.Si.T, M.H at Senin, Agustus 01, 2011

Asas legalitas merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan dari principle of legality. Ruba`i (2001) mengemukakan bahwa Von Feuerbach (1775-1833) murumuskan asas tersebut didalam bahasa latin yang sampai saat ini merupakan istilah yang seringkali digunakan oleh para pakar sebagai “Nullum delictum nullapoena sina praevia lege” yang artinya “Tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”.

Asas legalitas ini merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana. Pasal 1 ayat (1) KUHP mencantumkan asas legalitas ini sebagai berikut :

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.

Dari rumusan tersebut, dapat diartikan bahwa suatu perbuatan baru dapat dipidana jika :

1. Ada ketentuan pidana tentang perbuatan tersebut yang dirumuskan dalam Undang-Undang atau tertulis sebagaimana disebutkan dalam kalimat “atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan”.

2. Dilakukan setelah ada rumusannya didalam peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam kalimat “ketentuan perundang-undangan sudah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Dengan perkataan lain ketentuan pidana tidak berlaku surut (retro aktif).

Perkecualian terhadap larangan retro aktif atau berlaku surut ini dimungkinkan oleh pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi :

“Apabila ada perubahan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, maka haruslah dipakai ketentuan teringan bagi terdakwa”.

Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) tersebut, Ruba`i (2001) mengartikan bahwa larangan berlaku surut dapat disimpangi bila :

1. Sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan dalam perundang-undangan.

2. Peraturan yang baru lebih meringankan terdakwa.

Sumber :

Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Buku ku II, Prestasi Pustaka Publisher, h.59-61

Diakses tanggal 18 Mei 2012 sumber : http://www.prasko.com/2011/08/asas-legalitas-dalam-hukum-pidana.html

Pengertian Saksi dan Pengertian Korban

Pengertian Saksi dan Pengertian Korban 
oleh Rini Retno Winarni 
(Dosen Fakultas Hukum UNTAG Semarang) 
dalam Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat, Vol.8 No.2, April 2011, Penerbit Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang.

Didalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dikatakan bahwa, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia melihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri.
Selanjutnya di dalam pasal 1 angka 2 UU PSK (Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban) dikatakan, korban adalahseseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan / atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Dengan demikian apabila dicermati bahwa UU PSK pada dasarnya menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hanya secara fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi di antara ketiganya.
Hal senada juga dikatakan oleh Arief Gosita bahwa korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. 

Demikian juga menurut Muladi, korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik dan mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban diatas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian / penderitaan bagi diri / kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya.

Sumber :
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hal.40
Muladi, HAM dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal.108

Posted by Prasko, S.Si.T, M.H at Sabtu, Agustus 20, 2011

Diposkan ulang oleh Iwan Sukma Nuricht melalui : http://www.prasko.com/2011/08/pengertian-saksi-dan-korban.html diakses tanggal 18 Mei 2012.

5/17/2012

Dasar Hukum Pendidikan Kewarganegaraan secara Yuridis – Formal)



1)      Undang Undang Dasar 1945
§  UUD 1945 (alinia ke-4)
§  Pasal 31 ayat (1, 2, 3, 4 dan 5)

2)      UU No 20 tahun 2003 tentang SPN
§  Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa;
“ Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.


§  Pasal 2 menyebutkan, bahwa;
“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945”.


§  Pasal 4 menyebutkan, bahwa;
“Pendidikan Nasioanl berfungsi mengembangkan kemampuan dan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab”

§  Pasal 37 ayat (1);
“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat”;
a)      Pendidikan agama
b)      Pendidikan kewarganegaraan
c)      Bahasa
d)     Matematika
e)      Ilmu pengetahuan alam
f)       Ilmu pengetahuan sosial
g)      Seni dan budaya
h)      Pendidikan jasmani dan olahraga
i)        Keterampilan/kejuruan; dan
j)        Muatan lokal

§  Pasal 37 ayat (2);
“Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat”;
a)      Pendidikan agama
b)      Pendidikan kewarganegaraan; dan
c)      Bahasa

3)      Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Hasil Belajar Mahasiswa, telah ditetapkan bahwa; Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/ kelompok program studi.

4)      Keputusan Dirjen DIKTI No. 38/DIKTI/Kep/2002 jo Keputusan Dirjen DIKTI No. 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang; Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi.
Memuat’;
1.      Pendidikan Agama
2.      Pendidikan Kewarganegaraan
3.      Pendidikan Bahasa Indonesia


5)      PP No 19 Tahun 2005 tentang SPN (Standar Nasional Pendidikan)
6)      Permen 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
7)      Permen 23 Tahun 2006 tentang SKL (Standar Kompetensi Lulusan)
8)      Permen 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi
9)      Panduan Penyusunan Kurikulum KTSP

CCE Indonesia

Oleh : CCE Indonesia
http://www.cce-indonesia.org

CCE Indonesia is a non-profit organization involved in civic education program. A CCE Indonesia aim is to support the development of the civic education’s life that has responsibility from every citizen. In the year 2002, CCEI was built as a representative office of the Center for Civic Education (CCE) Calabasas, U.S. In December 2007, CCE Indonesia changed its form into a foundation named Yayasan Pusat Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia (YPPKI) or the Center for Civic Education Indonesia (CCE Indonesia).

Up to the present, CCEI has held training programs, exchanges, and other educational programs. More than 5000 teachers and educators have followed training programs in civic education held by the CCEI. CCEI also has more than 250 alumni from its exchange programs held since 2004.

PROGRAMS

I. Civic Education Trainings

1. Kami Bangsa Indonesia (KBI)/ We are the People


The model that CCEI uses in its civic education program is simple and successful in many provinces in Indonesia. CCEI which is based in Jakarta is assisted by teams of trainers in many provinces of its programs.

Selected teachers receive three days of intensive training, during which they complete a small-scale student project with other teacher trainees. The student-centered learning methodologies employed by the program create situations in which the teacher becomes the guide, and mentor, and the students take a more active role. Students working on KBI engage in a process where they learn what public policy is, identify a public policy issue that impacts them, and then work step-by-step towards a proposed new policy.


2. Foundations of Democracy


Foundations of Democracy is an innovative civic education strategy for primary school students which discusses basic concept of relationship between students and their families and the government.
In this Foundation of Democracy, CCEI uses three methodologies: Authority, Responsibility, and Justice, in accordance to values that Indonesian people hold. The Authority, Responsibility, and Justice are fun learning materials designed for kids where the students take active parts in the learning.

3. Indonesian Delegation in the International Project Citizen Showcase


More than 250 students from 31 countries gathered in America’s capital from July 15th - 17th 2007 to conduct live demonstrations of a remarkable international civic education program called Project Citizen (in Indonesia: Kami Bangsa Indonesia). This event was the first international event which was held to celebrate the success of Project Citizen Program implementation around the world. Indonesia was represented by eight of its very best students and a civic education teacher from Muhammadiyah 7 Junior High School Yogyakarta. After successfully presenting their project, Indonesian delegation achieved the “Superior Achievement Award”.

II. Exchange Programs


1. Indonesia Youth Leadership Program (IYLP)


IYLP gives students from all across Indonesia a chance to spend a month in the America, meet real American people, share cultures of Indonesia, and learn leadership skills and civic educations. Students are selected from provinces across Indonesia and reflect the diversity that is Indonesia in their ethnic backgrounds, races and religions. The program is held in collaboration with the Legacy International since 2004. The IYLP is sponsored by the U.S. State Department’s Bureau of Educational and Cultural Affairs and the U.S. Embassy, Jakarta. This program is still running until now.

2. Linking Individuals, Knowledge and Cultures (LINC): Students Exchange Programs Indonesia – America


LINC is a two-way exchange program, sponsored by the U.S. Department of State, Bureau of Educational and Cultural Affairs, created specifically so that Indonesian and American teens could meet and learn more about each other, one another’s nations and cultures LINC will promote mutual understanding between the people of Indonesia and the United States. Programmatic activities introduce Indonesian and U.S. students to the principles of civil society and youth leadership as they are practiced in the both countries. In this program, CCEI collaborated with Legacy International.

3. Religion and Society: A Dialogue (RSD)


RSD is a two-year, two-way exchange between religious scholars, clerics, and community leaders of Indonesia and the United States. Fourteen Indonesians and six Americans will travel each year, visiting four distinct regions in each other’s countries, where prestigious institutions will host them. This exchange will provide participating professionals with an opportunity to increase their knowledge of the counterpart country; to establish a dialogue about the scholarship and practice of religion (particularly Islam) in both countries; and to examine the compatibility of religious practice with democratic social and political values.

4. Community Leader Program (CLP)


Heartland International, in partnership with the Center for Civic Education/Indonesia, will implement a three-week educational training program focusing on strengthening private and community-based secondary education in Indonesia. Funded by the U.S. Embassy, this program will complement other Embassy initiatives designed to improve the quality of teaching and learning in primary and junior secondary public and private schools, and promote greater community involvement.

III. Camp Programs


1. Youth Theater Camp, "Promoting Tolerance and Dialogue through Interactive Theater in Eastern Indonesia"


Youth Theater Camp 2009 “Promoting Tolerance and Dialogue through Interactive Theater in Eastern Indonesia Program” was successfully held in Batu, Malang, East Java on June 22 – July 23, 2009. The program was successful in bringing together 100 teenagers from Pasuruan, Poso, Ambon and Lombok to learn theater as a toolbox of promoting tolerance and dialogue. Participants came from conflict areas, most of which are the victims of conflicts. During the 14 days camp program, they involved in activities which are based on theatre methodology for promoting tolerance and dialog. They learned to place themselves in the roles of other people in the conflicts, to find out the causes of conflicts, and to look for the best solutions.

2. English Camp


CCE Indonesia held a week-long camp, focussed on English education and leadership for 42 Indonesian students on September 11-18 2007. As part of the programmatic goals of the camp, as wide as possible cross section of students was sought, reflecting the ethnic, religious, cultural and linguistic diversity of Indonesia. The regions where students were recruited from included: Aceh, North Sumatra, Banten, Central Java, East Java, Southeast Sulawesi and Papua. In the program, students would never sit for more than 10 minutes at a time without engaging in some sort of physical activity or movement that forced them to use their already strong English skills.

Sumber Kutipan : http://www.cce-indonesia.org/index.html
diakses pada tanggal 17 Mei 2012; 11:37 PM

5/16/2012

Irshad Manji dan FPI: perspektif jalan tengah

Oleh : Budi Kurniawan
OPINI | 14 May 2012 | 08:30
 Kompasiana - Kolom "Humaniora-Sosbud"

Irshad Manji, nama yang baru saya kenal, bisa kenal gara-gara FPI dan tentu cover media Indonesia yang lebay. Saya cari bukunya dan karyanya di perpustakaan ANU, ajaib tidak ada, artinya Irshad Manji bukanlah orang yang diakui secara akademik. Tidak bisa berbahasa arab, tidak pernah menulis jurnal ilmiah hanya menulis buku curhat dan tentu saja blow up media seperti CNN, tetapi berani bicara tenatang Islam, kok bisa dirinya diundang oleh kampus tempat saya kuliah dulu, UGM.

Pemikiran Irshad Manji yang mengakui dirinya lesbian dan mencari dalil dari alQur’an menjadikan tema sentral penolakan atas dirinya. Betul umat Islam seluruh dunia ijma bahwa lesbian adalah haram, dilarang oleh AlQur’an secara tegas. “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka:` Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” (QS. Al A’raaf Ayat 80). Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.(QS. Al A’raaf Ayat 81). Bahkan fatwa Imam Syafiee terhadap pelaku gay dan lesbian adalah dirajam bahkan Imam Ahmad dibakar hidup-hidup.

Yang kemudian menjadi persolan adalah apakah betul Irshad Manji bebas bicara dengan alasan kebebasan akademik dan demokrasi? Yang perlu kita garisbawahi adalah Indonesia memang negara demokrasi tetapi tidak ada kesepakatan tegas bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi liberal dimana orang bebas bicara walaupun bertentangan dengan syariat agama. Di baratpun dimana saya tinggal gay dan lesbian bebas hidup tetapi mereka masih dilarang menikah dan tidak pernah mengakui bahwa gay dan lesbian adalah bagaian dari ajaran kristen atau Yahudi. Yang sudah jelas Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa pasal 29 UUD 1945 dan sila pertama Pancasila. Itu artinya demokrasi di Indonesia dibatasi atas ketuhanan yang maha esa. Orang bebas bicara selama tidak melanggar nilai ushul ajaran Islam. Kita bebas berdebat apalah zakat profesi itu ada atau tidak kerena itu masalah ijtihadiah. Namun, kita tidak boleh berdebat tentang ajaran pokok atau ushul agama seperti Nabi Muhammad Rasul terakhir, sholat fardhu itu ada lima, babi itu haram dan lesbian dan gay itu dilarang. Jika ada yg mengatakan gay itu boleh silakan dia berkata tetapi jangan mengatakan itu ajaran Islam. Sama kiranya jika ada yang mengaku kristen, namun mempercayayai bahwa Jesus itu adalah wanita dan dia adalah titisan Jesus. Boleh berkata seperti itu namun harus juga berani bilang bahwa saya bukan kristen tetapi saya agama x. Jika hal ini diberi sebuah kebebasan, tanpa ada pembatasan, jangan heran nantinya akan ada ajaran yang mengakui kucing adalah tuhan dan dirinya adalah rasul namun mengaku Islam.

Lalu apa yang salah dengan FPI atau MMI, menurut saya jika ajaran lesbian ala Irsad Manji ini terkenal luas di Indonesia, maka yang pertama kali harus disalahkan adalah FPI. Setiap tidak tanduknya FPI ini tidak pernah memperhitungkan manfaat dan kemungkaran yang timbul dari cara nahi munkarnya. Alih-alih menegakkan syariat, yang terjadi sebenarnya dengan cara kekerasan, justru subhat dan pemikiran Irshad Manji menjadi terkenal luas dan bukunya didownload oleh banyak orang. Coba yang baca orang awam, bisa jadi tambahlah pengikut ajaran Irshad Manji. FPI tidak pernahkah memperhatikan ayat al qur’an “Serulah (manusia) kpd jalan Rabbmu dgn hikmah dan pelajaran yg baik dan bantahlah mereka dgn cara yg lebih baik.” [An-Nahl: 125]. Pernahkah FPI atau MMI memperhatian bagaimana perintah Allah kepada Musa dan Harun ketika berdakwah kepada Fir’aun, Firaun itu bahkan kemaksiatannya lebih parah dari sekedar lesbi, dia mengambil hak Allah dengan mengaku Tuhan, tetapi apa perintah Allah kepada Musa dan Harun : Maka berbicalah kamu berdua kpdnya dengan kata-kata yg lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.” [Thaha: 44]

Semangat agama saja tidak cukup, perlu berlajar dan pemahaman yang benar tentang manfaat dan mudarat yang timbul dari tindakan nahi munkar., coba perhatikan bagaimana pertimbangan Ibnu Taimiyah, ketika melihat maksiatnya tentara tar-tar. Ketika IbnuTaimiyah berjalan-jalan bersama para sahabatnya, mereka melihat sebagian orang Tartar sedang minum minuman keras, mabuk-mabukan.Sebagian sahabatIbnu Taimiyah mencela tindakan orang-orang Tartar itu dan hendak melarangnya. Namun Ibnu Taimiyah mencegah sebagian sahabatnya dan berkata : “Biarkan saja mereka. Sesungguhnya Allah melaranh khamar itu karena ia dapat membuat orang tidak melakukan shalat. Tetapi orang-orang itu, dengan minum khamar, justru membuat mereka tidak membunuh, menawan orang, dan merampok harta benda rakyat.Jadi, biarkan saja mereka”. Coba kita perhatikan cuplikan sejarah diatas. Orang mabuk dibiarkan saja, padahal itu maksiat, karena pertimbangan jika mereka tidak mabuk maka akan banyak darah yang tertumpah maka maksiat tadi dibiarkan. Kembali ke Isrhad Manji, coba didiamkan saja, paling yang hadir di diskusi Irshad Manji yang jumlahnya terbatas yang termakan subhat Irshad Manji, saya pun mungkin akan tidak tahu ada lesbi yang bernama Irshad Manji.

Akhirnya semoga kita berlindung dari Allah dari sifat merubah dan mengakali syariat Allah seperti cara beragama orang yang Allah murkai (liberal tanpa batas), dan bergama hanya dengan semangat tanpa ilmu dan pemahaman seperti orang yang Allah sebut dengan sesat. Itulah tafsir surat Al Fatihah ayat 7, ayat yang kita baca setiap sholat kita.

Wallahu’alam

Canberra minus 4 ;)




Sumber Kutipan : http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/14/irshad-manji-dan-fpi-perspektif-jalan-tengah/, diakses tanggal 16 Mei 2012, pukul 8:40