1.
Pengertian
dan sejarah singkat
Dialektika pertama-tama merupakan suatu struktur atau metode
filsafat yang berkembang melalui pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban.
Pada zaman Yunani kuno, struktur filsafat semacam ini digunakan dalam karya-karya
Platon. Dialektika platonisian merupakan suatu proses pemurnian ide lewat
dialog-dialog yang bertujuan memperoleh definisi tentang sesuatu.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada Abad Pertengahan,
struktur dialektika digunakan dalam Logika berupa silogisme-silogisme. Anselmus
dari Canterbury, misalnya, melakukan pembuktian akan adanya Allah dengan
argumen ontologis dalam karyanya Proslogion.
Pada zaman modern, Kant menunjukkan bagaimana pengetahuan
selalu memuat sisi-sisi kontradiktif, dan karenanya juga selalu merupakan
sintesis antara unsur-unsur a priori dalam keaktifan akal budi dan unsur-unsur
a posteriori dalam pengalaman inderawi. Pemikiran inilah yang mendamaikan
rasionalisme yang dirintis oleh Descartes dengan empirisme yang dirintis oleh Bacon
dan Hobbes yang kemudian dikembangkan oleh Locke, Hume, dan Berkeley.
Hegel bisa disebut tokoh terpenting dalam dialektika. Dia
menunjukkan bagaimana semua logika bahkan sejarah dunia mengikuti suatu
struktur dialektis di mana kontradiksi-kontradiksi sebelumnya “disimpan”, “ditiadakan”,
sekaligus “diangkat” (aufheben)
menuju suatu kebenaran yang lebih tinggi, dan akhirnya menyeluruh, absolut.
2.
Dialektika
Hegelian
Yang khas bagi
filsafat Hegel adalah ciri proses[i]. Hal ini
juga berarti bahwa menurut Hegel, kebenaran itu selalu menyeluruh, tidak pernah
hanya partikular saja. Untuk mencapai kebenaran itu, Hegel menggunakan logika
kontradiktif dan bukan logika non-kontradiktif atau prinsip identitas yang
lebih “populer”.
Prinsip identitas atau logika non-kontradiktif menyatakan
bahwa “A” adalah “A”, dan bukan “non-A”. Yang disebut “A” sama sekali tidak
berhubungan dengan “non-A”; “A” sama sekali terisolir dari “non-A”. Sementara
itu, logika kontradiktif menyatakan bahwa “A” itu “ada”, diketahui, juga karena
“non-A”. Yang disebut “A” tidak pernah berdiri sendiri. “A” selalu berhubungan
dengan “non-A”. Demikianlah dapat dimengerti bahwa prinsip identitas atau
logika non-kontradiktif itu hanya bisa mencapai pengetahuan yang partikular
saja, hal mana merupakan sesuatu yang “belum” benar menurut Hegel, sementara
logika kontradiktif dapat mencapai kebenaran yang menyeluruh karena semua
saling terkait dalam hubungan pembenaran dan penyangkalan.
Dalam arti inilah dialektika berarti: sesuatu itu hanya benar
apabila dilihat dengan seluruh hubungannya, dan hubungan ini berupa negasi.
Hanya melalui negasi kita bisa maju, kita dapat mencapai keutuhan, kita dapat
menemukan diri sendiri.[ii] Hal ini
tidak berarti bahwa yang disangkal, di-negasi itu sepenuhnya salah. Negasi atau
penyangkalan dialektis tidak sekedar meniadakan, melainkan kebenaran yang
disangkal itu tetap dipertahankan[iii]. Yang
di-negasi itu aufheben, berarti
disimpan, ditiadakan, sekaligus diangkat ke kebenaran yang lebih tinggi. Hal
ini memperlihatkan struktur dialektika Hegel, yaitu tesis-antitesis[iv].
3.
Materialisme
dialektis
Materialisme dialektis adalah istilah yang diberikan pada
filsafat Marx oleh para pendukungnya di Uni Soviet[v].
Materialisme dialektis berusaha “mendamaikan”, “membuat dialog” antara
materialisme dan idealisme, meskipun tekanan tetap diberikan pada materialisme.
Materialisme mengacu pada pemikiran Feuerbach dan Marx yang menyatakan bahwa
yang sungguh nyata adalah materi, dan bukan kesadaran.
Sementara itu, idealisme menyatakan yang sebaliknya, yaitu
bahwa tidak ada apapun (materi) tanpa kesadaran. Kant, Fichte, Schelling, dan
Hegel termasuk kaum idealis meskipun juga tidak sepenuhnya meniadakan peran
materi[vi].
Materialisme dialektis berusaha mengenakan materialisme pada dialektika Hegel.
Oleh karena itu, menurut materialisme dialektis, pertanyaan mendasar filsafat
adalah: “Mana yang lebih penting: materi atau kesadaran?”[vii]
Materialisme dialektis tetap berpendapat bahwa materi lebih penting, namun
dengan cara yang berbeda dengan materialisme abad 18 yang menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan hakiki antara mesin dan makhluk hidup. Tokoh materialisme
dialektis yang patut dicatat adalah K. Marx dan F. Engels.
Pertama-tama materialisme dialektis mengakui kebenaran
penelitian-penelitian empiris tentang pikiran[viii].
Tidaklah sulit untuk memahami bagaimana seorang materialis menyetujui
penelitian-penelitian empiris tentang otak, misalnya, untuk mendukung
pendapatnya bahwa yang ada hanyalah materi. “Pikiran” menurut seorang
materialis adalah rangkaian materi-materi, entah itu syaraf, darah, otot,
sel-sel otak dan sebagainya, yang bekerja sedemikian rupa sehingga “hidup” dan
“berpikir”, sebagaimana sebuah komputer adalah rangkaian VGA card, processor,
RAM, power supply, dll., yang hidup dan bekerja. Namun seorang materialis
dialektis tidak puas dengan materialisme sedemikian itu.
Penelitian-penelitian empiris tentu menghasilkan teori-teori.
Nah, di samping mengakui kebenaran penelitian empriris, seorang materialis
dialektis juga berpendapat bahwa di lain sisi, pikiran manusia tidak lagi
membutuhkan apapun selain teori-teori yang dihasilkan oleh
penelitian-penelitian empiris itu sebagai syarat pengetahuan, syarat
“kesadaran”.[ix]
Di sinilah seorang materialis dialektis memberi ruang pada idealisme, namun
juga sekaligus menutup ruang baginya.
Materialisme dialektis memberi ruang pada idealisme dengan
menyatakan bahwa pikiran manusia itu “ada” (meskipun dengan tidak membutuhkan
apapun selain teori-teori penelitan empiris). Dengan demikian, materialisme
dialektis mengakui adanya subjek; suatu aku-yang-sedang-berpikir. Namun di lain
sisi materialisme dialektis juga menutup ruang bagi idealisme dengan menyatakan
bahwa pikiran tidak membutuhkan apa-apa lagi selain teori-teori yang dihasilkan
oleh penelitian empiris sebagai syarat pengetahuan atau “kesadaran”.
Teori-teori itu sudah cukup bagi pikiran manusia sebagai syarat “kesadaran” dan
dengan inilah idealisme disangkal. Pikiran atau “kesadaran” adalah rangkaian
teori-teori yang dihasilkan penelitian empiris.
Selain itu, materialisme dialektis juga menjelaskan hubungan
antara pikiran dan materi. Hubungan itu adalah bahwa pikiran adalah bayangan,
gambaran dari materi; dunia kesadaran adalah dunia materi yang “diterjemahkan
ke dalam bentuk-bentuk pikiran”. Demikianlah pikiran diberi bentuk-bentuk
tertentu yang memungkinkan hubungan antara satu pikiran dengan pikiran yang
lain. Di sinilah terjadi dialektika.[x]
Pikiran-pikiran yang merupakan gambaran dari materi itu berdialektika
sedemikian rupa sehingga membentuk “kesadaran”, pengetahuan.
Dengan demikian materialisme dialektis semakin menutup ruang
bagi idealisme. Kesadaran, yang menurut idealisme merupakan hal yang penting,
disangkal oleh materialisme dialektis hanya sebagai gambaran, bayangan materi
saja. Demikianlah materialisme dialektis tetap berpendapat bahwa bukan
kesadaran yang memberi bentuk kepada materi, melainkan materi-lah yang
membentuk “kesadaran” melalui proses dialektika.
Sebagai implikasi lebih lanjut, materialisme dialektis juga
memberikan kritik terhadap materialisme metafisis. Materialisme metafisis
mengabaikan materi yang berkembang secara alamiah, mencoba mereduksi semua
perubahan hanya pada perubahan kuantitatif saja, dan gagal menyelidiki
kontradiksi-kontradiksi internal yang ada dalam kondisi alami materi sebagai
sumber mendasar perubahan.[xi] Tentang
hal ini dapat dinyatakan tiga “logika” materialisme dialektis:
a.
Kesatuan
dalam pertentangan. Segala sesuatu memuat prinsip kontradiksi.
b.
Kuantitas
dan kualitas. Perubahan kuantitatif dapat menyebabkan perubahan kualitatif
juga.
c.
Negasi
atas negasi. Perubahan adalah berarti menyangkal sesuatu yang berubah, dan
hasilnya disangkal lagi, namun bukannya kembali lagi pada kondisi semula.
Materialisme dialektis tentu saja belum mencapai tujuannya
karena merupakan filsafat “resmi” Uni Soviet yang ditandai oleh kekuasaan
otoriter, tekanan-tekanan politis, dan ketakutan. Tidak bisa dibayangkan
bagaimana materialisme dialektis yang kritis bisa berkembang dalam situasi
macam itu.
Oleh karena
itu, materialisme dialektis masih memiliki tugas pada masa sekarang yaitu
mencerahkan dunia dengan mencari dasar metafisika ilmiahnya dan mengatasi
tantangan-tantangan ilmiah yang belum berhasil diatasi.[xii]
[i] Franz
Magnis-Suseno, Karl Marx: Dari Sosialisme
Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 60.
[ii] Magnis,
Marx, hlm. 61.
[iii]
Magnis, Marx, hlm. 62.
[iv] Banyak
yang menyebut struktur dialektika Hegel triadik: tesis-antitesis-sintesis,
sementara Hegel sendiri tidak pernah menggunakan istilah itu.
[v] Ted
Honderich (ed.), The Oxford Companion to
Philosophy (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 198.
[vi] Kant,
misalnya, tetap menyatakan bahwa benda-pada-dirinya-sendiri, das ding an sich (the thing in itself), itu
tetap ada meskipun tidak dapat diselidiki dan Schelling dengan pemikiran
idealisme objektifnya.
[vii]
Honderich, Philosophy, hlm. 198.
[viii]
Honderich, Philosophy, hlm. 198.
[ix]
Honderich, Philosophy, hlm. 198.
[x]
Honderich, Philosophy, hlm. 198.
[xi]
Honderich, Philosophy, hlm. 199.
[xii]
Honderich, Philosophy, hlm. 199.
DAFTAR PUSTAKA
Honderich, Ted (ed.). The Oxford Companion to Philosophy. New
York: Oxford University Press. 1995.
Magnis-Suseno, Franz. Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia. 2005.