1
Esensialisme
Mazhab ini diberi label
demikian karena upayanya dalam mena-
namkan pada para siswa apa yang menjadi esensi dari ilmu pengetahuan dan
pembangunan karakter siswa. Paham ini populer pada tahun 1930an dengan
pelopornya William Bagley (1874-1946). Pada awal abad ke-20 paham ini dikritik
sebagai paham kaku untuk mempersiapkan siswa memasuki dunia dewasa. Namun
dengan suksesnya Uni Soviet dalam meluncurkan Sputnik pada tahun 1957, minat
pada paham ini kembali hidup. Pada tahun 1983 The President's Commission on Excellence in Education di AS
menerbitkan laporan, A Nation at Risk,
yang memperlihatkan kepedulian penganut paham esensialis.
Filsafat ini
berdasarkan filsafat konservatif bahwasanya sekolah itu tidak dapat mengubah
masyarakat secara radikal. Sekolah seharusnya mengajarkan nilai-nilai moral
tradisional dan pengetahuan agar siswa kelak menjadi warga negara teladan.
Ajaran yang mesti diberikan kepada siswa antara lain hormat kepada kekuasaan,
ketabahan, taat menjalankan kewajiban, tenggang rasa kepada orang lain, dan
menguasai hal-hal praktis. Sejalan dengan filsafat ini, pendidikan hendaknya
menekankan pemahaman dunia lewat percobaan saintifik dan penguasaan ilmu-ilmu
alamiah daripada ilmu ilmu seperti filsafat atau agama. Mata pelajaran
tradisional yang lazim dianggap penting antara lain matematika, IPA, sejarah,
bahasa asing dan kesusastraan.
2
Perrenialisme
Aliran ini mengikuti
paham realisme, yang sejalan dengan Aristoteles bahwa manusia itu rasional.
Sekolah adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan kecerdasan. Siswa
seyogianya diajari gagasan besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi
intelektual sejati. Akar filsafat ini tentunya datang dari gagasan besar Plato
dan Aristoteles dan kemudian dari St. Thomas Aquinas yang sangat berpengaruh pada
model-model sekolah Katolik. Lazimnya ada dikenal dua aliran besar yaitu aliran
Thomas Aquinas dan kemudian abad ke 20 aliran Mortimer Adler dan Robert
Hutchins. Seperti halnya filsafat esensialisme, aliran ini pun kurang fleksibel
dalam mengembangkan kurikulum. Kaum perrenialis mendasarkan teorinya pada
pandangan universal bahwa semua manusia memiliki sifat esensial sebagai makhluk
rasional, jadi tidaklah baik menggiring dan mencocok hidung mereka ke
penguasaan keterampilan vokasional. Ini semua berpotensi mengganggu
perkembangan rasionalnya. Berbeda dari aliran esensialis, eksperimen saintifik
dianggap mengurangi pentingnya kapasitas manusia untuk berpikir. Pelajaran
filsafat dengan demikian menjadi penting, agar siswa mampu berpikir mendalam,
analitik, fleksibel, dan penuh imajinatif.
Dengan cara inilah
pendidikan akan memenuhi fungsi humanistiknya, yakni pembelajaran secara umum
yang mesti dimiliki manusia. Ada empat prinsip dari aliran ini: (1) kebenaran
bersifat universal dan tidak tergantung pada tempat, waktu, dan orang; (2) pendidikan yang baik
melibatkan pencarian pemahaman atas kebenaran; (3) kebenaran dapat ditemukan
dalam karya-karya agung; dan (4) pendidikan adalah kegiatan liberal untuk
mengembangkan nalar.
3
Progresivisme
Aliran ini lengket
dengan nama besar John Dewey (1859-1952) yang mengembangkan Sekolah
Laboratorium di Chicago. Aliran ini menghormati perorangan, sains, dan menerima
perubahan sesuai dengan perkembangan. Aliran ini menstimulasi sekolah untuk
mengembangkan kurikulum sehingga lebih relevan dengan kebutuhan dan minat
siswa. Pengaruh Dewey terasa sekali pada era 1950an saat Soviet berhasil
meluncurkan Sputnik. Sekolah-sekolah menekankan matematika, sains, Bahasa
asing, dan mata-mata pelajaran yang terkait dengan pertahanan. Filsafat yang
dianut Dewey adalah bahwa dunia fisik
itu real dan perubahan itu bukan sesuatu yang tak dapat diren' canakan.
Perubahan dapat diarahkan oleh kepandaian manusia. Sekolah mesti membuat siswa
sebagai warga negara yang lebih demokratik, berpikir bebas dan cerdas. Bagi
Dewey ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh dan dikembangkan dengan
mengaplikasikan pengalaman, lalu dipakai untuk menyelesaikan persoalan baru.
Proses belajar mengajar
di kelas ditandai dengan beberapa hal, antara lain:
·
Guru merencanakan pelajaran yang
membangkitkan minat dan rasa ingin tabu siswa.
·
Selain membaca buku siswa juga
diharuskan berinteraksi dengan alam misalnya melalui kerja lapangan atau lintas
alam.
·
Guru membangkitkan minat siswa melalui
permainan yang menantang siswa untuk berpikir.
·
Siswa didorong untuk berinteraksi dengan
sesamanya untuk membangun pemahaman sosial.
·
Kurikulum menekankan studi alami dan
siswa dipajankan (exposed) terhadap perkembangan baru dalam saintifik dan
sosial;
dan
·
Pendidikan sebagai proses yang terus
menerus memperkaya siswa untuk tumbuh, bukan sekadar menyiapkan siswa untuk
kehidupan dewasa.
Para pendidik aliran
ini sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya dalam lima hal: (1)
guru yang otoriter, (2) terlampau mengandalkan metode berbasis buku teks, (3)
pembelajaran pasif dengan mengingat fakta, (4) filsafat empat tembok, yakni
terisolasinya pendidikan dari kehidupan nyata, dan (5) penggunaan rasa takut
atau hukuman badan sebagai alat untuk menanamkan disiplin pada siswa.
4
Eksistensialisme
Gerakan eksistensialis
dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang menamakan dirinya
eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813-1815),
Nietzsche (1811-1900), yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati, dan Jean Paul
Sartre, yang mengatakan, "Man is nothing else but what he makes
of himself." Inti ajaran filsafat
ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang.
Eksistensi mendahului esensi.
Dalam kelas guru
berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya
dengan memberikan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui.
Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis
menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya
sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi
fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Dapat ditebak
bahwa pelajaran-pelajaran humaniora akan mendapat penekanan relatif besar.
Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi
diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama.
5
Rekonstruksi
Aliran rekonstruksi
atau social reconstruction memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme, namun
terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif. Persamaan antara dua
aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat relatif
dan semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya dan mengubahnya. Bila
aliran perenialis menekankan penyampaian pengetahuan ihwal kultur yang ada dan
mapan dan aliran progresif menekankan pentingnya evaluasi terhadap kultur yang
ada, maka aliran rekonstruksi menginginkan transfoi masi kultur yang ada itu
berdasarkan analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan mendasar
dalam praktik-praktik pendidikan selama ini.
Guru dengan demikian
memiliki peran penting dalam mengubah kebudayaan. Tokoh-tokoh besar aliran ini
antara lain George Counts, Theodore Brameld, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Dalam bukunya Education for the Emerging Age (1950) Brameld menyarankan bahwa
tujuan pendidikan bukan untuk memperoleh kredit atau sekadar pengetahuan,
tetapi memberi manusia apapun rasnya, kepercayaannya, dan kehidupaan yang lebih
memuaskan dirinya dan masyarakatnya. Pengetahuan, pelatihan, dan keterampilan
adalah alat untuk mencapai tujuan ini, yakni realisasi diri.
Jadi kontribusi
pemikiran aliran ini bukan untuk menghapus sekolah tetapi untuk melonggarkan
pelembagaan (deinstitutionalize)
pengalaman pendidikan di sekolah, agar siswa mampu mentransformasi kultur yang
ada. Illich melihat keterkaitan bahasa dengan kekuasaan.
6
Pedagogis
kritis
Kata kunci dari aliran
ini adalah critical. Dalam filsafat kontemporer ada dikenal critical theory
seperti yang digagas oleh mazhab Frankfurt. Seperti diungkap Geuss, target yang
ingin dicapai oleh teori ini adalah:
...
at emancipation and enlightment, at making agents aware of
hidden
coercion and putting them in a position to determine where
their
true interest lie (1981: 55)
Dengan kata lain, teori
ini bernafsu untuk mengidentifikasi minat dan motivasi politik sosial dari
sebuah dominasi kekuasaan (ilmu pengetahuan dan kebudayaan secara umum).
Maksudnya adalah demi emansipasi dan pencerahan. Bila diaplikasikan dalam
bidang pendidikan maka teori kritis ini memunculkan pendekatan critical
pedagogy, dan salah satu dari pelopornya adalah Henry Giroux. Pendekatan ini
antara lain menekankan pentingnya memberdayakan dan mendidik siswa agar mampu
memecahkan masalah dan mampu berpikir kritis. Dengan mengikuti aliran ini,
pendidik sexing disebut sebagai critical educator yang secara kritis
mempertanyakan kultur yang sudah mapan atau dominan dan menjadikannya sebagai
objek analisis politik.
Dari pencermatan atas
kutipan di atas, dapat ditarik sejumlah tafsir sebagai berikut:
- Teori kritis memiliki kepedulian tinggi terhadap ketidakadilan sosial sebagaimana tercermin dalam sistem pendidikan atau persekolahan.
- Di balik ilmu pengetahuan yang dipelajari di sekolah dan kebudayaan yang dominan dalam sistem persekolahan sesungguhnya ada minat dan vested interest dan kelompok tertentu.
- Di balik sistem persekolahan itu ada ideologi yang mendominasi yang harus dicermati dengan kritis dengan mengkaji sejumlah ideologi alternatif.
- Untuk keperluan analisisnya yang radikal ini, maka pendidik harus memiliki kemampuan antara lain sebagai berikut.
- Untuk menganalisis sistem yang ada secara politis, diperlukan penguasaan bahasa kritis demi pemahaman yang sempurna.
- Untuk memhami kultur yang mendominasi sistem persekolahan, diperlukan pemahaman atas suara ideologis dari tiga kelompok besar, yaitu pihak sekolah, siswa, dan guru.
- Untuk menantang wilayah pengetahuan yang dominan saat ini, diperlukan keberanian untuk membangun pengetahuan Baru.
ANALISIS
Esensialisme
adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance
dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang
utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh
fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan
harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang
memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam
pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata
perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai
suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha
mengembangkan asas progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan
adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis
dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya
berpusat pada manusia individu yang bertanggung
jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana
yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana
yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa
kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
DAFTAR PUSTAKA
Surisumantri,
Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar
Harapan
Kalidjernih,
Freddy. 2010. Penulisan Akademik. Bandung. Widya Aksara Press.
Zubair, A.C. 1990. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Press