Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

6/07/2012

PEDOMAN PEMBUATAN RANCANGAN PENELITIAN


Secara akademik umumnya dibedakan antara proposal dan rancangan penelitian (research design). Jika dalam proposal hanya memuat pokok-pokok pikiran, maka dalam research design sudah memuat seluruh elemen-elemen pokok yang harus ada dalam rancangan penelitian yang diuraikan secara detail. Dengan demikian research design merupakan semacam cetak biru (blue print), yang jika dibaca oleh siapapun, sudah dapat dimengerti apa yang akan diteliti dan bagaimana cara penelitian itu dilakukan.
Sementara beberapa elemen yang harus ada dalam research design antara lain:
1. Judul
2. Latarbelakang Masalah.
3. Rumusan Masalah
4. Tujuan Penelitian
5. Kegunaan Peenelitian
6. Hipotesa
7. Tinjauan Pustaka/ Kerangka Teori
8. Pengumpulan Data yang meliputi: Masalah Sampel, Instrument, Pemilihan lokasi dan sebagainya
9. Analisa Data

Di bawah ini akan diuraikan secara singkat dari masing-masing elemen di atas, mudah-mudahan ada manfaatnya.

1. Judul Penelitian
Pada prinsipnya judul penelitian harus jelas, ringkas dan mencerminkan masalah apa yang akan diteliti. Dalam membuat judul penelitian hendaknya jangan terlalu luas cakupannya atau sebaliknya terlalu sempit. Jika penelitian yang dilakukan bentuknya survai (kuantitatif) maka dalam judul harus jelas penempatan posisi independent variable dan dependent variablenya. Demikian juga dalam penelitian kualitatif. Judul penelitian jangan bersifat simbolik, terlalu abstrak atau mungkin puitis. Misalnya judul “Golok dan Tasbih”, meskipun maksudnya adalah relasi sosial antara Kyai dan Jawara, tetapi judul semacam ini, disamping terlalu simplistik juga terlalu luas. Lebih dari itu judul tersebut, juga, tidak jelas mana yang menjadi independent variable dan mana dependent variable-nya.
Judul yang baik, jika penelitian itu kuantitatif, selain memperlihatkan korelasi antara variable secara jelas, juga, mencerminkan arah penelitian yang akan dilakukan. Misalnya,
“Pengaruh pendidikan orangtua dan tingkat pendapatan keluarga terhadap kenakalan remaja: Studi kasus pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara di Kabupaten Sukamaju”.
Di sini yang menjadi independent variable adalah pendidikan dan tingkat pendapatan orang tua, sedangkan dependent variable-nya adalah kenakalan remaja. Meskipun judul semacam ini, juga kurang terlalu problematik, tetapi, paling tidak telah memperlihatkan kejelasan posisi antar variable, disamping cukup mencerminkan masalah yang akan diteliti.
Demikian juga judul penelitian jangan terlalu sempit. Misalnya,
“Pengaruh Profesionalitas Guru terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas Satu Madrasah Aliyah Negeri di Sukamaju”.
Judul semacam ini disamping terlalu sempit cakupannya, juga tidak problematik sebagai bahan penelitian. Tanpa penelitian pun sudah diketahui bahwa profesionalitas guru akan memiliki pengaruh atas hasil belajar siswa. Jadi, dalam pembuatan judul, selain harus diperhatikan scopenya, yang lebih penting adalah apakah judul telah mencerminkan masalah yang membutuhkan penelitian.


2. Latar Belakang Masalah.
Meskipun tidak ada rumusan baku bagaimana latarbelakang penelitian harus dibuat, namun isi pokok dari latarbelakang adalah membangun argumen: mengapa penelitian itu penting untuk dilakukan. Tentu saja arti “penting” di sini bukan menurut pengertian peneliti yang subyektif, tetapi harus dilihat dari kepentingan yang lebih luas dan obyektif. Misalnya, dari segi akademik mungkin akan melahirkan teori baru dan/atau membatalkan teori lama. Sedangkan dari kepentingan yang lebih pragmatik akan dapat memecahkan masalah (problem solving) yang sedang dihadapi masyarakat, misalnya. Dengan demikian masalah penelitian bukan hanya bermula dari sensitifitas peneliti terhadap fenomena sosial yang ada, tetapi juga, adanya kesenjangan fakta sosial yang ingin diketahui atau dipecahkan. Yang jelas masalah penelitian bukan semata-mata didasarkan interest peneliti yang subyektif.
Dalam membangun argumen mengapa penelitian itu perlu dilakukan bisa saja terinspirasi oleh hasil penelitian orang lain, data-data statistik, hasil bacaan jurnal penelitian, studi pustaka, pengamatan yang menceritakan terjadinya kesenjangan antara yang “seharusnya” (das sollen) dengan fakta-fakta sosial “yang ada” (das sein), misalnya. Yang terpenting, sekali lagi, latarbelakang hendaknya berisikan argumentasi mengapa penelitian itu perlu dilakukan. Yang harus dihindari dalam menyusun latarbelakang adalah membangun alasan-alasan yang tidak konsisten atau tidak relevan. Misalnya, kita mau meneliti tentang kerugian orang merokok baik ditinjau dari segi kesehatan (tingginya angka penyakit kanker paru-paru) maupun kerugian ekonomi (biaya yang harus dikeluarkan setiap harinya). Namun yang dikemukakan dalam membangun alasan itu, justru tentang durasi iklan rokok di TV atau data-data statistik tentang kontribusi pembayaran pajak pabrik rokok terhadap PAD. Meskipun argumen itu kelihatannya berkaitan dengan masalah yang akan kita teliti, tetapi jelas tidak relevan dengan masalah yang akan kita teliti. Karena argumen yang kita bangun justru lebih berkaitan dengan keuntungan merokok. Misalnya laba station TV akibat iklan dan pembayaran pajak yang diterima negara dan bukan tentang kerugiannya seperti jumlah kematian perokok akibat kanker paru-paru tiap tahunnya atau jumlah uang yang harus dikeluarkan, jika seseorang menghisap dua bungkus Ji Sam soe, misalnya. Jadi, di sini selain dibutuhkan cara meyakinkan tentang arti pentingnya mengapa penelitian itu menarik untuk dilakukan, juga, perlu adanya konsistensi terhadap fokus yang akan diteliti untuk menghindari uraian yang melebar kemana-mana.
Hal lain yang seringkali ditemui dalam latar belakang adalah memuat hal-hal yang tidak relevan dan bersifat normatif. Misalnya, mau meneliti masalah konflik etnis di Kalimantan Barat, yang dimuat dalam latarbelakang UUD 1945 dengan pasal-pasalnya, atau ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan persoalan yang berkaitan dengan masalah konflik sosial dan kebutuhan untuk memecahkannya justru tidak digambarkan.
Masalah lain yang secara teknis biasanya disampaikan dalam latar belakang adalah apakah penelitian yang akan dilakukan dimungkinkan untuk dilaksanakan: baik dari segi dana, waktu, tenaga dan sebagainya. Bisa saja problem penelitian yang dikemukakan sangat menarik tetapi dari segi waktu dan biaya tidak mungkin dilaksanakan.
Untuk memberi gambaran yang agak konkrit tentang contoh proposal yang baik: di bawah ini saya kutip sebuah Research Design (RD) yang dibuat oleh Tim Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan-Universitas Gadjah Mada (1997) yang berjudul: “Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu” yang dilakukan di delapan tempat (Kalimantan Barat, Timor Timor (sebelum merdeka), Tasikmalaya, Banjarmasin, Sampang, situbondo dan Pelalongan).1
Paling tidak ada tiga point yang ditekankan dalam latar belakang RD itu: Pertama, mengungkapkan data berbagai kasus kerusuhan di Indonesia mulai Januari 1995 s/d Juni 1997 yang mencapai 20 kekerasan kolektif di berbagai daerah: Kedua, mengemukakan penjelasan (komentar) yang muncul dalam masyarakat seperti: Pertama, bahwa kerusuhan itu bersfat SARA; kedua, akar permasalahan kerusuhan itu akibat kesenjangan sosial-ekonomi dan kesenjangan distrubusi pembangunan Orba: Ketiga, akibat perubahan sosial yang cepat yang tidak diikuti pengembangan proses dan mekanisme politik dan ekonomi yang adil dan keempat, adanya dugaan bahwa kerusuhaan itu sekedar ekses dari pertikaian politik antar-elite Jakarta yang menemukan salurannya dalam politik lokal. Ketiga, membangun anggapan dasar bahwa apapun eksplanasi yang diajukan, argumen itu harus memungkinkan pemilahan antara kondisi (condition) dari pemicu (precipitation).
Menurut tim, analisis yang teliti tentang fenomena yang rumit itu menuntut dilakukannya faktor-faktor penyebab yang berfungsi mempersiapkan kondisi sosial, kultural, psikologi, ekonomi dan politik bagi munculnya ketidakpuasan, kekecewaan, frustasi, dan membedakannya dari faktor-faktor pemicu berujud kejadian yang sebenarnya sekedar meletupkan ketidakpuasan itu menjadi kerusuhan masal.
Jadi argumentasi yang dibangun, diluar menyajikan data statistik tentang berbagai jenis kerusahan masal sepanjang tahun 1995-1997 dan mengungkapkan dugaan orang atas sebab-musabab atas terjadinya kerusuhaan itu (yang tentu saja masih membutuhkan pembuktian dalam penelitian), juga, yang terpenting, mereka menawarkan pendekatan yang lebih rinci dan holistik. Mulai dari perlunya memisahkan antara kondisi (condition) dari pemicu (precipitation), sampai pada pendekatan multi-perspektif (psikologi, cultural, sosial, politik dan ekonomi).
Dengan kata lain dari seluruh argumen yang disajikan (data statistik tentang kerusuhan, anggapan orang lain tetang sebab-musabab kerusuhan massal itu dan tawaran pendekatan yang akan digunakan): intinya hanya ingin menyampaikan pesan bahwa penelitian itu penting untuk dilakukan.


3. Perumusan Masalah
Rumusan masalah pada dasarnya sangat berkaitan dengan tujuan dan sifat penelitian yang akan dilakukan. Artinya perumusan masalah sangat tergantung dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai dan jenis penelitian yang akan dilakukan. Sementara bentuk perumusan masalah dapat berupa pertanyaan atau berbentuk peryataan. Jika tujuan penelitian itu bersifat deskriptif (to describe), misalnya, maka bentuk pertanyaannya biasanya dirumuskan dengan pertanyaan “apakah” (what), tetapi jika jenis penelitiannya bersifat eksplanasi (to explain), maka perumusan masalahnya biasanya didahului oleh pertanyaan “mengapa” (why) atau sejauhmana (how). Tentu saja kententuan ini bukan rumus matematis. Apa yang dikemukakan dalam rumusan masalah sebenarnya berupa pertanyaan-pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya dalam penelitian yang akan dilakukan. Sementara hal-hal yang dapat dipilih sebagai masalah antara lain: kontribusi terhadap khasanah ilmu pengetahuan; menindaklanjuti temuan-temuan sebelumnya; dan mencari jawaban dari (sesuatu) masalah dan sebagainya. Dan yang lebih penting pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dalam perumusan masalah minimal harus menyatakan hubungan antar dua gejala, apa yang akan diteliti harus dapat ditiliti secara empiris dan dikemukakan secara eksplisit.
Sebenarnya ada beberapa prinsip perumusan masalah yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif seperti dirumuskan Moleong (1998)3:
Pertama, fungsi perumusan masalah pada dasarnya sekedar untuk arahan, bimbingan, atau acuan untuk menemukan masalah yang sebenarnya. Sedangkan masalah yang sebenarnya baru mungkin ditemukan ketika peneliti sudah mulai melakukan pengumpulan data.
Kedua, jika penelitian yang dilakukan bukan memverifikasi teori (kuantitatif), melainkan upaya untuk menemukan teori subtanstif (kualitatif), maka masalah yang dirumuskan akan berfungsi sebagai patokan untuk analisa data atau menjadi hipotesa kerja.
Ketiga, rumusan masalah mungkin akan terdiri dari dua faktor atau lebih. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pada waktu merumuskan masalah: (1) adanya dua faktor atau lebih: (2) faktor-faktor itu dihubungkan dalam suatu hubungan yang logis atau bermakna (3) hasil menghubungkan itu mungkin berupa pertanyaan yang membutuhkan jawaban atau membutuhkan pemecahan masalah. Inilah yang biasanya disebut sebagai tujuan penelitian.
Keempat, dalam upaya untuk membatasi studi dalam perumusan masalah harus konsisten dengan paradigma yang digunakan.
Kelima, rumusan masalah yang dibangun harus jelas dan tegas.
Keenam, rumusan masalah: (1) dapat berbentuk deskriptif atau tanpa pertanyaan penelitian; (2) dapat secara langsung menghubungkan faktor-faktor hubungan logis dan bermakna: (3) secara gabungan antara bentuk diskriptif (pernyataan) dan pertanyaan.
Ketujuh, unsur lain yang biasanya berkaitan erat dengan perumusan masalah adalah “latarbelakang masalah”, “tujuan penelitian” dan “metode penelitian”.
Meskipun tidak ada acuan baku apakah latarbelakang masalah harus dipisahkan atau digabung dengan rumusan masalah: atau rumusan masalah harus dipisah atau digabung dengan tujuan penelitian dan seterusnya, tetapi yang paling lazim, antara latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan metode penelitian adalah dipisahkan. Kedelapan, untuk mempertajam perumusan masalah diperlukan hasil kajian pustaka yang relevan. Kesembilan, dalam merumuskan masalah sebaiknya mempertimbangkan faktor bahasa dalam pengertian siapa yang dibidik sebagai pembacanya.
Kembali pada contoh penelitian UGM. Setelah membangun argumentasi tentang perlunya pendekatan yang holistik, diharapkan memperoleh pemahaman yang cukup menyeluruh tentang modus resolusi konflik yang dapat menjangkau penyebab utama persoalan tersebut. Dari sini ada tiga masalah penelitian yang dirumuskan:
Pertama, bagaimana karakteristik dan ragam dari tindak kekekerasan yang terjadi dalam masyarakat? Apa kaitannya dengan tindak kekerasan yang mewarnai kerusuhan massal itu ?
Kedua, mengapa tindak kekerasan dan kerusuhan massal itu terjadi ? Kondisi-kondisi apa yang menyebabkannya? Apakah hal itu disebabkan adanya kekecewaan, ketidakpuasan, frustasi, sinisme dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga publik yang meluas dalam masyarakat? Apa hubungan antara meluasnya kekecewaan dalam masyarakat dengan kondisi-kondisi tersebut diatas?
Ketiga, mengapa dan bagaimana kondisi-kondisi itu muncul? Apa kaitannya dengan strategi pembangunan yang dijalankan oleh Orde Baru?
Dari perumusan masalah yang dibuat nampak bahwa penelitian ini bukan sekedar dimaksudkan untuk mengambarkan (to describe) kasus kerusuhan yang diteliti, tetapi juga, ingin menjelaskan (to explain) sebab-musabab kerusuhan massal itu. Sehingga jenis pertanyaan “apa” (what), mengapa (why) dan sejauhmana (how) sejauhmana, telah menjadi pertanyaan-pertanyaan (magic) yang digunakan dalam merumuskan masalah.


4. Tujuan Penelitian
Seperti dikemukakan diatas bahwa antara rumusan masalah dan tujuan penelitian idealnya merupakan satu kesatuan. Seperti diketahui ada beberapa tujuan penelitian yang biasanya digunakan dalam ilmu social: to explore, jika tujuan penelitiannya hanya untuk penjelajahan: to describe, jika tujuan penelitiannya hanya untuk menggambarkan realitas sosial: To explain, jika tujuan penelitiannya untuk menjelaskan (hubungan sebab-akibat) atau membuktikan suatu teori tertentu: to understand: jika tujuan penelitiannya hanya untuk memahami realitas yang akan diteliti: to predict, jika tujuan penelitiannya untuk meramalkan dst. Yang paling penting dalam tujuan penelitian adalah mengemukakan secara jelas apa yang ingin dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Baik dari kepentingan pragmatik (problem solving) maupun dalam kepentingan akademik (kemungkinan ditemukannya bangunan konsep atau teori). Semua itu akan sangat tergantung pada jenis penelitian yang akan dilakukan: apakah penelitian akademik, penelitian kebijakan, penelitian aksi atau penelitian jenis lainnya.
Biasanya yang sering ditemukan dalam research design adalah ketidakkonsistenan antara rumusan masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan. Seringkali kesimpulan yang dimuat sama sekali tidak ada hubungannya dengan tujuan yang telah dirumuskan. Karena itu yang perlu dilihat secara cermat dan teliti adalah apakah antara rumusan masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan sudah terjadi konsistensi dan koherensi.
Kembali saya kutip tujuan penelitian yang diulakukan UGM (1997) sebagai berikut:
Partama, menemukan “benang-merah” yang menghubungkan beberapa tipe kerusuhan sosial tersebut, yaitu menemukan kondisi yang mendasari munculnya perilaku kekerasan kolektif itu.
Kedua, mengusulkan kebijakan publik guna membenahi kondisi demi mencegah berulangnya kejadian tersebut.
Di sini terlihat bahwa tujuan penelitian berkaitan atau satu-kesatuan dengan rumusan masalahnya. Meskipun kegunaan penelitiannya dijadikan satu dengan tujuan penelitiannya. Sementara tujuan pertama yang dirumuskan jauh lebih sederhana dibandingkan tujuan kedua yang ingin dilakukan (problem solving) yaitu mencegah berulangnya kerusuhan.


5. Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan penelitian sebenarnya lebih diperuntukkan untuk menjawab kebutuhan yang lebih pragmatik daripada kebutuhan akademik. Karena itu rumusan yang dikemukakan, jika penelitian itu akan menjanjikan rekomendasi, maka rumusannya harus menyakinkan dan berhasil-guna seperti yang telah ditawarkan dalam tujuan penelitian. Dalam banyak kasus antara tujuan dan kegunaan penelitian tidak jarang dijadikan satu, seperti yang kita saksikan dalam penelitian UGM, meskipun umumnya dipisahkan.


6. Tinjauan Pustaka/ Kerangka Teori/Kerangka Pemikiran
Tinjauan pustaka pada dasarnya berisi kajian literatur yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan dan kegunaannya untuk menunjang rencana penelitian yang diajukan. Sementara kerangka teori merupakan masalah yang paling pokok dalam sebuah penelitian. Dengan penelitian peneliti dapat menemukan teori baru atau sekedar membuktikan kebenaran teori lama.
Dalam penelitian eksplanasi sangat jelas jika sebuah hipotesa itu terbukti dengan cara verifikasi dan/atau falsifikasi yang terus menerus, maka posisinya bisa naik menjadi theory, middle theory, atau mungkin malah menjadi grand theory. Sebaliknya dalam penelitian kualitatif (grounded), posisi teori bukan untuk diuji tetapi sekedar untuk membantu memahami atau menafsirkan realitas sosial yang akan diteliti.
Misalnya, mengapa masalah agama dan etnis merupakan ikatan sub-primordial yang paling sensitif dalam provokasi politik dan konflik sosial. Jika tujuan kita melakukan penelitian adalah untuk memahami, maka di sini jelas tidak ada verifikasi teori. Posisi teori hanya dimanfaatkan untuk membantu memahami atau menafsirkan gejala sosial yang ada. Sebaliknya dalam penelitian kuantitatif (survei) yang bersifat eksplanasi atau prediksi maka posisi teori sudah sangat jelas. Dengan demikian cukup jelas bahwa rumusan penelitian merupakan satu-kesatuan dengan tujuan penelitian, sedangkan tujuan penelitian akan sangat menentukan jenis teori yang akan digunakan. Jika tujuan penelitian hanya mendiskripsikan realitas sosial, maka posisi teori hanyalah diposisikan untuk memahami atau menafsirkan temuan-temuan lapangan. Sebaliknya jika tujuan penelitiannya untuk eksplanasi, maka posisi teori untuk verifikasi (pembuktian teori).
Dalam posisi ini teori didefinisikan; pertama, merupakan serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Kedua, menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep dan bagaimana bentuk hubungannya (Effendi, 1989:37).
Misalnya, kita akan meneliti gejala bunuh diri yang sangat marak di Gunung Kidul, Propinsi DIY, dengan menggunakan teori bunuh dirinya Emile Durkheim, yang mengatakan adanya hubungan antara kohesi sosial dengan pemahaman keagamaan. Menurut temuan Durkheim orang Protestan atau orang yang sendirian ternyata lebih mudah melakukan bunuh diri dibandingkan orang Katolik dan orang yang sudah berkeluarga. Alasannya hirarkhi gereja yang ketat dalam agama Katolik dan keterikatan orang yang sudah berkeluarga, membuat kohesi sosial lebih kuat dibandingkan agama Protestan dan orang yang sendirian yang ikatan sosialnya lebih longgar. Namun ternyata orang-orang yang banyak bunuh diri di Wonosari, Gunung Kidul, Yogjakarta, itu malah orang-orang Katolik atau Islam yang sudah berkeluarga, misalnya. Jadi disini uji teori telah dilakukan, termasuk mencari jawab atas tidak berlakunya teori Durkheim dan kemungkinan pengaruh variable lain.
Sementara fungsi teori sebagai prediksi, misalnya, telah ditemukan sebuah hitungan bahwa dalam situasi krisis ekonomi yang sekarang ini setiap pertumbuhan negatif 1 persen akan ada 400.000 orang yang menganggur. Dengan demikian jika sekarang pertumbuhan ekonomi kita terkontraksi 15 %, paling tidak akan ada 6 juta angkatan kerja baru yang menganggur. Di sini posisi teori sebagai peramal realitas sosial sangatlah jelas.
Yang biasanya agak membingungkan bagi peneliti, ketika harus meletakkan posisi teori sebagai alat untuk memahami atau menafsirkan realitas sosial, yang umumnya dikerjakan dalam penelitian kualitatif. Misalnya, mengapa etnis Minang itu lebih memiliki bakat kewirausahaan dibandingkan etnis lain. Apakah hal ini berkaitan dengan sistem kekerabatan yang matrilineal: dimana laki-laki secara kultural memiliki posisi yang lemah, khususnya dalam hal waris, atau ada faktor lain. Sehingga seorang laik-laki akan dianggap “cacat” secara kebudayaan jika mereka tidak merantau guna mempertegas identitas diri. Dengan kata lain merantau bukanlah sekedar upaya mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi juga, merupakan tugas kebudayaan. Namun, mengapa keberhasilan suku ini cenderung ada plafonnya (sulit menjadi pengusaha besar) dibandingkan etnik Cina. Lalu kita menggunakan teori Max Weber tentang afinitas antara kesadaran keagamaan (sekte Calvin) dengan tingkah laku ekonomi, misalnya. Disini jelas posisi teori bukan untuk diverifikasi tetapi sebagai usaha pemahaman (verstehen) atas realitas yang ada.
Dengan demikian dalam bentuk penelitian apapun, dalam tahap tertentu, penggunaan teori tetap diperlukan. Hanya saja biasanya yang masih membingungkan dalam penyusunan research design, dimanakah teori itu harus diletakkan; apakah sebagai penjelas dalam arti verifikasi teori atau sekedar untuk membantu memahami gejala sosial yang ada. Dengan demikian posisi teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh tujuan penelitiannya. Jika dalam penelitian itu antara lain untuk menguji hipotesa, maka jelas bahwa posisi teori adalah sebagai alat pembuktian. Sebaliknya jika penelitian itu bersifat deskriptif maka posisi teori untuk membantu mengkategorisasikan data atau memahami fenomena sosial yang ada. Yang paling sering ditemui, meskipun teori sudah disusun sedemikian rupa, tetapi teori ternyata tidak dibunyikan dalam analisa. Seolah-olah bab teori menjadi bagian yang terpisah sama sekali dengan temuan lapangan.
Kembali pada contoh penelitian yang dilakukan UGM, rupanya mereka telah menyatukan antara tinjauan pustaka dengan kerangka teori. Meskipun dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan, dalam pembahasannya dipilah dalam dua bagian. Pertama, yang berkaitan dengan konseptualisasi tentang kekerasan (violence): dan kedua, tentang teori-teori yang mencoba menjelaskan teori tersebut.
Dalam mendifinisikan apa yang dimaksud dengan kekerasan, misalnya, tim ini, menggunakan definisi Ted Robert Gurr yang memusatkan pada “polical violence” dan juga, definisi Johan Galtung, yang memilah kekerasan langsung (violence as action) dengan kekerasaan tidak langsung yang built in dalam struktur (violence as structure). Dengan pengembangkan pikiran Galtung, mengembangkan konseptualisasi tentang kekerasaan yang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga, yang dilakukan penyelenggara negara dan pengendali kapital. Jadi, kekerasan politik bisa berlangsung dalam tiga aras: negara, struktur sosial, dan personal atau komunitas.
Kemudian untuk menerangkan jenis kerusahaan yang memungkinkan melibatkan masalah etnisitas seperti di Kalimantan Barat dan Irian Jaya, tim, menggunakan teori “etho-nationalism”, baik yang beraliran primordialist maupun instrumentalist. Bagi aliran primordialist beranggapan bahwa banyak gerakan politik berbasis suku yang menekankan nasionalisme etnik. Dan ini merupakan tradisi kultural yang didasarkan pada identitas etnik primordial. Motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara identitas kultural. Sebaliknya, menurut etno-nationalism “instrumentalist” menafsirkan isyu etnisitas itu sekedar sebagai “an exercise in boundary maintenance” (Willian A Douglas (1993) dan berasumsi bahwa gerakan komunal merupakan respon dari perlakukan diskriminasi (pilih-kasih). Dengan kata lain penggunaan simbol-simbol etnik pada dasarnya didasarkan pada alasan praktis, yaitu sebagai sarana efektif untuk menimbulkan dukungan emosional.
Berikutnya setelah melakukan kritik terhadap teori Gurr tentang “deprivasi relatif” dan “ethno-nasinalis” yang instrumentalist melalui pandangan Charles Tilly (1978), yang mengatakan bahwa “kekerasan politik itu terjadi bukan karena ekspresi emosional masyarakat tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Ringkasnya kekerasan politik adalah hasil kalkulasi politik.”
Seterusnya untuk mencari penjelasan tentang faktor-faktor yang dianggap menentukan intensitas kekecewaan dan potensial dalam melakukan tindakan politik bagi kelompok minoritas, juga menggunakan teori Gurr, sedangkan tentang penguatan identitas dan kohesi kelompok, tim menggunakan konseptualisasi Peter Blau, mengenai struktur pemilahan social (social cleavages) dalam masyarakat.
Yang ingin ditunjukkan di sini adalah setiap variable yang akan dicari jawaban nya dalam penelitian telah dicarikan landasan teorinya; guna untuk membantu memahami data yang ditemukan atau membantu hipotesa kerja yang telah dibangun.


7. Hipotesa
Sebagaimana kita ketahui bahwa masalah hipotesa memegang peran sentral dalam setiap penelitian ilmu sosial, baik yang menggunakan metode kuantitatif maupun metode kualitatif. Menurut Young, seperti dikutip Melly G. Tan (1983:37) peranan hipotesa dalam penelitian ilmu sosial dapat diperinci sebagai berikut : (1) memberikan tujuan yang tegas bagi penelitian; (2) membantu dalam menentukan arah yang harus ditempuh, dalam pembatasan ruang lingkup penelitian dengan memilih fakta-fakta yang menjadi pokok penelitian dan menentukan fakta-fakta yang relevan; (3) menghindarkan suatu penelitian yang tidak terarah dan tidak bertujuan.
Sementara dari segi jenisnya hipotesa itu pada dasarnya ada dua. Pertama, hipotesa penguji. Kedua, hipotesa kerja. Jika hipotesa penguji lebih merupakan instrumen teori untuk diuji kebenarannya secara empiris: apakah hipotesa itu ditolak atau diterima, maka dalam hipotesa kerja tidak ada pembuktian atau pengujian empiris. Hipotesa kerja merupakan rumusan atau tanggapan mengenai arah penelitian dan bukan mengenai hasil penelitian.
Dalam penelitian kuantitatif hipotesa pada dasarnya merupakan hasil deduksi dari teori atau preposisi, yang lebih spesifik sehingga lebih siap untuk diuji secara empiris. Misalnya kita ingin menjelaskan mengapa perilaku agresif lebih menonjol pada suatu lingkungan masyarakat tertentu jika dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Untuk menjelaskan gejala itu kita membutuhkan teori agresif yang salah satu preposisinya menyatakan bahwa frustasi menyebabkan tindakan agresif. Tentu saja proposisi semacam ini masih membutuhkan hipotesa yang lebih rinci, misalnya tindakan agresif lebih tinggi pada kelompok masyarakat yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi daripada tingkat kepadatan penduduk yang lebih rendah’ (Effendi, 1989:43). Di sini sangat jelas bahwa hipotesa dalam penelitian kuantitatif adalah untuk memverifikasi teori.
Dalam penelitian kualitatif hipotesa (kerja) lebih merupakan semacam petunjuk jalan, yang bisa disusun sebelum dan/atau ketika penelitian itu sedang berlangsung. Tujuannya bukan untuk diverifikasi melainkan untuk dijadikan pedoman kerja, yang setiap saat bisa berubah jika ada temuan-temuan yang berbeda dengan asumsi semula. Jadi dalam penelitian kualitatif hipotesa bisa dipungut dijalan.
Kembali pada penelitian UGM, dalam menjawab mengapa terjadi kekerasan seperti kerusuhan, dalam penelitian itu telah dikembangkan hipotesa kerja bahwa “kekerasan politik pada aras komunitas itu terjadi karena adanya perasaan frustasi yang mendalam dan meluas di kalangan masyarakat. Terutama dalam “relative deprivation”, yaitu ketidaksesuaian antara “value expectation” masyarakat (yaitu harapan akan barang-barang atau kondisi hidup yang mereka yakini sebagai hak) dengan “value capability” mereka (yaitu barang-barang atau kondisi yang mungkin mereka peroleh atau kemampuan sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang dan kondisi yang mereka inginkan). Kondisi inilah yang menimbulkan frustasi. Dengan demikian jika intensitas kekecewaan itui semakin tinggi dan menyentuh berbagai lapisan, termasuk kaum elit, maka kekerasan yang muncul akan semakin meluas dan dalam bentuk yang lebih canggih (Gurr, 1970:3-9). Dari teori Gurr ini kemudiaan diperas menjadi hipotesa yang lebih rinci bahwa “kekecewaan masyarakat terhadap deprevasi dan perlakuan yang tidak adil merupakan motif utama tindak kekerasan politik seperti kerusuhan”.
Apa yang ingin saya sampaikan disini, dengan panjang lebar mengutip penelitian UGM tersebut adalah: Pertama, hipotesa kerja pada dasarnya dapat diturunkan dari hasil kajian pustaka atau hasil penelitian orang lain. Kedua, setiap variable atau lebih tepatnya hubungan antar variable yang akan dicari penjelasannya perlu landasan teoritik yang mapan. Meskipun posisinya untuk membantu memahami atau menafsirkan realitas dan bukan untuk diverifikasi. Ketiga, dalam kasus penelitian UGM yang kualitatif itu, terlihat bahwa setiap pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan kekerasan, selalu dilandasi oleh kerangka teoritik yang jelas: kekerasan politik (Ted Robert Gurr), psikologis (Johan Galtung), ikatan primordialist (William A Douglas), struktur pemilahan social (Peter Blau) dan sebagainya. Keempat, dari seluruh kerangka teoritik yang dikutib, seluruhnya berfungsi untuk membantu mencari penjelasan terhadap masalah yang diteliti (ingat posisi teori dalam penelitian kualitatif).


8. Sampel
Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian survei ada prinsip keterwakilan (representativeness) atau probilitas dalam generalisasi hasil-hasil temuan, sehingga masalah sampel sangat penting. Sebaliknya dalam penelitian kualitatif karena tidak ada prinsip keterwakilan, maka masalah jumlah sampel tidak menjadi fokus utama. Sebagai konsekuensinya tidak ada prinsip generalisasi atau prediksi. Dalam penelitian kualitatif yang sering dilakukan dalam bentuk studi kasus, tidak ada kesimpulan yang dapat digeneralisasikan. Ia hanya berlaku dalam kasus yang diteliti saja.
Dengan demikian jika dalam penelitian kuantitatif masalah jumlah sampel menjadi ukuran pokok untuk menentukan validitas hasil penelitian yang dilakukan, maka dalam penelitian kualitatif yang krusial adalah tingkat kedalamannya. Karena itu tidak mengherankan jika dalam penelitian kuantitatif yang menjadi instrumen utama adalah kuesioner maka dalam penelitian kualitatif yang menjadi alat utamanya adalah peneliti itu sendiri.
Karenanya jika penelitian yang dilakukan bentuknya survei, maka dalam research design juga sudah harus dikemukakan secara jelas bagaimana teknik pengambilan sampel akan dilakukan termasuk besarnya sampel serta alasan-alasannya. Misalnya, jika menggunakan sampel acak stratifikasi proporsional atau sampel acak stratifikasi tidak proposional atau mungkin sample klaster, semuanya harus dijelaskan yang disertai oleh alasan-alasan atas pilihan itu.

9. Instrumen
Seperti dijelaskan diatas bahwa instrumen pokok dalam penelitian kuantitatif adalah kuestioner, sedangkan dalam penelelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu dalam research design sudah harus disertakan kuestionernya. Sayangnya karena terbatasnya tempat tentang bagaimana tehnik membuat kuestioner yang baik tidak dapat diuraikan disini. Namun yang jelas dalam kuestioner harus ada variabel yang akan diukur termasuk penurunan indikatornya harus konsisten dengan hipotesa dan tujuan yang telah dirumuskan. Demikian juga untuk penelitian kualitatif harus sudah disertakan cheklistnya dan pedoman wawancara meskipun wawancara yang akan dilakukan tak berstruktur.



10. Pemilihan Lokasi:
Satu hal yang seringkali dianggap sepele dan diabaikan dalam pembuatan research design adalah masalah penetapan lokasi penelitian. Penetapan lokasi penelitian tentu saja harus disesuaikan dengan masalah penelitian yang akan digarap dan bukan atas dasar pertimbangan pragmatis yang kurang relevan dengan problem atau pertanyaan penelitian yang akan dicari. Misalnya, karena dekat rumah, atau malah meneliti di kampus sendiri dan sebagainya. Kalau saja pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), semuanya harus tetap didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ilmiah daripada pertimbangan pragmatis. Meskipun tidak ada larang untuk memilih lokasi dekat daerah asal, tempat kelahiran dan sebagainya, tetapi pertimbangannya tentu bukan untuk mencari kemudahan akomodasi tetapi lebih pada kebutuhan problem penelitian yang akan dilakukan itu sendiri.


11. Analisa Data
Untuk analisa data penelitian kuantitatif sebenarnya sangatlah sederhana. Apalagi sekarang sudah ada program SPSS. Kita tinggal memasukkan data dan mengolah menurut keinginan kita. Apakah kita akan menggunakan analisa sederhana seperti chisquare, product moment, regresi dan sebagainya sangat tergantung pada kebutuhan dan tujuan penelitian kita. Tetapi semua rencana analisa itu harus disebutkan dalam research design. Sedangkan pada penelitian kualitatif teknik analisa datanya jauh lebih rumit dan harus memiliki konsistensi dengan metodologi yang digunakan. Misalnya jika kita menggunakan metodelogi fenomenologi maka analisa data yang digunakan juga harus konsisten. Atau jika kita melakukan penelitian teks sastra dengan menggunakan analisanya strukturalisme Levi Strauss, maka kita harus menggunakan analisa yang konsisten atas prinsip-prinsip yang dikembangkan Strauss dan seterusnya.
Dalam analisa penelitian kualitatif, misalnya, dengan menggunakan analysis interactive model yang dikembangkan Miles dan Haberman (1987) seperti mulai data collection and timing, data display, data reduction and analysis, hingga conclution: atau, dengan menggunakan 12 langkahnya Spartley7 dalam studi etnografi8 dsb. Disamping itu dalam research design juga perlu disertakan adalah rincian budget, time table, expected outcomes or benefits, problems and limitation.

Disarikan dari: Prof. Anas S. Machfudz, APU, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), diakses Minggu, 3 Juni 2012, pukul 10.30 WIB