Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

7/20/2012

Masyarakat Akademik yang Literat


Netsains – Pendidikan bangsa kita (baca: Indonesia) mengalami ketertinggalan selama 10-15 tahun dibandingkan dengan pendidikan negara Asia lainnya, seperti Jepang dan Korea. Sumber daya manusia Indonesia berada pada posisi ke-109 (UNDP, 2000) terpaut satu angka di bawah Vietnam. Daya saing bangsa kita berada pada posisi ke-46 (2000), jauh di bawah negara-negara Asia lainnya. Sejumlah 84% (168 juta dari 200 juta) penduduk Indonesia termasuk melek huruf, namun di Indonesia hanya terbit 12 buku untuk satu juta penduduk pertahun. Ini di bawah rata-rata negara berkembang lainnya yang mampu menerbitkan 55 buku untuk satu juta penduduknya pertahun atau di negara maju yang mencapai 513 buku untuk setiap satu juta penduduknya pertahun (Alwasilah, 2000).

Belum lagi kondisi mayoritas komunitas kampus yang masih tidak terampil menulis, terbukti dengan jumlah publikasi yang rendah, yakni berada pada urutan ke-92 di bawah Malaysia, Nigeria dan Thailand (Alwasilah, 2000). Indonesia setiap tahunnya hanya mampu menerbitkan 3-4 ribu judul buku baru. Padahal Amerika pada tahun 1990 menerbitkan judul buku baru sebanyak 77.000 buah, Jerman Barat sebanyak 59.000 buah, Inggris sebanyak 43.000 buah, Jepang sebanyak 42.000 buah dan Prancis sebanyak 37.000 buah. Data lain menunjukkan bahwa perbandingan antara jumlah koran dengan jumlah penduduk di Indonesia 1:41,53, sementara di Inggris satu koran dibaca oleh 3,16 orang, di Jerman 3,19 orang, dan Amerika Serikat 4,43 orang. Rendahnya kemampuan menulis dosen diperkuat oleh laporan Dirjen Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, terbukti dengan rendahnya penerbitan jurnal ilmiah. Di Indonesia terdapat sekitar 266 jurnal dalam kelompok bidang: bunga rampai (40 buah), ekonomi (32 buah) kependidikan (30 buah) kedokteran umum (17 buah), pertanian (13 buah), sosial budaya (8 buah), teknologi rekayasa (7 buah), teknologi tepat guna (7 buah), manajemen (6 buah), psikologi (5 buah), kesehatan masyarakat (5 buah), MIPA (5 buah), bahasa/sastra (5 buah), kedokteran gigi (4 buah), administrasi (4 buah), dan 22 kelompok lainnya berkisar antara 1-3 buah. STAID (Science and Tecnology for Industrial Development) juga melaporkan bahwa antara tahun 1976-1981 ISSN di Indonesia berjumlah 4.167 buah, 2.345 di antaranya majalah, 16,8% majalah pertanian, ilmu-ilmu pengetahuan sosial 10,8%, dan ilmu pendidikan 10,7% (Republika, 6-12-1993).

Dengan berpijak pada data-data di atas, maka kita bisa menyatakan bahwa rendahnya kemampuan menulis para ilmuwan Indonesia, termasuk di dalamnya kalangan kampus, menjadi sebuah realita. Para ilmuwan belum terbiasa menuliskan pikiran-pikirannya secara produktif. Para ilmuwan kita baru menjadi penganut budaya lisan dan menyimak yang reseptif. Budaya lisan dan menyimak sangat paradoks dengan tuntutan modernitas global dan kecenderungan masa depan yang semakin kompetitif.
Membangun pendidikan berarti membangun masa depan bangsa melalui penyiapan sumber daya manusia yang sesuai dengan tuntutan zaman. Namun ironisnya, pendekatan yang dilakukan untuk itu menggunakan pendekatan lama (kolonial) yang tidak sesuai dan tidak signifikan dengan tantangan masa depan itu. Akibatnya penyiapan sumber daya yang unggul hanya menjadi wacana. Studi kasus tentang rendahnya kemampuan menulis mahasiswa Indonesia, hingga kini, belum melahirkan pendekatan atau teori baru yang mampu mendongkrak dan memotivasi mahasiswa untuk menulis. Hal ini diperparah dengan mengglobalnya informasi melalui media visual yang berpengaruh terhadap pembangunan wacana literasi masyarakat Indonesia. Yang hendak kita bangun dengan sistem pendekatan terkini adalah sebuah masyarakat yang menyadari pentingnya belajar secara terus menerus dan menggunakan kegiatan membaca-menulis (literasi).
Paradoks di Negeri Sendiri
Masyarakat Barat sejak abad ke-16 sudah membudayakan kegiatan keberaksaraan (literacy) yakni membaca dan menulis. Akibatnya, peradaban mereka maju dengan pesat dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Satu hal yang menonjol dalam masyarakat Barat adalah individualisasi. Masyarakat terpecah-pecah dalam sejumlah individu-individu yang sedikit sekali menunjukkan koherensi, kebersamaan, solidaritas, apalagi kegotongroyongan. Akhirnya, terjadi gejala alienasi (keterasingan), kehilangan solidaritas, dan kebersamaan. Hubungan kausal segala aspek dan gejolak itu mudah ditentukan. Namun demikian, budaya keberaksaraan (membaca dan menulis) merupakan faktor yang sangat esensial dalam seluruh proses individualisasi ini.
Individualisasi dalam masyarakat Indonesia masih mengalami hambatan. Hal ini disebabkan oleh adanya budaya keseragaman. Kemampuan untuk melahirkan pemikiran yang berbeda seringkali memperoleh ganjaran keterasingan bahkan dikucilkan. Saat ini disinyalir masih suburnya iklim keseragaman di sekolah-sekolah bahkan sampai tingkat perguruan tinggi sekalipun.
Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat intelektual di tengah era informasi modern sekarang, ia harus dapat menyerap informasi sebanyak 820.000 kata perminggu apabila ia ingin mempertahankan prestasi dan prestisenya di tengah perubahan global. Dengan demikian, minimal setiap hari ia harus membaca antara 4—6 jam. Seorang penulis tentu saja harus melakukan kegiatan membaca seperti itu, sehingga ia memiliki bahan tulisan yang banyak dan bervariasi.
Salah satu kendala yang dihadapi pengembangan ilmu di Indonesia adalah

kecilnya jumlah dan rendahnya mutu karya ilmiah yang diterbitkan orang setiap tahun. Produktivitas buku atau majalah-majalah ilmiah di negara kita tidaklah sepadan dengan jumlah ilmuwan atau cendekiawan yang ada, serta sangat tidak seimbang dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan. Hubungan antara penulis, penerbit, dan pembaca merupakan segi tiga tertutup bertimbal balik, seringkali menjadi lingkaran setan bila salah satu di antaranya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Steve Snyder, pernah membaca empat belas buku dalam suatu penerbangan antara Los Engeles dan Sidney, Australia. Dengan menggunakan teknik yang dikembangkannya, ia biasanya membaca tiga atau empat buku fiksi ataupun nonfiksi dalam satu malam. Kecepatan membacanya lima ribu kata permenit. Kedengarannya ini cepat sekali, namun menurutnya ini kecepatan yang biasa (jogging speed). Kecepatan sprint-nya sekitar sepuluh ribu kata permenit…. Ketika Ia mulai bersekolah di kelas satu, ia telah membaca empat

ratus buku, termasuk novel-novel Mark Twain, Jules Verne, dll. (DePorter dan

Hernacki, 1999:269). Lalu bagaimana dengan kita ? Menurut Magnesen (Dryden dan Vos, 2000) kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengan (simak), 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 7)% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan. Membaca dan menulis hakikatnya prilaku untuk melihat, menyimak, mengatakan, dan melakukan. Betapa pentingnya lingkungan (budaya) dalam membentuk iklim ilmiah, para behavioris bahkan mempercayai bahwa 90% aktivitas manusia diilhami oleh lingkungannya. Artinya, apabila guru tidak memberikan atmosfer yang baik untuk tumbuhnya dunia menulis, tidak mungkin lahir para penulis dari kalangan siswa (mahasiswa). Untuk bisa menjadi masyarakat akademik yang literat, kampus haruslah memiliki budaya membaca dan menulis.

foto: earth911.com