Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

5/25/2013

PANDUAN MEMAHAMI KURIKULUM 2013 Bagian 2

PENGERTIAN DAN KONSEP KURIKULUM TERINTEGRASI SAINSTEK DENGAN IMTAQ


1. Pengertian Etemeologis (Bahasa)

Secara etemologis (bahasa), istilah “curriculum” dinyatakan sebagai istilah yang berasal dari bahasa Latin, yakni curro atau currere dan ula atau ulums yang diartikan sebagai “racecorse”, yakni lapangan pacuan kuda, jarak tempuh untuk lomba lari, perlombaan, pacuan balapan, peredaran, gerak berkeliling, lapangan perlombaan, gelanggang, kereta balap, dan lain-lain” (Prent, 1969:211; Webster, 1989:340).

Istilah curro atau currere dan ula atau ulums yang diartikan sebagai “racecorse” tersebut kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan dengan istilah “curriculum” (bahasa Inggeris) atau “kurikulum” (bahasa Indonesia). Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Brobacher, sebagai berikut: 
according to its Latin origin a curriculum is a “runway”, a course which one runs to reach a goal, as in a race. This figure of a course has been carried over into educational parlance, where it is sometimes called a curriculum, sometimes a course of study (Brobacher, 1962: 237). 

Dalam kutipan ini Brobacher menyatakan bahwa istilah kurikulum yang dalam bahasa Latin diartikan sebagai lapangan pacu (runway) yang berarti sebagai sebuah lapangan tempat berlari untuk mencapai sasaran (goal). Dari istilah tersebut dibawa ke dalam dunia pendidikan yang kadangkala dimaksudkan sebagai sebuah kurikulum dan kadangkala dimaksudkan sebagai sebuah mata/materi pelajaran yang dipelajari.
Pemakaian istilah yang semula dipakai dalam dunia olah taga tersebut sepertinya didasarkan pada persesuaian makna atau hakikat yang dikandung oleh istilah tersebut, yakni adanya jarak atau proses yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan. Hal itu secara tegas sebagaimana dinyatakan oleh Schubert (1986:33): “its interpretation from the race course etymology of curriculum, currere refers to the running of the race and emphasizes the individuals own capacity to reconceptualize his or her autobiography”. 

Pemakaian istilah kurikulum atas dasar persesuaian makna tersebut juga dipakai dalam bahasa Arab. Hal itu bias dilihat bahwa dalam bahasa Arab istilah kurikulum disebut “minhaj” yang berarti “jalan yang terang”; cara, metode, bagan, rencana. Dari istilah itu dikenal istilah “minhaj al ta`lim” yang berarti “rencana pengajaran atau kurikulum” (Munawwir, 1984: 1567).

2 .Pengertian Terminologi (istilah)

Berdasarkan pengertian bahasa di atas, dimana istilah kurikulum (curriculum, ing.) atau (minhaj, Arab) dimaksudkan sebagai “sebuah jalan atau proses yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu atau “sejumlah materi/mata pelajaran (a course of study), maka secara termenologis kurikulum diartikan sebagai “sejumlah materi/mata pelajaran yang harus dikuasai” (a course of subject matters to be mastered), (Zais, 1976:7; Giroux, H.A., et.all, 1981:35). 

Rumusan pengertian pada masa awal tersebut disebut oleh para pakar kurikulum sebagai pengertian tradisional atau sempit. Dalam pengertian tradisional dan sempit tersebut, konsep kurikulum menunjukkan penekanannya pada pengertian kurikulum sebagai isi pendidikan. Pengertian kurikulum sebagai isi pendidikan tersebut menurut Giroux, et al. (1981:35) adalah: “the data or information recorded in guides or textbooks and overlooks many additional element that need to be provided for in a learning plan”. Dalam hal ini kurikulum merupakan sesuatu yang berisikan sejumlah data atau informasi yang dipakai sebagai petunjuk pembelajaran atau dalam bentuk buku teks yang berisikan sejumlah materi yang diperlukan untuk dicapai dalam sebuah rencana pembelajaran. Senada dengan itu al-Syaibani (1979) dalam menggambarkan pengertian minhaj sebagai padanan istilah kurikulum dalam bahasa Arab yakni terbatas pada pengetahuan-pengatahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran-mata pelajaran atau kitab-kitab karya ulama terdahulu, yang dikaji begitu lama oleh para peserta didik dalam setiap tahapan pendidikannya. 

Selanjutnya sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan, konsep kurikulum juga turut mengalami perkembangan dan pergeseran makna dari isi ke proses pendidikan. Dalam hal ini kurikulum tidak diartikan sebagai sekedar seperangkat materi yang harus diberikan atau dikuasai oleh peserta didik tetapi juga mencakup segala hal yang terjadi atau dilakukan dalam proses yang dilakukan atau dijalani peserta didik dan guru. Bahkan penekanannya lebih pada proses ketimbang sebagai isi atau materi. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Doll (1964:15) bahwa: “The commonly accepted definition of the curriculum has changed from content of courses of study and list of subjects and courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or direction of the school”. 

Dalam definisi Doll di atas penekanan pengertian kurikulum pada sejumlah pengalaman yang diberikan kepada siswa di bawah tanggaung jawab atau arahan sekolah (all experiences which are offered to learners under the auspices or direction of the school). Sejalan dengan pengertian ini Al-Kualy (1981) menjelaskan pengertian minhaj sebagai padanan istilah kurikulum dalam bahasa Arab sebagai seperangkat rencana dan media serta cara untuk mengantarkan lembaga pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Dalam definisi al-Kualy ini kurikulum mengandung makna sebagai isi dan sekaligus sebagai proses.

Pergeseran makna kurikulum tersebut bukan saja dari isi ke proses tetapi juga terdapat pergeseran cakupan atau lingkup makna kurikulum dari yang sempit ke yang sangat luas. Beberapa definisi kurikulum yang menggambarkan konsep tersebut, antara lain dikemukakan oleh beberapa pakar kurikulum sebagai berikut. Stratemeyer (1957:9) mendefinisikan kurikulum sebagai: “the sum total of the school`s effort to influence learning wither in the classroom, on playground or on out of school”. Dalam hal ini Stratemeyer memandang kurikulum sebagai sejumlah usaha sekolah untuk mempengaruhi pembelajaran, baik di dalam kelas, lapangan bermain, atau di luar sekolah. Lebih jauh menurut Krug (1956:4), kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan oleh sekolah untuk memberikan pengalaman belajar siswa, sebagaimana dinyatakannya: “all the means employed by the school to provide students with opportunities for desirable learning experience”. Sedangkan Beaucham (1964:4), memandang kurikulum sebagai: “all activities of children under the jurisdiction of the school” ( seluruh aktivitas anak di bawah tanggung jawab sekolah). 

Berdasarkan berbagai konsep dan pengertian kurikulum di atas, secara konsepsional menurut Stratemeyer (1957:9) bahwa secara umum konsep kurikulum yang digunakan dalam praktek pendidikan dapat dikelompokkan dalam tiga konsep, yaitu sebagai sejumlah mata/meteri pelajaran dan aktivitas kelas, sejumlah pengalaman kelas yang disponsori oleh sekolah, dan seluruh pengalaman hidup yang dialami para pelajar, sebagaimana dinyatakannya berikut: “The curriculum is currently defined in three ways: the courses and class activities in which children and youth engage; the total range of in-class and out of class experience sponsored by the school; and the total life experiences of the learner”. 

Meskipun telah terjadi perkembangan dalam konsep kurikulum dari definisi tradisional ke modern atau dari definisi sempit ke luas, namun konsep kurikulum tradisional atau sempit tidak berarti telah ditinggalkan sama sekali. Pada hal-hal tertentu atau pada situasi tertentu masih tetap digunakan. Bahkan secara real dalam dunia pendidikan, para praktisi pendidikan umumnya masih menggunakan konsep kurikulum yang sempit atau pengertian tradisional, di samping juga telah melaksnakan pengertian kurikulum modern. Dalam konteks ini, jika para praktisi pendidikan seperti: guru, siswa, dan praktisi pendidikan lainnya ditanya tentang kurikulum, maka mereka pada umumnya memberikan jawaban sebagaimana digambarkan dalam pengertian sempit atau tradisional di atas, yakni sejumlah mata pelajaran. Begitu juga, kegiatan belajar yang dilaksanakan dan dihargai sebagai hasil belajar mayoritas dalam lingkup pemberian sejumlah mata/materi pelajaran yang dilaksnakan oleh para guru di sekolah, atau lebih khusus lagi, yang diberikan dalam kegiatan tatap muka di dalam kelas (jam terjadwal). 

Berdasarkan kenyataan itu, maka menurut Schubert (1985:26-33) pandangan (image) terhadap kurikulum hingga kini masih sangat beragam. Ia menyebutkan, ada delapan pandangan atau pemahaman tentang kurikulum, yakni sebagai berikut:

1) curriculum as content or subject matter (kurikulum sebagai isi atau materi pelajaran); 
2) curriculum as a program of planned avtivity (kurikulum sebagai sebuah program aktivitas yang direncanakan); 
3) curriculum as intended learning outcomes (kurikulum sebagai hasil belajar); 
4) curriculum as cultural reproduction (kurikulum sebagai reproduksi budaya); 
5) curriculum as experience (kurikulum sebagai sesuatu yang dialami siswa); 
6) curriculum as disctrete tasks and conceps (kurikulum sebagai tugas dan konsep-konsep khusus); 
7) curriculum as an agenda for social reconstruction (kurikulum sebagai sebuah agenda untuk rekonstruksi sosial kemasyarakatan); dan 
8) curriculum as “currere” (kurikulum sebagai sesuatu yang harus dijalani oleh siswa).

Oliva (1991:5-6) dalam bukunya ”Developing the Curriculum” mengemukakan sejumlah pandangan atau pemahaman tentang kurikulum yang dipakai hingga saat ini, yaitu:
1) Curriculum is that which is taught in school (kurikulum adalah apa yang diajarkan di dalam sekolah);
2) Curriculum is a set of subjects (kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran);
3) Curriculum is content (kurikulum adalah isi materi);
4) Curriculum is a program of studies (kurikulum adalah suatu program studi/kajian);
5) Curriculum is a set of materials (kurikulum adalah sejumlah materi pelajaran);
6) Curriculum is a sequence of courses (kurikulum adalah suatu urutan materi pelajaran);
7) Curriculum is a set of performance objectives (kurikulum adalah sejumlah tujuan yang ingin dicapai);
8) Curriculum is a course of study (kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang dipelajari);
9) Curriculum is everything that goes on within the school, including extra-class activities, guidance, and interpersonal relationships (kurikulum adalah segala sesuatu yang dilakukan di dalam sekolah, termasuk aktivitasdi luar (ekstra) kelas, bimbingan, dan hubungan antar pribadi siswa);
10) Curriculum is that which is taught both inside and outside of school directed by the school (kurikulum adalah apa yang diajarkan baik di dalam dan di luar sekolah yang diarahkan oleh sekolah);
11) Curriculum is everything that is planned by school personnel (kurikulum adala segala sesuatu yang direncanakan oleh sekolah);
12) Curriculum is a series of experiences undergone by learners in school (kurikulum adalah serangkaian pengalaman yang dilakukan oleh siswa di sekolah);
13) Curriculum is that which an individual learner experiences as a result of schooling (kurikulum adalah apa yang dialami oleh seorang individu siswa sebagai hasil dari sekolah).

3. Konsep Kurikulum

Dilihat dari eksistensinya dalam kegiatan pendidikan kurikulum dapat dipandang dari berbagai konsep. Menurut Nana Syaodih (1988:29), setidaknya konsep kurikulum dapat dipandang dari tiga bentuk, yakni sebagai suatu sistem, sebagai bidang studi dan kurikulum sebagai substansi pendidikan. 

Sebagai sebuah sistem, kurikulum merupakan bagian atau sub sistem dari kerangka organisasi sekolah atau sistem sekolah. Kurikulum sebagai suatu sistem menyangkut penentuan segala kebijaksanaan tentang kurikulum, susunan personalia dan prosedur pengembangan kurikulum, penerapan, evaluasi dan penyempurnaan-nya. 

Fungsi utama kurikulum sebagai sistem ialah menghasilkan kurikulum, baik sebagai dokumen tertulis maupun aplikasinya dan menjaga agar kurikulum tersebut tetap dinamis (Nana Syaodih, 1988:29). Sehubungan dengan pandangan ini, para pakar kurikulum memiliki pandangan yang tidak sama. Maccia (Giroux, 1981:72) memandang kurikulum bukan sebuah sistem tersendiri, tetapi ia merupakan bagian dari sistem pembelajaran yang diwujudkan melalui tingkah laku atau aktivitas guru dalam menentukan isi pembelajaran. Isi tersebut mengandung aturan-aturan dalam bentuk seperangkat struktur dari seperangkat mata/materi pelajaran (disciplines). Di pihak lain, Johnson (1967) juga memandang kurikulum bukanlah sebuah sistem, tetapi hanya merupakan "a structured series of intended learning outcomes”. Komponen perecanan berupa: isi, aktivitas, dan prosedur evaluasi dimasukannya sebagai bagian dari komponen sistem pembelajaran (Zais, 1976:9). Tegasnya, Johnson memandang bahwa kurikulum adalah merupakan hasil (output) dari sistem pengembangan kurikulum dan merupakan bahan masukan (input) bagi sistem pembelajaran. Oleh karena itu ia bukan merupakan sebuah sistem. Sebagai sebuah sistem, menurut Mcdonal (1965), kurikulum berisikan: komponen: “inputs, processes, outputs, and feedbacks”(Giroux, 1981:72).

Jika kurikulum dipandang sebagai suatu sistem, ia dipandang sebagai sub sistem persekolahan, sistem pendidikan dan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja sebagaimana menyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi dan menyempurnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah sebagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis (Nana Syaodih, 1988:29-30). 

Kurikulum sebagai suatu bidang studi dipandang sebagai bidang studi kuriku-lum. Tujuan dari kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu ten-tang kurikulum dan sistem kurikulum. Dalam konteks ini tugas bidang studi kuriku-lum adalah untuk: (1) mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari istilah-istilah teknis, (2) mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah ada dan pengetahuan-pengetahuan baru, (3) melakukan penelitian inferensial dan predik-tif, (4) mengembangkan sub-sub teori dari kurikulum, mengembangkan dan melak-sanakan model-model kurikulum (Nana Syaodih, 1988: 29-30).

Kurikulum sebagai substansi dapat dipandang sebagai suatu rencana kegiatan pembelajaran bagi murid-murid di sekolah atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai (Nana Syaodih: 1988:29). Saylor, Alexander dan Lewis memberikan pandangan yang senada dengan Hilda Taba, yakni “as a plan for learning” (Oliva, 1991:6). Hilda Taba menggambarkan kurikulum sebagai sebuah subsatansi ini sebagai sesuatu yang berisikan sejumlah elemen yang meliputi tujuan, isi, pola pembelajaran, dan evaluasi, sebagaimana pernyataannya berikut:
"All curricula, no matter what their particular design, are composed of certain element. A curriculum usually contains a statement of aims and of specific objectives; it indicated some selections and organization of content; it either implies or manifests certain patterns of learning and teaching, whether because the objectives demand them or because the content organization requires them. Finally, it includes a program of evaluation of the outcomes".

Kurikulum sebagai sebuah rencana, menurut Beaucham (1981), bisa dalam bentuk dukumen tertulis dan bisa pula dalam bentuk rencana yang tidak terulis, baik yang ada pada benak siswa maupun guru, sebagaimana dikemukakannya, bahwa kurikulum adalah: “a written document which may contain many ingredents, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”

Selajan dengan pengertian ini, dalam Undang-undang RI tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Bab I, pasal 1 ayat 19, kurikulum diartikan: “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. 

Kurikulum sebagai sebuah rencana tertulis juga dapat dipandang sebagai sebuah dokumen yang berisi rumusan tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal dan evaluasi. Kurikulum juga dapat dipandang sebagai hasil persetujuan bersama antara para penyusun kurikulum, pemegang kebijakan pendidikan dengan masyarakat. Terakhir kurikulum juga dapat dilihat dari lingkup atau tingkat kuri-kulum seperti: kurikulum tingkat bidang studi, sekolah, lokal, nasional (Nana Syaodih, 1988: 29-30).

Konsekuensi dari kurikulum sebagai sebuah dokumen yang menjadi rencana pembelajaran, baik tertulis maupun tidak terulis melahirkan adanya istilah “ideal curriculum (kurikulum diidealkan) dan real/actual/ functional/operational curriculum (kurikulum yang nyata/dilaksanakan). Kurikulum ideal adalah kurikulum yang direncanakan secara ideal. Sebagai sebuah rencana, bisa dalam bentuk tertulis (written dokument) maupun yang tidak terulis. 

Adapun kurikulum aktual adalah kurikulum yang terlaksana atau diopera-sionalkan. Kurikulum aktual seyogianya sama dengan kurikulum ideal atau setidaknya mendekati yang ideal, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian. Dalam kenyataannya dapat saja sesuatu yang direncanakan tidak bisa dilaksanakan atau terlaksana.
Konsep kurikulum yang berlaku di Indonesia termasuk di dalamnya konsep kurikulum Pendidikan Agama Islam, sebagaimana dikemukakan di atas, lebih menekankan pada konsep kurikulum sebagai sebuah rencana pembelajaran. Hal itu dapat dilihat dari definisi kurikulum yang terdapat dalam Undang-undang RI tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Bab I, pasal 1 ayat 19, yang berbunyi: “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.

Definisi di atas menjadi pedoman bagi konsep kurikulum setiap jenis dan jenjang lembaga pendidikan di Indonesia. Dengan demikian kurikulum dipandang sebagai rencana dan pengaturan kegiatan pembelajaran yang berwujud dokument tertulis dan sekaligus sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Perwujudan dari kedudukan dan fungsi kurikulum seperti itu, di masing-masing jenis dan jenjang lembaga pendidikan, telah dilengkapi dengan seperangkat kurikulum. Lazimnya perangkat kurilum tersebut terdiri dari: pedoman umum penyelenggaraan pembelajaran; isi dan program pembelajaran; dan berbagai pedoman implementasi atau proses pembelajaran, evaluasi, administrasi, dan poedoman bimbingan pembelajaran.

Menurut Hasan (1988:28) secara konsepsional kurikulum dapat dilihat pada empat dimensi kurikulum, yakni: 
1) kurikulum sebagai suatu ide atau gagasan, 
2) kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, 
3) kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses), dan
4) kurikulum sebagai suatu hasil belajar. 

Penjelasannya:
1) Kurikulum sebagai suatu ide atau gagasan

Secara etimologis ide (idea) berarti: “A plane of action; an intention’ something imagined or pictured in the mind;; a notion; an opinion; a fancy…(Webster, 1961:237)” Dalam definisi ini, ide atau gagasan adalah sebagai sesuatu yang direncanakan yang ada dalam benak atau tergambar dalam pikiran. Sesuai dengan definisi tersebut, dapat dinyatakan bahwa kurikulum sebagai ide atau gagasan adalah merupakan sesuatu rencana atau keinginan yang ada dalam benak atau dalam pikiran dalam bentuk gagasan kurikulum yang bersifat umum. 
Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Hasan (1988:28-31), bahwa kurikulum sebagai sebuah ide atau gagasan ada pada pikiran atau benak para perancang kurikulum maupun para praktisi, pelaksana, dan pemakai kurikulum. Ia bias terdapat pada pikiran kepala sekolah, guru, siswa, masyarakat, dan pada stackeholder pendidikan lainnya. 
Idea tau gagasan pada umumnya ada pada saat proses awal perancangan kurikulum, atau pada ajang pendapat (deliberation), atau yang mendahului rancangan/desain tertulis kurikulum. Akan tetapi, dalam peraktiknya idea atau gagasan dapat juga muncul ketika kurikulum tersebut dirancang dan dituangkan dalam program tertulis, atau pada saat diimplementasikan, atau bahkan pada saat dilakukan evaluasi (penilaian). Menurut Beaucham (1981) ide atau gagasan tersebut mesti sebagai sebuah rencana atau gagasan dalam bentuk yang tidak terulis. Oleh karena itu, kurikulum dalam dimensi idea tau gagasan ini tidak lain adalah sesuatu yang diharapkan atau diangankan untuk dicapai dan dilaksnakan oleh guru, sekolah, masyarakat, dan stackeholder lainnya. Karenanya pada umumnya kurikulum dalam bentuk idea tau gagasan ini bersifat sangat idealis dan perfeksionis (sangat sempurna), yang kadang tidak sesuai atau susah untuk dijangkau dalam realitasnya.

2) Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis

Pada dasarnya kurikulum sebagai rencana tertulis ini menurut Hasan (1988:31) adalah terjemahan dari kurikulum dalam dimensi ide atau gagasan. Dalam kata lain, kurikulum dalam bentuk tertulis ini merupakan penulisan segenap idea tau gagasan yang telah digagas. Beaucham (1981), sebagaimana dikemukakan di atas, menyebutnya sebagai kurikulum dalam bentuk dukumen tertulis. Karenanya ia sering juga disebut sebagai ideal curriculum (kurikulum yang diharapkan), sebagai lawan dari kurikulum real curriculum. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak selalu kurikulum dalam bentuk tertulis ini sama persis dengan kurikulum dalam dimensi idea tau gagasan. Ketidaksamaan itu bias terjadi karena keterbatasan dalam penuangan idea tau gagasan tersebut dalam bentuk tertulis atau karena berbagai kondisi lain, seperti karena dipandang perlu pembatasan atau dipandang perlu ada pentahapan dalam perencanaan tertulisnya. 
Sebagai sebuah dokumen tertulis, kurikulum dalam dimensi rencana harus memenuhi berbagai kriteria tentang bentuk dan lingkup cakupannya (Hasan, 1988:32). Banyak model dan cakupan kurikulum sebagai dokumen tertulis ini, namun secara umum sebagai rencana tertulis pada umumnya, sebagaimana Tyler (1950:1-2), sebuah dokumen kurikulum minimal bersisi empat komponen yang merupakan empat pertanyaan dasar yang harus dijawab, yaitu: 
(1)What educational purposes should the school seek to attain?
(2)What educational experiences can be provided that are likely to attain these purposes?
(3)How can these educational experiences be effectively organized?
(4)How can we determine whether these purposes are being attained?


Sedangkan menurut Meller & Siller (1985:175), komponen yang terdapat dalam dokumen kurikulum meliputi: 1) aims and objectives, 2) content, 3) teaching strategies/learning experiences, 4) organization of content an teaching strategies, and 5) evaluation (sometimes included and sometimes separated).

Berdasarkan pendapat Tyler dan Meller & Siller di atas, anatomi sebuah kurikulum minimal meliputi: tujuan yang harus dicapai, pengamalan pendidikan atau isi/materi yang dianggap dapat memenuhi tujuan yang ingin dicapai, pedoman dan strategi pengorganisasian materi (pelaksanaan) sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan, dan yang terakhir adalah bagaimana mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dan hasil pencapaian kegiatan tersebut. Keempat komponen anatomi kurikulum tersebut merupakan suatu sistem atau suatu yang saling berkaitan antara satu sama lain dan saling mempengaruhi pelaksanaan dan keterpcapaian masing-masing. 

3) Kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses)

Kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses) ini kadang disebut juga: real curriculum (kurikulum sesungguhnya), actual curriculum (kurikulum yang nyata), functional curriculum (kurikulum yang terlaksana), dan operational curriculum (kurikulum yang dilaksnakan). Dengan mengutif dari Cohen, Deer, Harrison, dan Josephson, (1982), dan Goodlad (1978) menyebutnya sebagai kuriklum realita atau sebagai eksperiensial. Istilah realita dipergunakan karena kurikulum dalam dimensi ini adalah kurikulum yang sesungguhnya tertjaadi di lapangan. Sedangkan eksperiensial dipergunakan karena kurikulum ini merupakan sesuatu yang dialami siswa.

Di kalangan pakar kurikulum terjadi perbedaan pendapat mengenai apakah dimensi ini termasuk kurikulum atau bidang yang berdiri sendiri. Bagi Mcdonal (1965) kurikulum (curriculum) hanyalah sebagai: a plane for action, that is, a plane that guides instruction”. Jadi, kurikulum hanya dipandang sebagai sebuah rencana untuk tindakan pembelajaran, bukan sesuatu yang dialami secara nyata oleh siswa. Beaucham (1981:7), sebagaimana dikemukakan di atas juga memandang kurikulum sebagai sebuah dokumen tertulis atau tidak tertulis. Dalam hal ini ia memandang kurikulum hanya dalam bentuk ide dan rencana tertulis saja. Dalam kata lain kedua pakar inimemandang proses atau kegiatan pelaksanaan kurikulum ini tidak disebutnya sebagai kurikulum. Sementara itu, Johnson (1967) memandang situasi nyata di dalam kelas dipandang sebagai implementasi dari rencana pembelajaran, bukan rencana kurikulum. Kurikulum hanya dalam bentuk pencapaian tujuan belajar (Zais, 1976:9). Di pihak lain, Johnson juga memandang bahwa kurikulum adalah merupakan hasil (output) dari sistem pengembangan kurikulum dan menjadi bahan masukan (input) bagi sistem pembelajaran. Demikian ia juga tidak menyatakan proses sebagai sebuah kurikulum.

Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang konsep kurikulum tersebut, namun dalam prakteknya kurikulum sebagai proses adalah merupakan implementasi kurikulum. Fullan (1982), dan Leithwood (1982) adalah di antara para pakar kurikulum yang memandang bahwa implementasi adalah sebagai sebuah kurikulum dalam dimensi proses. Sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh Fullan (1982:54) bahwa implementasi adalah: “the process of putting into practice an idea, program, or set of activities new to the people attempting or expected to change”. Sementara itu, istilah implementasi kurikulum ini sering pula disamakan dengan pembelajaran (instruction). Dalam bahasa lain, bahwa sebuah kurikulum yang ada pad aide atau gagasan yang kemudian dituangkan dalam bentuk rancangan tertulis kelanjutannya akan diimplementasikan. Dengan demikian implementasi (proses) adalah merupakan pelaksanaan kurikulum ide dan kurikulum tertulis.

Meskipun pada dasar atau idealnya kurikulum dalam dimensi proses ini merupakan implementasi dari apa yang telah digagas dan dituangkan dalam program tertulis, namun bukan berarti kurikulum dalam dimensi proses ini semata mengimplementasikan apa yang digagas dan telah diprogramkan secara tertulis, sebaliknya adakalanya dalam proses ini dapat muncul hal-hal baru, merubah dan meniadakan apa yang telah digagas dan diprogramkan secara tertulis tersebut, karena ada situasi dan kondisi yang mengharuskannya untuk dilakukan perubahan. 

4) Kurikulum sebagai Hasil belajar.

Kurikulum sebagai suatu produk atau hasil belajar, sebagaimana dikemukakan oleh Leithwood (1982), pada dasarnya merupakan kelanjutan dan dipengaruhi oleh kurikulum sebagai kegiatan. Ia juga merupakan dimensi kurikulum yang dipengaruhi secara langsung oleh kurikulum sebagai ide, terutama ide yang ada pada diri guru. Dengan demikian ia merupakan dimensi kurikulum tersendiri (Hasan, 1988).

Sebagai dimensi kurikulum tersendiri, ia merupakan dimensi kurikulum yang banyak dibicarakan orang, sehingga dalam kenyataan sehari-hari orang mempergunakan produk ini sebagai indikator dan tolok ukur untuk menentukan keberhasilan pendidikan siswa. Bahkan ia juga digunakan orang untuk menentukan keberhasilan karier siswa tersebut dimasa pasca pendidikan. Dengan perkataan lain, kurikulum sebagai dimensi hasil ini sama pentingnya dengan kurikulum dalam dimensi lain, atau bahkan ada yang menganggap lebih penting dari dimensi lainnya (Hasan, 1988:36).

Kurikulum sebagai hasil belajar ini juga menjadi perbincangan para pakar dan praktisi kurikulum, apakah ia merupakan sebuah dimensi sen-diri atau hanya merupakan bagian dari sistem atau aspek kurikulum. Hasan (1988) mengemukakan sebagai berikut:
…pada waktu kegiatan evaluasi secara formal dilakukan, evaluasi kurikulum berhubungan dengan hasil belajar tetapi orang tidak mengaitkan hasil belajar itu sebagai salah satu dimensi pengertian kurikulum. Meskipun demikian, hasil evaluasi itu digunakan untuk memperbaiki ataupun mengganti kurikulum dalam dimensi sebagai rencana. Usaha paling jauh yang dilakukan ialah memasukkan hasil belajar sebagai salah satu komponen kurikulum sebagai rencana. Artinya, ia harus dikembangkan tetapi tidak dianggap sebagai kurikulum dalam dimensi sendiri. 

Banyak pakar yang mengaggap hasil belajar hanya merupakan bagian dari aspek kurikulum sebagai rencana, diantaranya Tyler (1950), Beaucham (1981), Zais (1976). Sebaliknya tidak sedikit juga yang memandang hasil belajar sebagai dimensi kurikulum tersendiri. Miller & Seller (1985) adalah salah satu pakar kurikulum yang menjadikan evaluasi sebagai salah satu dimensi tersendiri dari kurikulum. Dalam bukunya “Curriculum Perspektif and Practice (1985)”, ia tidak memasukkan evaluasi sebagai salah satu aspek kurikulum sebagai rencana, ia membahasnya tersenidiri. Pakar yang lebih tegas memandang kurikulum sebagai sebuah hasil belajar adalah Johnson (1967). Sebagaimana dikemukakan di atas, ia memandang kurikulum hanya merupakan "a structured series of intended learning outcomes” (Zais, 1976:9). Pakar lain, menurut Hasan (1988:35), seperti McDonal, Popham dan Baker, serta Inlow, juga menganggap kurikulum hanya sebagai hasil belajar, sedangkan dimensi pengertian lainnya tidak diakui.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa keempat dimensi kurikulum idealnya merupakan dimensi yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Idealnya sebuah kurikulum adalah merupakan sebuah sistem dan rangkaian yang berkesinambungan antara ide, rencana, proses dan hasil. Dalam hal ini, ide adalah merupakan dimensi awal yang kemudian dituangkan dalam bentuk kurikulum rencana tertulis. Rencana tertulis itu kemudian diimplementasikan dalam proses pembelajaran, yang kemudian dari implementasi tersebut diharapkan menghasilkan hasil yang sesuai dengan apa yang direncanakan atau digagas. 

Meskipun demikian, dalam prakteknya keempat dimensi tersebut tidak selalu sejalan. Dalam hal ini, sering terjadi ide tidak persis sama dengan apa yang direncanakan secara tertulis; rencana tertulis tidak persis sama dengan apa yang dilaksnakan (proses); dan apa yang dilaksanakan tidak persis sama dengan apa yang dihasilkan. Ketidak sesuaian dan ketidak sejalanan tersebut biasanya disebabkan kondisi-kondisi dan tuntutan pada setiap tahap dimensi yang berbeda atau muncul belakangan. Kondisi dan tuntutan ketika ide kurikulum digagas sering tidak sama dengan ketika kurikulum tersebut dirancang secara tertulis, dan seterusnya. Meskipun idealnya antara ide dan rancangan tertulis semestinya sama karena keduanya merupakan ideal/potensial kurikulum, namun sering keduanya tidak bisa sama persis, karena ketika ide dituangkan dalam sebuah rencana tertulis sering terdapat hal-hal teknis yang harus disesuaikan. Begitu juga ketika ideal kurikulum diimplementasikan dalam bentuk actual kurikulum, sering kali terjadi ketidaksejalanan karena kondisi dan situasi ketika kurikulum ideal diimplementasikan di lapangan. Selanjutnya hasil yang didapatkan juga sering tidak sesuai dengan actual kurikulum dan ideal kurikulum, karena hasil juga dipengaruhi oleh berbagai kondisi internal dan eksternal guru dan siswa itu sendiri. Tidak jarang pengaruh hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) yang muncul ketika ide diimplementasikan memberikan pengaruh dominan terhadap hasil yang dicapai. 

Selain beragai pandangan tentang konsep kurikulum di atas, kurikulum juga dapat dilihat dari tingkat keberadaan kurikulum tersebut. Di Amerika Serikat dikenal tingkat dan jenis kurikulum mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi, dimulai dari kurkulum kelas (classroom curriculum), kurikulum sekolah (school curriculum), kurikulum local (local curriculum), kurikulum regional (regen curriculum), kurikulum negara bagian (state curriculum), kurikulum bangsa (nation curriculum), dan kurikulum dunia (worl curriculum)

Di Indonesia dikenal ada empat tingkatan dan jenis kurikulum, yaitu: 
(1)Kurikulum Nasional (Negara) yang terdapat dalam Undang-undang Dasar, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan BGHN. Kurikulum ini merupakan rencana dan pedoman kegiatan pendidikan secara nasioanal, yang berisikan tujuan, materi, strategi dan evaluasi pelaksanaan pendidikan nasional. 

(2)Kurikulum Institusional (kurikulum tingkat lembaga pendidikan/satuan pendidikan) yang ada pada setiap lembaga pendidikan pada jenis dan jenjangnya masing-masing. Kurikulum ini merupakan rencana dan pedoman kegiatan pendidikan pada masing-masing lembaga pendidikan yang berisikan tujuan, materi, strategi dan evaluasi pelasaksaan pendidikan pada lembaga yang bersangkutan.

(3)Kurikulum Mata Pelajaran/Bidang Studi yang ada pada setiap mata pelajara/bidang studi yang diberikan pada setiap lembaga pendidikan. Kurikulum ini merupakan rencana dan pedoman kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang berisikan tujuan, materi, strategi dan evaluasi pelaksanaan pendidikan/pembelajaran pada setiap mata pelajaran/bidang studi yang bersangkutan.

(4)Kurikulum Instruksional/Pembelajaran yang merupakan pengembangan dan implementasi masing-masing materi pelajaran yang ada pada setiap bidang studi/mata pelajaran. Kurikulum ini berisikan rencana dan pedoman pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dikembangkan oleh setiap guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan penuntasan penyampaian materi pelajaran yang telah ditetapkan dalam setiap kurikulum mata pelajaran/bidang studi.

Sesungguhnya selain empat jenis dan tingkat kurikulum di atas, sejalan dengan diterapkannya disentralisasi pendidikan, dikenal juga jenis/tingkat kurikulum lokal dan regional. Hanya saja kurikulum yang terakhir ini tidak atau kurang mendapat perhatian dalam praktek pendidikan. Kurikulum lokal adalah suatu kurikulum yang disusun untuk daerah tertentu, seperti kurikulum untuk kabupaten/kota atau propinsi atau daerah tertentu yang memiliki ciri khas dan kebutuhan tersendiri. Kurikulum regional adalah suatu kurikulum yang disusun untuk beberapa daerah atau sekelompok daerah tertentu yang memiliki cirri khas dan kebutuhan yang relative sama, seperti kurikulum untuk Regional Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan sebagainya.