Oleh: Afthonul Afif, Konselor di Centre for Holistic Therapy
melalui: http://psikotikafif.wordpress.com/page/5/?archives-list&archives-type=tags
Jules Henri Poincare, salah seorang matematikawan jenius peraih nobel menceritakan kepada kita tentang proses kreatif dalam dirinya saat berupaya memecahkan kebuntuan rumus-rumus matematika. Selama lima belas hari dia berusaha keras untuk membuktikan bahwa tidak mungkin ada fungsi apapun seperti fungsi yang sejak semula dia namakan fungsi Fuchsian. Dia merasa sangat dungu. Setiap hari duduk di meja kerjanya, selama satu atau dua jam, mencoba beberapa kombinasi dan tidak memperoleh hasil.
Suatu senja, berbeda dengan kebiasaannya, dia minum kopi hitam dan tidak dapat tidur. Tanpa diduga, ide-ide kemudian muncul berjejal-jejal, bertubrukan hingga pasangan-pasangan bertautan, membuat kombinasi yang stabil. Menjelang pagi hari berikutnya dia berhasil menetapkan eksistensi suatu kelompok fungsi Fuchsian, fungsi yang terlimpah dari beberapa rangkaian hipergeometris. Anehnya, dia hanya membutuhkan beberapa jam saja untuk menuliskan hasil lengkapnya. Eureka!
Dalam situasi yang berbeda, barangkali kita juga pernah merasakan pengalaman kreatif dengan format yang berbeda. Tanpa kita sadari, mungkin kita pernah menemukan seepisode cerita dari sebuah lukisan, segugus nilai estetis dari sebuah puisi, atau terantuk pada hakikat kehidupan ketika menyapa seraut wajah anak jalanan. Tapi apapun bentuknya pengalaman kreatif yang melimpah, ide-ide kreatif itu ternyata muncul dari sesuatu yang tidak kita sadari. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa kesadaran kita hanya beroperasi dalam batasan-batasan yang telah dibuatnya sendiri, sehingga seringkali kesadaran kita sulit memberikan pemecahan dari permasalahan yang tidak terbingkai dalam batasan-batasan tersebut.
Berpikir kreatif adalah keberanian melampaui batasan-batasan yang dibuat oleh kesadaran—sekaligus berani bergumul secara intens dengan objek yang mencuri intensi kita. Setiap proses meragukan tatanan kepercayaan lama sering diikuti perasaan cemas yang mencekam. Serasa kekokohan keyakinan dan pemikiran kita menjadi terkoyak, terdesak oleh jenis keyakinan baru yang sama sekali belum kita kenal. Kecemasan dapat dimengerti sebagai bergoncangnya hubungan diri-dunia secara serentak yang terjadai dalam perjumpaan.
Ide-ide kreatif tidak diperoleh secara gratis, melainkan melalui proses pergulatan eksistensial yang tentunya menguras energi pikiran kita. Para ahli psikologi meyakini bahwa proses kreatif hanya dapat berlangsung melalui tahap-tahap sebagai berikut: Pertama, Orientasi atau fase perumusan masalah atau upaya mengidentifikasi seluruh aspek-aspek yang terkait dengannya. Inilah perjumpaan—dan juga keterbukaan, di mana kita membiarkan kesadaran kita ditawan oleh segugus problem yang membelit. Kedua, Preparasi yaitu upaya pikiran untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan dengan masalah tersebut. Pada fase ini energi pikiran kita terasa terkuras akibat proses pergumulan dengan setiap kemungkinan jawaban.
Ketiga, Inkubasi atau proses beristirahatnya pikiran ketika berbagai pemecahan berhadapan dengan jalan buntu. Pada tahap ini, proses pemecahan masalah berlangsung terus dalam jiwa bawah sadar kita. Keempat, Iluminasi atau masa berakhirnya tahap inkubasi dan ketika seorang pemikir memperoleh ilham atau Eureka seperti yang dialami oleh Poincare ketika sedang bersantai menikmati secangkir kopi. Serangkaian insight yang memecahkan masalah berjejal-jejal muncul dan berlimpah. Dan kelima, Verifikasi, tahap terakhir untuk menguji dan secara kritis menilai pemecahan masalah yang diajukan pada tahap keempat (Mc.Kinnon, The Nature and Nurture of Creative Talent, 1982).
Menurut Rollo May, salah seorang eksponen gerakan psikologi eksistensial—untuk memahami kreativitas kita juga harus bisa membedakan kreativitas asli dan kreativitas palsu. Kreativitas palsu biasanya dihubungkan dengan periode penciptaan yang hanya meniru realitas atau suatu usaha yang berhubungan dengan kemiripan. Di lain pihak, kreativitas asli adalah upaya menghadirkan realitas baru yang memiliki bentuk baru juga. Untuk ini, para kreator sejati yang di dalamnya termasuk para seniman dan ilmuwan sejati—harus terlebih dahulu mengalami perjumpaan dengan dunianya sebelum akhirnya mampu menghadirkannya dengan wajah baru (The Courage to Create, 1976).
Perjumpaan yang intens jelas dibutuhkan—karena pada kenyataannya karya kreatif muncul pada saat istirahat setelah perjumpaan yang intens. Ada sesuatu yang hadir dari ruang bawah sadar yang menerobos ke kesadaran. Apa yang terjadi dalam terobosan ini bukanlah sekedar perluasan wawasan melainkan hasil akhir dari sebuah perjumpaan, sebuah pertempuran. Karena itu setiap perjumpaan yang diniatkan sesungguhnya adalah juga suatu konfrontasi antara yang dipikirkan secara sadar dan wawasan tertentu yang berusaha untuk hadir. Wawasan baru ini sering menghadirkan kecemasan karena menggugat struktur keyakinan yang sudah mapan.
Kecemasan yang muncul akibat momen perjumpaan adalah kecemasan yang produktif, karena kecemasan dalam konteks ini berkaitan dengan kesediaan diri untuk terbuka terhadap setiap potensi ketersingkapan realitas. Mengafirmasi singgahnya kecemasan dalam ruang kesadaran—lantas bermain-main dengannya adalah keberanian eksistensial yang meneguhkan diri.
Tentu saja keberanian yang dimaksudkan berbeda dengan keberanian dalam perspektif umum—yang biasanya dihubungkan dengan kekasaran, kekerasan, dan kepastian. Keberanian bukanlah salah satu dari berbagai kebajikan seperti halnya cinta, kesetiaan, atau bahkan kedermawanan. Keberanian adalah fondasi bagi semua kebajikan. Tanpa keberanian cinta hanya menjadi ketergantungan dan kesetiaan akan berubah menjadi hanya konformisme.
Ada berbagai macam keberanian seperti keberanian fisik, keberanian moral, dan keberanian sosial. Di luar batas-batas kesadaran, proses kreativitas justru meletakkan keberanian sebagai potensi yang paradoks. Keberanian dalam meyakini sesuatu yang belum pasti sama pentingnya dengan keberanian untuk meragukan suatu dogma. Interaksi dialektik antara keraguan dan keyakinan inilah yang mendorong lahirnya kreativitas.
Kreativitas adalah hasil akhir dari pertempuran yang dilakukan oleh dua dewa Yunani, yaitu dewa Appolo sebagai simbol keteraturan dan dewa Dyonisius sebagai simbol kekacauan. Dalam perumpamaan ini tersirat maksud bahwa kreativitas selalu memerlukan batas dan bentuk. Pertempuran antara keteraturan dan kekacauan dalam istilah May merupakan proses “peraguan” sekaligus “pencarian”—atau dalam istilah Nietzsche pergumulan antara “kedalaman” dan “kedangkalan”—proses meng-iya dan me-nidak sekaligus.
Ibarat sebuah sungai yang mempunyai batas ditepinya, sebab tanpa batas air akan menyeruah kemana-mana lalu tidak ada yang yang dinamakan sungai lagi. Begitu juga kreativitas, yang tidak akan berguna ketika tidak termanisfestasikan dalam bentuk. Dalam puisi, misalnya, kita mengenal soneta sebagai salah satu bentuknya. Di dalam musik kita mengenal dangdut, pop, keroncong, dan sebagainya. Kreativitas membutuhkan kebebasan (untuk menerobos batas) dan sekaligus pengendalian (untuk tidak tanpa batas).
Kreativitas bukanlah produk gagasan dari pribadi-pribadi neurotik sebagaimana dikemukakan oleh Freud—atau sebagai bentuk kompensasi dari situasi ketidakberdayaan—inferioritas—seperti yang diyakini Adler. Kreativitas juga bukan hasil yang diperoleh dari sekian banyak pembacaan atas petunjuk-petunjuk praktis untuk menjadi kreatif, karena kreativitas bukanlah pemberian yang bersifat cuma-cuma. Kreativitas adalah buah dari proses yang diniatkan, perjumpaan, pergulatan, atau juga pertaruhan atas kecakapan diri dalam membaca ceruk-ceruk realitas tanpa batas.
Menjadi kreatif bukan hanya sekedar mengetahui tentang petunjuk untuk kreatif, melainkan berkaitan dengan keberanian untuk bergumul dan menghayati perjumpaan dengan setiap momen realitas.