Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

2/24/2012

Birokrasi Pemerintahan


    1.  Organisasi rasional (rational organization)
    2. Ketidakefisienan organisasi (organizational inefficiency)
    3. Pemerintahan oleh para pejabat (rule by official)
    4. Administrasi negara (public administration)
    5. Administrasi oleh para pejabat (administration by official)
    6. Bentuk organisasi dengan ciri-ciri dan kualitas tertentu seperti
      hirarki serta peraturan-peraturan.
    7. Suatu ciri masyarakat modern yang mutlak (an essential quality
      of modern society).
    1. Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkies
      (Administratice offices are organized hierarchically).
    2. Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each
      office has its own area of competence).
    3. Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada
      kualifikasi teknik yang ditunjukan dengan ijasah atau ujian (Civil
      cervants are appointed, not electe, on the basis of technical
      qualifications as determined by diplomas or examination).
    4. Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau
      kedudukannya (Civil servants receive fixed salaries according
      to rank).
    5. Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya,
      pekerjaannya sebagai pegawai negeri (The job is a career and
      the sole, or at least primary, employment of the civil servant).
    6. Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri (The official does not
      own his or her office).
    7. Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan
      (the official is subject to control and dicipline).
    8. Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang
      melebihi rata-rata (Promotion is based on superiors judgement).
    1. Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian
      wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (a hierarcical structure involving delegation of authority from the top to the bottom of an organization).
    2. Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang mempunyai tugas
      dan tanggung jawab yang tegas (a series of official position offices, each having prescribed duties and responsibility).
    3. Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal
      yang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku para
      anggotanya (formal rules, regulations and standar governing operation of the organization and behavior of its members).
    4. Adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang
      dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan
      pada kualifikasi dan penampilan (technically qualified personel employed an a career basis, with promotion based on qualification and performance).
  1. Birokrasi Pemerintahan
    Birokrasi dalam literatur ilmu administrasi, sering dipergunakan dalam
    beberapa pengertian. Sekurang-kurangnya terdapat tujuh pengertian
    yang terkandung dalam istilah birokrasi, yaitu:
    Birokrasi adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan
    tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di
    bawah lembaga departemen dan lembaga non departemen, baik di
    tingkat pusat maupun daerah, seperti propinsi, kabupaten dan
    kecamatan, bahkan pada tingkat kelurahan atau desa.
    Adanya dua mitos dalam sistem politik Barat tentang birokrasi. Yang
    Pertama menganggap birokrasi sebagai sumber keburukan. Harold
    J. Laski dalam dalam Encyclopedia of the Social Science
    menggambarkan birokrasi sebagai penyebar rutin dalam administrasi,
    mengorbankan fleksibilitas demi peraturan yang kaku, mengulurulur
    proses pembuatan keputusan dan menolak eksperimen. Mithos
    kedua menganggap birokrasi menjalankan peranan pahlawan. Max
    Weber merupakan pendukung terkemuka pandangan ini. Ia
    menyatakan bahwa birokrasi mampu mencapai tingkat efisiensi yang
    paling tinggi dan bentuk administrasi yang paling rasional karena
    birokrasi merupakan pelaksana pengendalian melalui pengetahuan.
    Karakteristik Birokrasi menurut Weber:
    Birokrasi sebagai organisasi dengan ciri-ciri khusus, menjadi pusat
    perhatian para ahli berbagai disiplin ilmu sosial karena jasa Max Weber.
    Dalam karyanya The Theory of Economy and Social
    Organization, Weber mengemukakan konsepnya tentang the ideal
    type of bureaucracy dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi
    birokrasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern, yaitu:
    Peranan birokrasi secara umum dikemukakan oleh Michael G. Roskin
    dan kawan-kawan mempunyai fungsi yang meliputi kegiatan-kegiatan
    pengadministrasian, pelayanan, peraturan, perizinan, pengumpulan
    informasi, dan urusan rumah tangga. Seluruh birokrat pemerintahan
    menjalankan setidaknya dua dari fungsi dasar tersebut, dengan sebagian
    bekerja secara khusus pada biro tertentu dan sebagian lagi menjalankan
    fungsi ganda.
    Selama masa Orde Baru masalah-masalah yang dialami oleh birokrasi
    di Indonesia antara lain:
    • Birokrasi di Indonesia lebih banyak mengatur daripada memberikan
      pelayanan kepada publik. Karena masih banyak bersikap mengatur,
      akibatnya kemitraan (parthnership) atau proses kolaborasi antara
      birokrasi dan masyarakat masih dirasakan belum akrab. Sesuai
      dengan ramalan Warren Bennis, maka proses kolaborasi itu
      merupakan ciri yang menonjol dari birokrasi masa depan.
    • Birokrasi Indonesia dewasa ini masih terperangkap pada jaringan
      Parkinsonisme.
    • Masalah ketiga adalah masih menonjolnya ego sektoral bagi masingmasing
      birokrasi departemen.
    • Pelaksanaan tiga asas pemerintahan yakni desentralisasi,
      dekonsentrasi dan medebewind dalam birokrasi pemerintahan kita
      belum profesional. Pada intinya sistem pemerintahan ini mengikuti
      sistem desentralisasi. Akan tetapi pelaksanaannya lebih didominasi
      oleh pelaksanaan asas dekonsentrasi.
    • Birokrasi saat orde baru menempatkan pengembangan karir jabatan
      pegawai pemerintah lebih ditekankan pada hirarki atas.
    • Sentralisasi yang amat kuat
    • Menilai tinggi keseragaman dalam struktur organisasi
    • Pendelegasian wewenang yang kabur dalam manajemen
    • Kesulitan dalam menyusun uraian tugas dan analisis jabatan yang
      semata-mata bersifat teknis
    • Kegagalan dalam upaya menerapkan organisasi matriks
    • Perkembangan profesionalisme berdasarkan spesialisasi dalam
      organisasi yang masih sulit.
    • Weberisasi
      Weberisasi adalah program untuk mengarahkan birokrasi sehingga
      menjadi alat pembangunan yang bekerja secara efisien, rasional,
      profesional dan berorientasi melayani masyarakat (public service).
    • Parkinsonisasi
      Parkinsonisasi merupakan kebijakan menata birokrasi dengan
      memperbesar sosok kuantitatif birokrasi.
    • Orwellisasi
    • Orwellisasi ditunjukkan untuk mendukung pembesaran sosok negara
      vis a vis masyarakat, dan pada gilirannya dapat meningkatkan
      kapabilitas regulatif negara.
    • Jaksonisasi
      Istilah ini dikenal untuk konteks Indonesia. Jaksonisasi adalah upaya
      untuk menjadi birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara dan
      menyingkirkan masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan
      sehingga terbentuk apa yang disebut oleh Karl D. Jackson (1980)
      sebagai bureaucraty polity.
    • Strategi inti, yaitu strategi yang mempunyai tujuan jelas dan
      berhubungan dengan fungsi utama pemerintah, yaitu pengendalian.
    • Strategi konsekuensi, yaitu strategi yang memaksa para pegawainya
      untuk mentaati semua peraturan yang telah ditetapkan.
    • Strategi pelanggan, yaitu strategi yang mengutamakan
      pertanggungjawaban birokrasi.
    • Strategi pengawasan, yaitu strategi yang menempatkan kekuasaan/
      wewenang untuk membuat keputusan, yang pada umumnya
      kekuasaan tersebut selalu berhubungan dengan puncak hirarki.
      Strategi ini mendorong kekuasaan pembuat keputusan secara
      signifikan diturunkan berdasarkan prinsip hirarki yang pada akhirnya akan sampai kepada masyarakat.
    • Strategi kebudayaan, yaitu strategi yang dipengaruhi keempat strategi
      di atas yang berarti dengan mengubah keempat strategi itu maka
      budaya akan berubah pula.
  1. Dengan mengacu pada birokrasi modern, dalam organisasi birokrasi di
    Indonesia terdapat beberapa aspek birokrasi yang dianggap dipengaruhi
    oleh kultur di Indonesia. Aspek-aspek tersebut adalah:
    Birokratisasi adalah proses menuju ciri-ciri prototipikal birokrasi. Dalam
    terminologi ilmu politik, dikenal bentuk-bentuk kebijakan birokratisasi
    yang umumnya ditemui dalam praktik pembangunan di Dunia Ketiga,
    yaitu:
    Untuk menciptakan pola birokrasi yang mandiri, mampu berpikir dan
    independen, diperlukan adanya perubahan-perubahan yang
    fundamental, melalui lima strategi berikut, yaitu:
Sumber buku Ilmu Pememrintahan Karya Jrg. Djopari

Mengenal Pemikiran Herbert Spencer


Mengenal Pemikiran Herbert Spencer
Herbert Spencer adalah seorang filsuf, sosiolog pengikut aliran sosiologi organis, dan ilmuwan pada era Victorian yang juga mempunyai kemampuan di bidang mesin. Pemuda Spencer pada usia 17 tahun diterima kerja di bagian mesin untuk perusahaan kereta api London dan Birmingham. Kariernya bagus sehingga dipercaya sebagai wakil kepala bagian mesin. Setelah beberapa waktu lamanya bekerja di perusahaan kereta api, kemudian pindah pekerjaan menjadi redaktur majalah The Economist yang saat itu terkenal. Spencer mempunyai sebuah kemampuan yang luar biasa dalam hal mekanik. Hal ini akan ikut serta mewarnai seluruh imajinasinya tentang biologi dan sosial di masa yang akan datang. Spencer adalah seorang pembaca yang luar biasa, kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai masyarakat di manapun di dunia ini, dan penulis yang produktif. Ia mengembangkan sistem filsafat dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme jeremy Bentham. Spencerlah yang menggunakan istilah Survival of the fittest pertama kali dalam karyanya Social Static (1850) yang kemudian dipopulerkan oleh Charles Darwin. Spencer selain menerbitkan buku lepas, juga menerbitkan buku dan artikel berseri. Beberapa diantaranya adalah Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896) yang meliputi biologi, psikologi, dan etika.
Spencer mempopulerkan konsep ‘yang kuatlah yang akan menang’ (Survival of the fittest) terhadap masyarakat. Pandangan Spencer ini kemudian dikenal sebagai ‘Darwinisme sosial’ dan banyak dianut oleh golongan kaya (Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Jilid 2 1989: 208).
Terbitnya buku Principles of Sociology karya Herbert Spencer yang berisi pengembangan suatu sistematika penelitian masyarakat telah menjadikan sosiologi menjadi populer di masyarakat dan berkembang pesat. Sosiologi berkembang pesat pada abad 20, terutama di Perancis, Jerman, dan Amerika

Pandangan Herbert Spencer tentang Sosiologi
Spencer adalah orang yang pertama kali menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret. Tindakan ini kemudian diikuti oleh para sosiolog sesudahnya, baik secara sadar atau tidak sadar.
Spencer memperkenalkan pendekatan baru sosiologi yaitu merekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dengan agama dalam bukunya First Prinsciple. Dalam bukunya ini Spencer membedakan fenomena tersebut dalam 2 fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahui dan fenomena yang tidak dapat diketahui. Di sini Spencer kemudian mencoba menjembatani antara ilham dengan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya Spencer memulai dengan 3 garis besar teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran universal, yaitu adanya materi yang tidak dapat dirusak, adanya kesinambungan gerak, dan adanya tenaga dan kekuatan yang terus menerus.
Di samping tiga kebenaran universal tersebut di atas, menurut Spencer ada 4 dalil yang berasal dari kebenaran universal, yaitu kesatuan hukum dan kesinambungan, transformasi, bergerak sepanjang garis, dan ada sesuatu irama dari gerakan.
Spencer lebih lanjut mengatakan bahwa harus ada hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda di dalam proses evolusioner. Sedang sistem evolusi umum yang pokok menurut Spencer seperti yang dikutip Siahaan, ada 4 yaitu ketidakstabilan yang homogen, berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris, kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan atau segregasi, dan adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.
Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi di dalam bentuknya yang paling kompleks. Di dalam karyanya, Prinsip-prinsip Sosiologi, Spencer membagi pandangan sosiologinya menjadi 3 bagian yaitu faktor-faktor ekstrinsik asli, faktor intrinsik asli, faktor asal muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan, hukum dan lembaga-lembaga.
Giddings pada tahun 1890 meringkas ajaran sistem sosial yang telah disepakati oleh Spencer sendiri adalah sebagai berikut:
  1. Masyarakat adalah organisme atau superorganis yang hidup berpencar-pencar.
  2. Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi tenaga agar kekuatannya seimbang.
  3. Konflik menjadi suatu kegiatan masyarakat yang sudah lazim.
  4. Rasa takut mati dalam perjuangan menjadi pangkal kontrol terhadap agama.
  5. Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama menjadi militerisme.
  6. Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok sosial kecil menjadi kelompok sosial lebih besar dan kelompok-kelompok tersebut memerlukan integrasi sosial.
  7. Kebiasaan berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka hidup tenteram dan penuh rasa setia kawan.

Teori Herbert Spencer tenang Evolusi Masyarakat, Etika, dan Politik
Evolusi secara umum adalah serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan sendirinya, dan memerlukan waktu lama. Sedang evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Perspektif evolusioner adalah perspektif teoretis paling awal dalam sosiologi. Perspektif evolusioner pada umumnya berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903).
Menurut Spencer, pribadi mempunyai kedudukan yang dominan terhadap masyarakat. Secara generik perubahan alamiah di dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat sekitarnya. Kumpulan pribadi dalam kelompok/masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi.
Spencer menempatkan individu pada derajat otonomi tertentu dan masyarakat sebagai benda material yang tunduk pada hukum umum/universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam masyarakat.
Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859), 9 tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya. Ia memandang evolusi sosial sebagai serangkaian tingkatan yang harus dilalui oleh semua masyarakat yang bergerak dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen.
Semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen). Evolusi terjadi pada tingkat organis, anorganis, dan superorganis.
Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya. Pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan ilmu biologi, terutama beberapa ahli biologi berikut ini dan pandangannya:
  1. Pelajaran tentang sifat keturunan (descension) Lamarck (1909).
  2. Teori seleksi dari Darwin (1859).
  3. Teori tentang penemuan sel.
Membandingkan masyarakat dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detil pada semua masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada 3 kecenderungan perkembangan masyarakat dan organisme:
  1. pertumbuhan dalam ukurannya,
  2. meningkatnya kompleksitas struktur, dan
  3. diferensiasi fungsi.
Teori tentang evolusi dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori yaitu:
  1. Unilinear theories of evolution.
  2. Universal theory of evolution.
  3. Multilined theories of evolution.
Spencer telah menggabungkan secara konsisten tentang etika, moral dan pekerjaan, terutama dalam bukunya The Principles of Ethics (1897/1898). Isu pokoknya adalah apakah etika dan politik menguntungkan atau merugikan sosiologi. Idenya adalah untuk memperluas metodologi individunya dan memfokuskan diri pada fernomena level makro berdasarkan pada fenomena individu sebagai unit.
Karakteristik orang dalam asosiasi negara diperoleh dari yang melekat pada tubuh, hukum, dan lingkungannya. Kedekatan individu adalah pada moral sosial dan yang lebih jauh adalah ketuhanan. Oleh karena itu orang melihat moral sebagai jalan hidup kebenaran yang hebat.
Sumber Buku Teori Sosiologi Klasik Karya Boedhi Oetoyo, dkk.

2/20/2012

Multicultural Education


Sumber dari :


Multicultural Education
by Keith Wilson
Associate Professor and Director of Rehabilitation Programs Department of Counselor Education, Counseling Psychology,and Rehabilitation Services, The Pennsylvania State University

 

 

What is Multicultural Education?

Multicultural education relates to education and instruction designed for the cultures of several different races in an educational system. This approach to teaching and learning is based upon consensus building, respect, and fostering cultural pluralism within racial societies. Multicultural education acknowledges and incorporates positive racial idiosyncrasies into classroom atmospheres.

Pros of Multicultural Education

A significant demographic transformation is on the horizon for the United States of America. Bennett (1995) estimates that "by the year 2000, over 30 percent of our school age population will be children of color" (p.18). Additionally, research has indicated that ethnic minority students are disproportionately poor, dropping out of school, being suspended or expelled, and achieving far below their potential relative to the ethnic majority (Bennett, 1995). Consequently, teachers must prepare themselves and their children for the ever changing challenge of interacting and communicating with diverse races. Reduction of fear, ignorance, and personal detachment are possible benefits to a Multicultural education. The following excerpts are taken from Paul Gorski (1995), a University of Virginia Doctoral student during a case study interview:
The idea of political correctness with the black race astounds me. I found it extremely interesting that some blacks in our class prefer to be called African American. In all of my classes...I have felt like I was stepping on egg shells as to not offend the blacks in my class. I am honestly glad it is not that big of an issue to my fellow classmates--it promotes a more comfortable, genuine environment for me to be totally honest and carefree.
Initially, the student interviewed in the case study reflected an attitude that would probably not facilitate consensus building, respect for other cultures, or fostering of cultural pluralism within different racial communities and in the classroom. However, with integrated curriculum, social activities, administrative support, and staff training, fear, ignorance, and personal detachment may be notably reduced in both students and teachers. Benefits to multicultural education can help to eliminate the crux of stereotyping, prejudice, racism, and bigotry (Fear, Ignorance, dis-ownership). Case study analyzed:
  1. fear: "I have felt like I was stepping on egg shells as to not offend blacks in my classes..."
  2. ignorance: "I found it extremely interesting that some blacks in our class prefer to be called African American."
  3. dis-ownership: "I am honestly glad it is not that big of an issue to my fellow classmates."
The writer agrees with Hilliard and Pine (1990), "if Americans are to embrace diversity, the conscious and unconscious expressions of racism (sexism) within our society must be identified and done away with" (p. 7). Multicultural education is the potential catalyst to bring all races together in harmony.

Cons of Multicultural Education

According to some views, if one wants to alienate and further fragment the communication and rapport between ethnic groups, implement multicultural education. As stated by Bennett (1995), "to dwell on cultural differences is to foster negative prejudices and stereotypes, and that is human nature to view those who are different as inferior" (p. 29). Thus, multicultural education will enhance feelings of being atypical. Schools in America may see multicultural education as a way to "color blind" their students to differences. Administrators may view the "color blind" approach as a gate keeper that assures equal treatment and justice for all students and as a way to facilitate compatibility and sameness of all cultures. A common statement from this line of thinking is, 'we are more alike than different'. We should focus on the similarities and not the differences to achieve greater equanimity among the races. Ethnicity is breaking up many nations. If one looks at the former Soviet Union, India, Yugoslavia, and Ethiopia, all countries are in some type of crisis. Closer to home, one observes the divisiveness of the Rodney King and O.J. Simpson trials in our country, we can see how focusing on race and multiculturalism may lead to a further divisiveness between the races in America. Over time, multicultural education may have unplanned for and undesired consequences. For example, multicultural education rejects the historic American goals of assimilation and integration of ethnic cultures into the majority culture. Hence, the perception may result that America is a country of distinct ethnic groups, as opposed to a more traditional view of the country that involves individuals making decisions for the good of the order (Schlesinger, 1991).
Multicultural education may increase the resentment encountered by students who feel that changes in school traditions, curriculum, and academic standards are not necessary to get along and respect students from ethnic minorities. Since many institutions resist change of any kind, passive resistance on the part of the administration may simulate acceptance of the tenants of Multicultural education. Of course, excepting the tenants of multicultural education should be avoided with enthusiasm and optimism.

What would real Multicultural Education look like?

The writer submits that multicultural education must have, as its crux, the below defining characteristics to achieve its purposes for students, teachers, parents, and administrators of the school system: a) a learning environment that supports positive interracial contact; b) a multicultural curriculum; c) positive teacher expectations; d) administrative support; and, e) teacher training workshops (Bennett, 1995). If one of the features is absent, frustration and heightened resentment may occur as backlash behaviors multiply. The effects of a positive multicultural climate may manifest in a number of ways, such as: a) diminished pockets of segregation among student body; b) less racial tension in the schools; c) increased ethnic minority retention and classroom performance; and, d) inclusion of a multicultural curriculum. In short, the multicultural educational environment should not be a microcosm of our present American society, with regard to issues of diversity and tolerance. Many factors determine a successful multicultural atmosphere, but the features as outlined above may be important indications of success.
Administrative support for multicultural education is critical. How can a house stand if the foundation is fragile. Multicultural education will be as successful as commitment to it by school administrators. Regardless of the level of commitment (local, state, and/or national), programs initiated under the guise of multiculturalism must receive reinforcement from administrators who are accountable for the success of established multicultural initiatives. A key factor in any proposed multicultural initiative is curriculum development.
A multicultural curriculum should be considered for several reasons: a) provides alternative points of view relative to information already taught in most educational systems; b) provides ethnic minorities with a sense of being inclusive in history, science etc.; and, c) decreases stereotypes, prejudice, bigotry, and racism in America and the world. A significant demographic transformation is on the horizon for American schools. Educational institutions have been dictated too long by attitudes, values, beliefs, and value systems of one race and class of people. The future of our universe is demanding a positive change for all (Hilliard & Pine, 1990).

Definition of Terms

  • Stereotype n. 1. a standardized image or conception shared by all members of a social group.
  • stereotyping, prejudice, racism, and bigotry.

References

Bennett, C. (1995). Comprehensive multicultural education: Theory and practice (3rd ed.). Massachusetts: Allen & Bacon. Hilliard, A. & Pine, G. (1990, April). Rx for Racism: Imperatives for American's schools. Phi Delta Kappan, (593 - 600).
Gorski, P. (1995). A course in race and ethnicity. Language of closet racism [ On-line: http//curry.eduschool.virginia.edu/go/multicultural/langofracism2.html.AvailableE-mail: pcg9@curry.edschool.virginia.edu.
Schlesinger. A. (1991, July 8). The cult of ethnicity, good and Bad. Time, 21. Word Perfect Corporation [Computer Software]. (3rd. Eds.) (1994).
Collins Electronic English Dictionary & Thesaurus. Orem, Utah. Authors.

2/19/2012

GLOBALIZATION

Pengertian Globalisasi

Globalisasi sering diartikan sebagai interaksi antar manusia di muka bumi yang sudah semakin intensif karena kemajuan teknologi komunikasi. Globalisasi di satu sisi menimbulkan masalah tetapi juga memberikan banyak manfaat. Berikut definisi globalisasi :

Andrew Hurrell 
“globalization” 
The Concise Oxford Dictionary of Politics.

Globalization A central part of the rhetoric of contemporary world politics and the subject of increasing volumes of academic analysis. It resists any single or simple definition. Although often associated with claims that the present world system is undergoing transformation, it is an old idea. There is a long tradition of writers emphasizing the external economic constraints that act upon nation states and the transforming impact of global economic processes, with Marx being amongst the most powerful and prescient. Such themes were revived in the late 1960s and early 1970s when writers on interdependence and modernization argued that the rapid expansion of international trade and investment, the increased awareness of ecological interdependence, the declining utility of military power, and the increasing power of non-state actors ( multinational corporations but also religious organizations and terrorist groups) constituted a systemic shift that would increasingly undermine the traditional role and primacy of nation states. The 1970s literature on interdependence faded under pressure from two sources. First, the reappearance of superpower confrontation and the second Cold War appeared to justify those who took a more Hobbesian view of international life, dominated by military confrontation rather than economic exchange. Second, within academia, statists and realists responded vigorously, arguing, for example, that multinational corporations were closely tied to states and to patterns of interstate politics; that the state was still the most important institution of international order; that military power had not declined in its utility; and, most important of all, that the international political system with its dominant logic of power balancing remained the most important element of any theory of international politics.
However, with the end of the Cold War, academic interest shifted back to the role of external or global economic factors, this time under the broad banner of ‘globalization’. It is far from easy to gather together the wide variety of meanings attached to the term globalization. At one level it appears simple. Globalization is about the universal process or set of processes which generate a multiplicity of linkages and interconnections which transcend the states and societies which make up the modern world system. It involves a dramatic increase in the density and depth of economic, ecological, and societal interdependence, with ‘density’ referring to the increased number, range, and scope of cross-border transactions; and ‘depth’ to the degree to which that interdependence affects, and is affected by, the ways in which societies are organized domestically.
In reality, much of the muddle and inconclusiveness of the debates on globalization stem from the ambiguities of the concept. Globalization is sometimes presented as a causal theory: certain sorts of global processes are held to cause certain kinds of outcomes; sometimes it is a collection of concepts, mapping (but not explaining) how the changing global system is to be understood; and sometimes it is understood as a particular kind of discourse or ideology (often associated with neo-liberalism). There are also important distinctions between economistic readings of globalization (that stress increased interstate transactions and flows of capital, labour, goods and services) and social and political readings (that stress the emergence of new forms of governance and authority, new arenas of political action (‘deterritorialization’ or the ‘reconfiguration of social space’), or new understandings of identity or community). Within economistic readings, there are distinctions between a traditional focus on interstate economic transactions and broader shifts in transnational production-structures and the emergence of new kinds of deterritorialized markets. Distinctions are also drawn between globalization, internationalization, westernization, and modernization. And there is the important distinction between the claim that globalization should be seen as the continuation of a deep-rooted set of historical processes and the view that contemporary globalization represents a critical break-point or fundamental discontinuity in world politics.
Perhaps the most important single idea concerns the growing disjuncture between the notion of a sovereign state directing its own future, the dynamics of the contemporary global economy, and the increasing complexity of world society. More specifically, there are three broad categories of claim that globalization is having a deep, perhaps revolutionary, impact. In the first place, it is widely argued that certain sets of economic policy tools have ceased to be viable and that states face ever increasing pressures to adopt increasingly similar pro-market policies. Because of the increasing power of financial markets, governments are forced into pursuing macroeconomic policies that meet with the approval of these markets. Increasing trade also places governments under pressure to adopt pro-market policies, avoiding policies which would imply the need to harm business by taxation, or to raise interest rates as a consequence of increased borrowing. They also find themselves forced to cut back the role of the public economy in order to attract inward investment from increasingly footloose multinational companies quick to punish governments who stray from the path of economic righteousness by exercising their exit option. Consequently, the range of policy options open to governments is claimed to be dramatically reduced.
A second cluster of arguments relates to the degree to which globalization has created the conditions for an ever more intense and activist global or transnational civil society. The physical infrastructure of increased economic interdependence (new systems of communication and transportation) and the extent to which new technologies (satellites, computer networks, etc.) have increased the costs and difficulty for governments of controlling flows of information, has facilitated the diffusion of values, knowledge, and ideas, and enhanced the ability of like-minded groups to organize across national boundaries. Transnational civil society, then, refers to those self-organized intermediary groups that are relatively independent of both public authorities and private economic actors; that are capable of taking collective action in pursuit of their interests or values; and that act across state borders. Globalization writers have laid great emphasis on the roles played by non-governmental organizations, social movements, and multinational corporations, but such activity also includes transnational drug and criminal groups and transnational terrorism. The analytical focus of much of this work has been on transnational networks—for example, knowledge-based networks of economists, lawyers, or scientists; or transnational advocacy networks which act as channels for flows of money and material resources but, more critically, of information and ideas.
A third cluster of arguments suggests that it is institutional enmeshment rather than economic transactions or the ‘reconfiguration of social space’ that has most constrained the state. On this view, states are increasingly rule-takers over a vast array of rules, laws, and norms that are promulgated internationally but which affect almost every aspect of how they organize their societies domestically. Proponents of this view highlight the tremendous growth in the number of international organizations; they point to the vast increase in both the number of international treaties and agreements and the scope and intrusiveness of such agreements; and they suggest that important changes are occurring in the character of the international legal system (the increased pluralism of the process by which new norms and rules emerge; the appearance of more and more ‘islands of supranational governance’ (such as the EU or the WTO); the blurring of municipal, international, and transnational law; and the increased importance of informal, yet norm-governed, governance mechanisms, often built around complex transnational and transgovernmental networks).
The critics attack along a number of fronts. First, they highlight the lack of clear and consistent definitions of globalization and the deep ambiguities as to what ‘globalization theory’ is supposed to involve or explain. Second, they point to the mounting empirical grounds for scepticism, for example: that levels of globalization are not higher or more intense than in earlier periods (especially the period before WW1); that there is no clear evidence of state retreat, of welfare states being cut back because of globalization pressures, of transnational capital standing in automatic opposition to social welfare, or of globalization being the most important factor in explaining levels of inequality in OECD countries. Whilst many of the changes and challenges of globalization are very real, the critics argue that they do not point in a single direction and certainly do not provide secure grounds for accepting the claim that some sort of deep change or transformation is under way. Third, the critics argue that globalization has been driven not by some unstoppable logic of technological innovation, but by specific sets of state policies, backed by specific political coalitions. This suggests that states themselves are not passive players and that the impact of globalization will often depend on national-level political and institutional factors. Equally, even where liberalizing effects can be attributed to globalization, it is not always the case that this implies state retreat—as in the process by which privatization and deregulation have involved re-regulation. Nor does globalization inevitably push governments towards declining state activism. It can, on the contrary, lead to increased pressure on government to provide protection against the economic and social dislocations that arise from increased liberalization and external vulnerability. Finally, the critics remain deeply unconvinced by the arguments for systemic transformation, highlighting the degree to which international institutions are created by states for particular purposes and the evident capacity of powerful states to resist or even abandon such institutions; the continued importance of military power controlled by states and of political boundaries and of national allegiances even in regions of dense economic and societal interdependence; and the very deep resistance of the United States as the global hegemon to contemplate giving up its own sovereignty and the capacity of the United States to both shape and resist the course of globalization.



Andrew Hurrell “globalization” The Concise Oxford Dictionary of Politics. Ed. Iain McLean and Alistair McMillan. Oxford University Press, 2003. Oxford Reference Online. Oxford University Press.

2/18/2012

HUKUM TATA NEGARA

 Dari berbagai sumber

Hukum Tata Negara adalah hukum mengenai susunan suatu Negara. Negara adalah suatu organisasi yang mengatur keseluruhan hubungan natara manusia satu sama lain dalam masyarakat, dan menegakkan aturan tersebut dengan kewajibanya. Negara adalah organisasi kekuasaan/ kewibawaan dan kelompok manusia yang ada dibawah pemerintahnya, merupakan masyarakat yang tunduk kepada kekuasaan/ kewibawaannya. Disamping itu Negara mempergunakan kewibawaan tersebut untuk menjamin danmengelola kepentingan-kepentingan materiil dan spiritual para anggotanya (Dedi Sumardi: Pengantar Hukum Indonesia)


Negara memperlihatkan 3 kenyataan:
Kekuasaan Tertinggi
Wilayah, yaitu lingkungan kekuasaan
Warga Negara

Tentang kekuasaan tertinggi dan legitimasi kekuasaan tertinggi terdapat banyak pendapat:
Teori Teokrasi, mendasarkan (melegitimasi) kekuasaan Negara pada kehendak Tuhan, tidak mungkin diadakan pemisahan antara negara dan agama.
Negara sebagai Organisasi Kekuatan belaka, Negara mempertahankan dan menjalankan kekuatan.
Teori Perjanjian, menitikberatkan kekuasaan Negara didasarkan atas suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat. Negara selayaknya merupakan negara demokrasi langsung.
Diantara teori-teori Perjanjian, Teori Rousseau yang paling berpengaruh. Dian berpendapat bahwa negara bersifat sebagai wakil rakyat, yang merupakan kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Negara selayaknya merupakan negara demokrasi langsung.
Teori Kedaulatan Negara, memandang bahwa hukum ada karena negara menghendakinya. Setiap tindakan pemerintah merupakan kehendak negara, tindakannya tidak dapat dibatasi oleh hukum, karena hukum buatan negara. Tidak mungkin negara harus tunduk kepada buatannya sendiri.
Teori kedaulatan negara mendaat tantangan dari berbagai sarjana hukum, terutama Krabbe yang terkenal dengan teori kedaulatan hukum. Dalam teori tersebut bukan hanya manusia dibawah perintah hukum, negarapun dibawah perintah hukum. Hukum berdaulat, hukum berada diatas segala sesuatu, termasuk negara. Apa yang dikemukakan oleh Krabbe adalah konsep negara hukum.

Negara hukum berdasarkan 2 asas pokok, yaitu:

1. Asas Legalitas, yaitu asas bahwa semua tindakan negara harus didasarkan atas dan dibatasi oleh peraturan, yaitu Rule of Law. Badan-badan pemerintah tidak dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan inti UUD atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Menurut pasal 1 ayat 3: negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Ini mengandung arti bahwa negara, dimana termasuk didalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain, dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP juga tercermin asas negara hukum dimana ditetapkan tiada suatu peristiwapun dapat dipidanakan nelainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam UU, yang terdahulu dari peristiwa itu

2. Asas Perlindungan Kebebasan dan Hak Pokok Manusia, semua orang yang ada diwilayah negara dalam hal kebebasan dan hak itu sesuai dengan kesejahteraan umum.


Kekuasaan Tertinggi negara dilakukan dalam suatu wilayah tertentu, yaitu wilayah negara, tempat dimana kekuasaan tertinggi itu dapat dijalankan secara efektif, yang meliputi tanah, laut dan udara. Lingkungan kekuasaan sesuatu negara biasanya teritur. Batas-batas wilayah terotorial suatu negara biasanya ditentukan oleh masing-masing negara dengan memperhatikan sebnayak-banyaknya asas hukum internasional. Jarak 3 mil laut menjadi batas tradisional lebarnya laun. Pada jaman sekarang bagian terbesar negara telah memperluas lebarnya laut teritorial sampai 12 mil laut. Setelah itu diterima asas, bahwa setiap negara berhak menggali kekayaan alam tang terkandung dalam landasan laut sampai batas yang merupakan wilayah negara.

a. Seluruh daerah (tanah) bekas jajahan hindia Belanda, termasuk Irian Jaya/ Papua yang administrasinya diserahkan kepad pemerintah RI oleh PBB pada tanggal 1 Mei 1963.

b. Batas perairan Indonesia adalah 12 mil laut dengan mempertahankan prinsip wawasan nusantara, yaitu segala perairan disekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk negara Indonesia merupakan bagian dari wilayah Indonesia.

c. Ruang udara diatas tanah dan laut wilayah negara RI sesuai dengan traktat Paris tahun 1919 yang menetapkan bahwa udara diatas teritur negara termasuk teritur negara tersebut.


Warga Negara adalah mereka yang merupakan keanggotaan yuridis dari negara. Siapa yang tidak termasuk warga negara adalah orang asing. Agar dapat menetukan siapa warga negara dan siapa yang tidak, dapat digunakan dasar penentuan tersebut dengan 2 ukuran, yaitu Ius Sanguinis dan Ius Soli.


Ius Sanguinis, seseorang menjadi warga negara karena keturunan, misalnya anak warga negara Indonesia yang lahir di manapun juga, dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia.


Ius Soli, seseorang menjadi warga negara karena kelahiran diwilayah suatu negara tertentu atau karena dia sudah beberapa waktu lamanya menjadi penduduk suatu negara tertentu.


Selain 2 asas kewarganegaraan tersebut, dipergunakan 2 stelsel kewarganegaraan, yaitu stelsel aktif dan stelsel pasif. Stelsel aktif, orang harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif untuk menjadi warga negara. Sedangkan stelsel pasif, orang dengan sendirinya diangap menjadi warga negara tanpa melakukan sesuatu tindakan hukum tertentu. Sehubungan dengan kedua stelsel tersebut harus dibedakan:
Hak Opsi, yaitu hak untuk memilih kewarganegaraan (dalam stelsel aktif)
Hak Repudiasi, yaitu hak untuk menolak suatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif)

Dalam menetukan kewarganegaraan beberapa negara memakai asas Ius Soli sedangkan di negara lain berlaku Isu Sanguinis. Hal ini dapat menimbulkan 2 kemungkinan:
Apatride (Stateless) adalah penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan.
Bipatride, yaitu penduduk yang mempunyai 2 macam kewarganegaraan rangkap atau dwi kewarganegaraan (Utrecht, Bab VII, hal 3)

Organisasi suatu negara disusun berdasarkan hukum tata negara positif dari negara yang bersangkutan. Demikian juga organisasi negara Indonesia disusun berdasarkan hukum tata negara Indonesia. Dalam Hukum Tata Negara Indonesia terdapat 2 hal yaitu:
Bagaimana organisasi negara Indonesia.
Bagaimana sistem hukum tata negara Indonesia.