Etika Politik
Perlu
dibedakan antara etika politik dengan moralitas politisi. Moralitas politisi
menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi (dan memang sangat
diandaikan), misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika
politik menjawab dua pertanyaan:
Etika
politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan
para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari
Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak
secara sistematik. Dua pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di
ambang zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan
tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk
kenegaraan menurut ratio/nalar, secara etis.
Maka
sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke), Kebebasan
berpikir dan beragama (Locke), Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie),
Kedaulatan rakyat (Rousseau), Negara hukum demokratis/republican (Kant),
Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb) dan Keadilan sosial
Lima
Prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer
Pluralisme
Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism adalah intoleransi, segenap paksaan dalam hal agama, kepicikan ideologis yang mau memaksakan pandangannya kepada orang lain. Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didisriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.
Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism adalah intoleransi, segenap paksaan dalam hal agama, kepicikan ideologis yang mau memaksakan pandangannya kepada orang lain. Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didisriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.
HAM
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual:
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual:
Mutlak
karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan
karena ia manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.
Kontekstual
karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang
modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan
seblaiknya diancam oleh Negara modern.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras.
Pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan (impunity).
Solidaritas
mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi
orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup
menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan
menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia
berkembnag secara melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama,
kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan.
Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam
kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar
oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran, tanggung-jawab,
sikap objektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup. Korupsi membuat
mustahil orang mencapai sesuatu yang mutu.
Prinsip
“kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau
sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk
menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain
harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang
dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau
dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”. Jadi
demokrasi memrlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam
tindakan politik.
Demokrasi
hanya dapat berjalan baik atas dua dasar: Pengakuan dan jaminan terhadap HAM;
perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran
mayoritas. Hal kedua adalah kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan
terhadap hokum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hokum merupakan unsur
hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
Keadilan
Sosial
Keadilan
merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa
pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan
penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan social mencegah bahwa masyarakat
pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang
paling-paling bisa survive di hari berikut.
Tuntutan
keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan
ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama
dengan sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana. Dalam
kenyataan, keadilan social diusahakan dengan membongkar
ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu
diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan
pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak
dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin),
melainkan dalam struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis.
Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak
hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan structural paling gawat
sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain
adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas
dasar ras, suku dan budaya.
Etika
Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus
Banyak pengamat politik berpandangan sinis: “Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun.” “Etika politik
itu nonsens”. Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Banyak pengamat politik berpandangan sinis: “Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun.” “Etika politik
itu nonsens”. Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Urgensi
etika politik
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi.
Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan
perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan
reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik
yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian
semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan “perubahan harus
konstitusional”, menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.Kekhasan etika politik
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi.
Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan
perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan
reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik
yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian
semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan “perubahan harus
konstitusional”, menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.Kekhasan etika politik
Tujuan
etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain,
dalam rangka memperluas lingkup
kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu
menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya
korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku
individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain…; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan…, ketiga, membangun
institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain” tidak mungkin
terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah
cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan
perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan.
Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil.
Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan
kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul,
kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu
menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya
korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku
individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain…; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan…, ketiga, membangun
institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain” tidak mungkin
terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah
cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan
perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan.
Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil.
Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan
kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul,
kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam
definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual
saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika
individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan
dalam
tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara. pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif.
tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara. pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif.
Perantara
itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai:
simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui
simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima
pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan
kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik
akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah
struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui
simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima
pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan
kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik
akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah
struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
Etika
politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah “hidup baik bersama dan untuk orang lain”. Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki
integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai
keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para
pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. “Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia
akan makmur”. Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).
Tuntutan pertama etika politik adalah “hidup baik bersama dan untuk orang lain”. Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki
integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai
keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para
pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. “Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia
akan makmur”. Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).
Etika
politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak
memperhitungkan real politic, cenderung
mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan
kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang
mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada
kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.
mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan
kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang
mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada
kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.
Institusi
sosial dan keadilan prosedural
Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat
berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi
sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa
depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi
yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama
sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral
politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten. kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah “yang jujur hancur”. Ungkapan ini menunjukkan. urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan
prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi
adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan “yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir”
dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil
dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya.
Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat
berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi
sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa
depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi
yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama
sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral
politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten. kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah “yang jujur hancur”. Ungkapan ini menunjukkan. urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan
prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi
adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan “yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir”
dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil
dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya.
Dengan
demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di
Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau
hasil kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama.
Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok
yang mempertaruhkan
semua untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan. kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya.
Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
semua untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan. kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya.
Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
Menentukan
kriteria kebenaran dan keadilan
Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.
Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.
Audi
Yudhasmara
KORAN DEMOKRASI INDONESIA
Htpp://korandemokrasiindonesia.wordpress.com
KORAN DEMOKRASI INDONESIA
Htpp://korandemokrasiindonesia.wordpress.com
http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/12/15/pendidikan-politik-etika-politik/