GAGASAN TENTANG
KEWARGANEGARAAN
Oleh : Iwan
Sukma Nuricht
A.
Gagasan Kewarganegarasan Awal
Istilah kewarganegaraan (terjemahan dari “citizenship”) telah dikenal sejak zaman Aristoteles (384-322 BC).
Dalam bukunya yang berjudul “Politics”, Aristoteles menjelaskan tentang citizenship sebagai gagasan awal yang
terdapat dalam Buku III The Theory of
Citizenship and Constitution (Wahab dan Sapriya, 2011). Menurut J.G.A.
Pocock (1995) ketika
kita berbicara tentang kewarganegaraan
awal atau klasik, maka kita akan selalu merujuk pada peradaban kuno di
Mediteranian, secara khusus Athena pada ke-5 SM dan ke-4 SM dan Roma dari abad
ke-3 SM sampai abad 1 M.
1.
Gagasan Kewarganegaraan di Yunani
Kuno
Bentuk pertama dari
kewarganegaraan didasarkan pada cara hidup orang di zaman
Yunani Kuno, dalam skala yang
kecil masyarakat organik dari (city-state) polis. Menurut Bertens (1999)
suatu polis adalah suatu negara kecil
atau suatu negara-kota, tetapi serentak juga kata polis menunjuk kepada rakyat yang hidup dalam negara-kota itu. Pada
zaman ini kewarganegaraan tidak
dipandang sebagai masalah publik,
kewarganegaraan dipisahkan dari kehidupan
pribadi dari individu. Kewajiban kewarganegaraan amat berhubung erat dengan kehidupan sehari-hari seseorang di polis. Menurut
Freeman Butts (1980): Pertama, Kewarganegaraan di Yunani didasarkan
pada keanggotaan dalam komunitas politik, di mana hak dan kewajiban warga
negara diatur oleh hukum yang dibuat oleh manusia. Dalam hal ini
kewarganegaraan dilihat sebagai sebuah achieved
status yang berbeda dengan peran dan kewajiban yang diberikan oleh klan,
kekerabatan, atau jenis kelamin sebagai ascribed
status. Kedua, mereka yang disebut
warga bebas (free citizens) adalah
anggota dari sebuah komunitas politik yang demokratis maupun republik di mana
kelas warga negara berpartisipasi secara aktif dalam urusan negara.
2.
Gagasan Kewarganengaraan di
Kekaisaran Romawi
Di Kekaisaran Romawi,
polis
(city-state) kewarganegaraan berubah bentuk: kewarganegaraan itu diperluas
dari masyarakat skala kecil ke seluruh kekaisaran. Roma menyadari bahwa pemberian kewarganegaraan kepada orang-orang dari seluruh kekaisaran melegitimasi kekuasaan Romawi
atas wilayah ditaklukkan. Kewarganegaraan di era Romawi
tidak lagi sekedar status badan politik,
tapi direduksi
menjadi perlindungan hukum dan ekspresi aturan
dan hukum.
Kewarganegaraan telah menjadi status hukum yang disertai
dengan hak-hak khusus bagi anggota Civic Romanus (J.G.A. Pocock, 1980:36).
Status kewarganegaraan telah menjadi hal yang menunjukkan status hukum seseorang, yang tidak
cukup sama dengan status politik pada zaman Yunani Kuno. Selama
berabad-abad, homo legalis dengan ini menunjuk orang
yang dapat menggugat dan digugat di pengadilan tertentu. Orang yang termasuk dalam anggota Civis Romanus menikmati
hak-hak khusus di seluruh daerah kekuasaan Romawi.
B. Gagasan
Kewarganegaraan di Zaman Modern
Dalam
perkembangan selanjutnya, melalui berbagai macam revolusi (diantaranya revolusi
Prancis), kewarganegaraan dalam dunia modern akhirnya menjadi status hukum yang
melimpahkan hak-hak dan kewajiban kepada semua anggota negara. Kewarganegaraan
modern dikaitkan dengan persamaan di depan hukum, kebebasan dari kekuasaan
sewenang-wenang, dan rasa dasar martabat manusia yang terikat dengan gagasan
hak asasi manusia. Ini adalah istilah yang kuat yang membangkitkan tidak hanya
hak-hak warga negara yang mereka bisa klaim, tetapi juga tugas-tugas yang
mereka tetapkan, termasuk mati untuk
sebuah negara.
Di
zaman modern, kebijakan kewarganegaraan dibagi antara jus sanguinis dan jus soli ("right
of soil")
bangsa. Kebijakan tentang jus sanguinis
didasarkan pada kewarganegaraan berdasarkan keturunan atau etnis, dan terkait
dengan konsep negara-bangsa (nation-state)
di Eropa. Kebijakan jus soli
kewarganegaraan mengacu pada siapa pun yang lahir di wilayah negara, kebijakan
ini dipraktekkan oleh banyak negara di benua Amerika.
C.
Gagasan
Kewarganegaraan pada Masa Kontemporer
Secara historis, kajian tentang pemikiran kewarganegaraan kontemporer
dapat ditelusuri dari karya sejumlah pakar antara lain Marshall (1950). Menurut
Gunsteren (1988), pemikiran Marshall tentang kewarganegaraan meliputi tiga
aspek, yakni bahwa warga negara: (1) memiliki hak bicara dalam pengambilan
keputusan politik; (2) memiliki akses terhadap pengadilan umum yang dijalankan
oleh warga Negara secara bersama untuk memutuskan perkara menurut aturan yang
berlaku sama bagi setiap warga Negara; dan (3) memiliki jaminan atas kondisi
sosial ekonomi minimum (Wahab dan Sapriya, 2011:183-184.