Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

2/03/2012

TEORI DAN LANDASAN PKN


GAGASAN TENTANG KEWARGANEGARAAN
Oleh : Iwan Sukma Nuricht
A.    Gagasan Kewarganegarasan Awal
Istilah kewarganegaraan (terjemahan dari “citizenship”) telah dikenal sejak zaman Aristoteles (384-322 BC). Dalam bukunya yang berjudul “Politics”, Aristoteles menjelaskan tentang citizenship sebagai gagasan awal yang terdapat dalam Buku III The Theory of Citizenship and Constitution (Wahab dan Sapriya, 2011). Menurut J.G.A. Pocock (1995) ketika kita berbicara tentang kewarganegaraan awal atau klasik, maka kita akan selalu merujuk pada peradaban kuno di Mediteranian, secara khusus Athena pada ke-5 SM dan ke-4 SM dan Roma dari abad ke-3 SM sampai abad 1 M.
1.      Gagasan Kewarganegaraan di Yunani Kuno
Bentuk pertama dari kewarganegaraan didasarkan pada cara hidup orang di zaman Yunani Kuno, dalam skala yang kecil masyarakat organik dari (city-state) polis. Menurut Bertens (1999) suatu polis adalah suatu negara kecil atau suatu negara-kota, tetapi serentak juga kata polis menunjuk kepada rakyat yang hidup dalam negara-kota itu. Pada zaman ini kewarganegaraan tidak dipandang sebagai masalah publik, kewarganegaraan dipisahkan dari kehidupan pribadi dari individu. Kewajiban kewarganegaraan amat berhubung erat dengan kehidupan sehari-hari seseorang di polis. Menurut Freeman Butts (1980): Pertama, Kewarganegaraan di Yunani didasarkan pada keanggotaan dalam komunitas politik, di mana hak dan kewajiban warga negara diatur oleh hukum yang dibuat oleh manusia. Dalam hal ini kewarganegaraan dilihat sebagai sebuah achieved status yang berbeda dengan peran dan kewajiban yang diberikan oleh klan, kekerabatan, atau jenis kelamin sebagai ascribed status. Kedua, mereka yang disebut warga bebas (free citizens) adalah anggota dari sebuah komunitas politik yang demokratis maupun republik di mana kelas warga negara berpartisipasi secara aktif dalam urusan negara.
2.      Gagasan Kewarganengaraan di Kekaisaran Romawi
Di Kekaisaran Romawi, polis (city-state) kewarganegaraan berubah bentuk: kewarganegaraan itu diperluas dari masyarakat skala kecil ke seluruh kekaisaran. Roma menyadari bahwa pemberian kewarganegaraan kepada orang-orang dari seluruh kekaisaran melegitimasi kekuasaan Romawi atas wilayah ditaklukkan. Kewarganegaraan di era Romawi tidak lagi sekedar status badan politik, tapi direduksi menjadi perlindungan hukum dan ekspresi aturan dan hukum. Kewarganegaraan telah menjadi status hukum yang disertai dengan hak-hak khusus bagi anggota Civic Romanus (J.G.A. Pocock, 1980:36). Status kewarganegaraan telah menjadi hal yang menunjukkan status hukum seseorang, yang tidak cukup sama dengan status politik pada zaman Yunani Kuno. Selama berabad-abad, homo legalis dengan ini menunjuk orang yang dapat menggugat dan digugat di pengadilan tertentu. Orang yang termasuk dalam anggota Civis Romanus menikmati hak-hak khusus di seluruh daerah kekuasaan Romawi.
B.     Gagasan Kewarganegaraan di Zaman Modern
Dalam perkembangan selanjutnya, melalui berbagai macam revolusi (diantaranya revolusi Prancis), kewarganegaraan dalam dunia modern akhirnya menjadi status hukum yang melimpahkan hak-hak dan kewajiban kepada semua anggota negara. Kewarganegaraan modern dikaitkan dengan persamaan di depan hukum, kebebasan dari kekuasaan sewenang-wenang, dan rasa dasar martabat manusia yang terikat dengan gagasan hak asasi manusia. Ini adalah istilah yang kuat yang membangkitkan tidak hanya hak-hak warga negara yang mereka bisa klaim, tetapi juga tugas-tugas yang mereka  tetapkan, termasuk mati untuk sebuah negara.
Di zaman modern, kebijakan kewarganegaraan dibagi antara jus sanguinis  dan jus soli ("right of soil") bangsa. Kebijakan tentang jus sanguinis didasarkan pada kewarganegaraan berdasarkan keturunan atau etnis, dan terkait dengan konsep negara-bangsa (nation-state) di Eropa. Kebijakan jus soli kewarganegaraan mengacu pada siapa pun yang lahir di wilayah negara, kebijakan ini dipraktekkan oleh banyak negara di benua Amerika.
C.    Gagasan Kewarganegaraan pada Masa Kontemporer
Secara historis, kajian tentang pemikiran kewarganegaraan kontemporer dapat ditelusuri dari karya sejumlah pakar antara lain Marshall (1950). Menurut Gunsteren (1988), pemikiran Marshall tentang kewarganegaraan meliputi tiga aspek, yakni bahwa warga negara: (1) memiliki hak bicara dalam pengambilan keputusan politik; (2) memiliki akses terhadap pengadilan umum yang dijalankan oleh warga Negara secara bersama untuk memutuskan perkara menurut aturan yang berlaku sama bagi setiap warga Negara; dan (3) memiliki jaminan atas kondisi sosial ekonomi minimum (Wahab dan Sapriya, 2011:183-184.