Analisis Komperatif Teori Perkembangan Moral Jean
Piaget dan Lawrence Kohlberg
Oleh : Iwan Sukma Nuricht
Oleh : Iwan Sukma Nuricht
·
Teori Jean Piaget
Piaget melandaskan
teorinya pada hasil penelitian yang ia lakukan mengenai struktur kognitif dan kajian moral anak
selama 40 tahun. Penelitiannya itu
didasarkan pada sikap verbal anak (children verbal attitudes) terhadap
berbagai aturan permainan, perilaku sehari-hari, mencuri, dan membohong. Selain
itu, penelitiannya tersebut bertolak dari postulat atau asumsi dasar
bahwa "moralitas berada dalam suatu sistem aturan, oleh karena itu
hakikat moralitas
seyogyanya dilihat dari sudut bagaimana individu menyadari kebutuhannya akan
aturan itu". Untuk itu ia meneliti bagaimana anak menyadari adanya aturan dan bagaimana ia menerapkan
aturan itu dalam suatu permainan.
Dari hasil studinya itu ia mengidentifikasi bahwa ada dua tingkat perkembangan moral pada anak usia antara 6- 12 tahun yakni:
(1)
Tingkatan heteronomi. Pada tingkatan heteronomi, segala aturan oleh anak dipandang sebagai hal yang
datang dari luar jadi bersifat eksternal dan dianggap sakral karena aturan itu
merupakan hasil pemikiran orang dewasa. Sifat heteronomi anak disebabkan oleh
faktor kematangan struktur kognitif yang
ditandai sifat egosentrisme dan hubungan interaktif dengan orang dewasa
dimana anak merasa kurang berkuasa dibanding
orang dewasa.
(2)
Tingkatan autonomi. Pada
tingkatan autonomi anak mulai menyadari
adanya kebebasan untuk tidak
sepenuhnva menerima aturan itu sebagai hal yang datang dari luar
dirinya. Pada tingkatan ini anak menunjukkan kemampuan untuk mengkritisi aturan
dan memilih aturan yang tepat atas dasar kesepakatan dan kerjasama dengan
lingkungannya. Sifat autonomi dipengaruhi oleh kematangan struktur kognitif yang ditandai oleh
kemampuan mengkaji aturan secara kritis dan menerapkannya secara
selektif yang muncul dari sikap resiprositas dan kerjasama.
Secara teoretik nilai moral berkembang
secara psikologis dalam diri individu mengikuti perkembangan
usia dan konteks sosial. Dalam kaitannya
dengan usia, Piaget (dalam Winataputra dan Budimansyah, 2007:172-173; Makmun,
2001:102-103) merumuskan perkembangan kesadaran dan pelaksanaan aturan sebagai berikut:
Tahapan
pada domain Kesadaran mengenai
Aturan:
- Usia
0-2 tahun: Aturan dirasakan sebagai hal yang tidak bersifat memaksa;
- Usia
2-8 tahun: Aturan disikapi bersifat sakral dan diterima tanpa pemikiran;
- Usia
8-12 tahun : Aturan diterima sebagai hasil kesepakatan.
Tahapan
pada domain Pelaksanaan Aturan:
-
Usia 0-2 tahun
: Aturan dilakukan hanya bersifat motorik saja;
-
Usia 2-6 tahun
:Aturan dilakukan dengan orientasi diri sendiri;
-
Usia 6-10
tahun: Aturan dilakukan sesuai kesepakatan;
-
Usia 10-12 tahun:Aturan dilakukan karena sudah
dihimpun.
Bertolak dari teorinya itu Piaget menyimpulkan bahwa pendidikan
sekolah seyogyanya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan (decision making skills) dan memecahkan masalah (problem solving) dan
membina perkembangan moral dengan cara menuntut para peserta didik untuk
mengembangkan aturan berdasarkan
keadilan/kepatutan (fairness). Dengan kata lain pendidikan nilai
berdasarkan teori Piaget adalah pendidikan nilai moral atau nilai etis yang dikembangkan
berdasarkan pendekatan psikologi perkembangan moral kognitif. Disitulah
pendidikan nilai dititikberatkan pada
pengembangan perilaku moral yang dilandasi oleh penalaran moral yang
dicapai dalam konteks kehidupan masyarakat.
·
Teori Lawrence Kohlberg
Selama
18 tahun Lawrence Kohlberg mengadakan penelitian mengenai perkembangan moral
yang berlandaskan pada teori perkembangan
kognitif Piaget. Kohlberg mengajukan postulat atau anggapan dasar bahwa anak membangun cara berpikir mereka
melalui pengalaman termasuk pengertian
konsep moral seperti keadilan, hak, persamaan, dan kesejahteraan
manusia. Penelitian yang dilakukannya memusatkan perhatian pada kelompok usia
di atas usia yang diteliti oleh Piaget. Dari penelitiannya itu Kohlberg
merumuskan adanya tiga tingkat (level) yang terdiri atas enam tahap (stage)
perkembangan moral berikut:
TINGKAT I : PRA-KONVENSIONAL (PRECONVENTIONAL)
|
|
Tahap 1
|
Orientasi
hukuman dan kepatuhan (Apapun yang mendapat pujian
atau dihadiahi adalah baik, dan apapun yang dikenai hukuman adalah
buruk).
|
Tahap 2
|
Orientasi instrumental nisbi (Berbuat baik apabila
orang lain, berbuat baik
padanya, dan yang baik itu adalah bila satu sama lain berbuat hal yang sama).
|
TINGKAT II KONVENSIONAL (CONVENTIONAL)
|
|
Tahap 3
|
Orientasi kesepakatan timbal balik (Sesuatu dipandang baik untuk
memenuhi anggapan orang lain atau baik karena disepakati)
|
Tahap 4
|
Orientasi hukum dan ketertiban (Sesuatu yang baik itu adalah yang diatur
oleh hukum dalam masyarakat dan dikerjakan sebagai pemenuhan kewajiban sesuai dengan
norma hukum tersebut).
|
TINGKAT III PASCA-KONVENSIONAL (POSTCONVENTIONAL)
|
|
Tahap 5
|
Orientasi kontrak sosial legalistik (Sesuatu dianggap
baik bila sesuai dengan kesepakatan umum dan
diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran konsensual).
|
Tahap 6
|
Orientasi prinsip etika universal (Sesuatu dianggap
baik bila telah menjadi prinsip etika yang bersifat universal dari mana norma dan aturan ditawarkan).
|
Dalam
teorinya tersebut Kohlberg menolak konsepsi
pendidikan nilai/karakter tradisional yang berpijak pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan/keadaban (bag
of virtues) seperti kejujuran, budi baik, kesabaran, ketegaran yang
menjadi landasan perilaku moral. Oleh karena itu ditegaskannya bahwa tugas guru
adalah membelajarkan kebajikan itu melalui percontohan
dan komunikasi langsung keyakinan
serta memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kebajikan itu
dengan memberinya penguatan. Konsepsi dan pendekatan tradisional pendidikan nilai ini dinilai tidak memberi prinsip yang memandu
untuk mendefinisikan kebajikan mana yang sungguh berharga untuk diikuti. Dalam kenyataannya para guru pada
akhirnya berujung pada proses penanaman nilai yang tergantung pada
kepercayaan sosial, kultural dan personal.
Untuk mengatasi hal tersebut Kohlberg mengajukan
pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan klarifikasi
nilai (value clarification approach) yang bertolak dari asumsi bahwa tidak ada jawaban benar satu-satunya terhadap suatu dilema moral tetapi di situ ada
nilai yang dipegang sebagai dasar berpikir
dan berbuat.
Sumber Buku:
Prof. Dr .Dasim Budimansyah, Msi, 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Internasional (Konteks, Teori dan dan Profil Pembelajaran). Bandung, Widya Aksara Press