Sumber Buku : Prof. Dr .Dasim Budimansyah, Msi, 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Internasional (Konteks, Teori dan dan Profil Pembelajaran). Bandung, Widya Aksara Press
Berdasarkan
laporan hasil penemuan Kerr (1999:5-7)
diperoleh deskripsi tentang jati diri "citizenship
education", yang ternyata dipengaruhi oleh faktor-faktor: "historical
tradition, geographical position,
socio-political structure, economic system, and global trends". Studi itu juga mengidentifikasi adanya
suatu "Citizenship education continuum" MINIMAL dan MAKSIMAL.
"Citizenship education" pada titik Minimal ditandai
oleh: "thin, exclusive, elitist, civics education, formal, content led,
knowledge-based, didactic transmision,
easier to achieve and measure in practice. Maksudnya adalah didefinisikan
secara sempit, hanya mewadahi aspirasi
tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada
pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya
mudah diukur. Sedangkan yang bersifat Maksimal
ditandai oleh : "thick, inclusive, activist, citizenship
education, participative, process-led, values-based, interactive interpretation, nterpretation, more difficult to
achieve and measure in practice". Maksudnya adalah didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai
aspirasi dan melibatkan berbagai unsur
masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, diberi label "citizenship education", menitikberatkan
pada partisipasi siswa melalui
pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun di luar kelas,
hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleksnya hasil belajar. Sejalan dengan konseptualisasi dalam bentuk kontinum tersebut, dari studi itu
dikonseptualisasikan tiga pendekatan "citizenship
education" (Kerr,1999:15-16) yakni (1) "Education About citizenship" yang memusatkan perhatian pada: "...providing
students with sufficient
knowledge and understanding of national history and the structures and
processes of government and political life"; (2) Education Through citizenship" yang menitikberatkan pada prinsip: "...involves
student learning by doing,
through active, participative experiences in the school or in
local community and beyond. Proses belajar seperti itu diyakini memiliki
potensi untuk "... reinforces the knowledge component"; dan
(3) Education For citizenship yang mencakup kedua pendekatan (1 dan 2) yang
menitikberatkan pada proses "...equiping students with a set of tools (knowledge and understanding, skills and
attitudes, values and dispositions) which
enable them to participate actively and sensibly in the roles and responsibilities they encounter in their adult
lives. Pendekatan ini mengaitkan
"citizenship education" dengan "the whole
education experience of students".
Berdasarkan
kerangka pemikiran yang diungkapkan oleh David Kerr tersebut diatas, maka kita
dapat menganalisa pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dengan
berdasar pada kerangka tersebut.
Secara normatif, Pendidikan Kewarganegaraan
memiliki posisi yang strategis, akan tetapi melalui pendekatan separate dengan
sifat dan kedudukan wajib sebagai bagian dari program inti justru telah
menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia dalam kontinum minimal dengan karakteristik yang meliputi:
Ø didefinisikan secara sempit;
Ø hanya mewadahi aspirasi tertentu;
Ø berbentuk pengajaran kewarganegaraan (civic education);
Ø bersifat formal;
Ø terikat oleh isi;
Ø berorientasi pada pengetahuan;
Ø menitikberatkan pada proses pengajaran, dimana PKn lebih cenderung
hanya dibelajarkan di kelas saja; serta
Ø hasilnya mudah diukur
Artinya PKn hanya
mempersiapkan peserta didik untuk mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai
sejarah nasional, struktur dan proses pemerintahan serta kehidupan politik.
Dengan kata lain, PKn di Indonesia baru sebatas civic education saja
belum menjelama sebagai citizenship education. PKn di Indonesia baru
bisa dipahami sebatas sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah, yang belum
merupakan program pendidikan di masyarakat pada umumnya (citizenship education). Akibatnya sering terjadi disinkronisasi
antara apa yang dibelajarkan di sekolah dengan kenyataan di masyarakat.
Misalnya, ketika di sekolah siswa dituntut untuk mematuhi norma-norma yang
berlaku, tetapi ketika siswa berada di masyarakat, siswa menemukan berbagai
pelanggaran norma yang dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya. hal tersebut
tentu akan menghambat proses penanaman nilai-nilai kewarganegaraan dalam diri
siswa.