Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

3/06/2012

PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN (PENDIDIKAN DEMOKRASI) DI INDONESIA

PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN (PENDIDIKAN DEMOKRASI) DI INDONESIA


PENDAHULUAN

Menurut Malik Fadjar dan pendidikan kewarganegaraan (civic education)  saat ini menyoroti khusus soal demokrasi dan hak asasi. Penyajiannya pun tidak berbentuk indoktrinasi.”Melalui forum diharapkan tersaji format pendidikan kewarganegaraan yang baik,” ujarnya. Mendiknas menyebutkan, kesiapan masyarakat harus dimulai, dan terutama dari kalangan akademisi yang diharapkan bisa turut terlibat memberi masukan.
Dalam pandangannya, ”mind-set” masyarakat Indonesia harus diubah dari yang semula menganut budaya minta petunjuk dan minta penjelasan. Meskipun, diakuinya, perubahan mind-set tersebut tidak bisa dalam waktu sebentar. ”Butuh lima sampai 10 tahun lagi, baru bisa mengubah mind-set kerangka budaya bangsa Indonesia,” ujarnya.
Dipaparkan Mendiknas, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, civic education mulai berkembang. Lalu memasuki era Orde Baru memasuki era seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).”Suka atau tidak suka, selama 30 tahun itu berhasil terbentuk manusia Indonesia. Selama masa itu, suasananya memang monolitik dan uniform,” katanya.
Dalam era reformasi sekarang, sasarannya terbentuk masyarakat madani (civil society), serta menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka. ”Pancasila itu merupakan komitmen, kontrak politik. Sehingga, jangan diperas lagi seperti waktu lalu ada Trisila dan Ekasila,” jelasnya.
Mendiknas berpendapat, kelemahan bangsa Indonesia adalah dalam hal ”maintenance and inovative learning”. ”Ini kelemahan kita, tidak perlu khawatir kalau ada perbedaan, asalkan tetap memegang prinsip dasar,” katanya seraya mencontohkan, komitmen yang terkandung dalam Mukadimah UUD 1945.
Senada dengan Malik Fadjar, pengamat politik UI, Maswadi Rauf menilai, dalam soal pendidikan kewarganegaraan ini, pemerintah sebaiknya hanya memberi guideline (garis besar), sedangkan mengenai isi pendidikan kewarganegaraan tersebut diserahkan kepada masyarakat (swasta).
Dalam penilaiannya, pendidikan kewarganegaraan selama ini telah diselewengkan, diangap sebagai alat penguasa untuk penanaman nilai-nilai yang dianut penguasa.
”Ini tentunya harus ditinggalkan, seiring pemberlakuan otonomi daerah dan otonomi kampus,” katanya. Tujuan pentingnya dalam terbentuknya warga negara yang baik, namun selama ini belum dihayati benar.
Maswadi menegaskan, untuk soal ini jangan ditekankan pada kurikulum pendidikan, maksudnya guna menghindari kemungkinan indoktrinasi terselubung. Caranya, melalui kebebasan pers dan pelaksanaan diskursus publik.
”Kalau soal pendidikan kewarganegaraan ini diserahkan pada masyarakat memang akan terlalu bebas, akan terjadi berbagai pandangan. Karenanya, perlu wacana publik berupa public discourse itu,” jelasnya.
Penanaman nilainya melalui pendidikan kewarganegaraan, jelasnya, antara lain berupa sikap toleran, sikap patuh pada hukum, dan menyadari hak dan kewajiban. ”Intinya terjadi penanaman budaya demokrasi di masyarakat, dan tentunya ini lebih luas dibandingkan hanya di sekolah,” ujarnya. Selain Depdiknas, ujar Maswadi, Kantor Menteri Negara Informasi dan Komunikasi (Inkom) mempunyai peranan besar dalam peningkatan pendidikan kewarganegaraan

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Menyadari betapa pentingnya pendidikan demokrasi dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, Center for Indonesian Civic Education (CICED) bekerjasama dengan USIS Jakarta, Balitbang Dikbud, dan IKIP Bandung pada tanggal 16-17 Maret 1999, telah mengadakan “Conference on Civic Education for Civil Society” dengan mengambil tema “Democratic Citizens in a Civil Society: Building Rationales for the 21st Century’s Civic Education”. Khusus mengenai konsep dan strategi pendidikan demokrasi dirumuskan kesimpulan bahwa secara konseptual pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis diterima sebagai dasar pertimbangan utama bagi pendidikan di Indonesia. Ikhtiar kependidikan ini pada dasarnya harus ditujukan untuk mengembangan kecerdasan spiritual, rasional, emosional, dan sosial warganegara baik sebagai aktor sosial maupun sebagai pemimpin/khalifah pada hari ini dan hari esok. Sedangkan rumusan mengenai karakter utama warganegara yang cerdas dan baik adalah bahwa warganegara Indonesia yang cerdas dan baik itu adalah mereka yang secara ajek memelihara dan mengembangkan cita-cita dan nilai demokrasi sesuai perkembangan jaman, dan secara efektif dan langgeng menangani dan mengelola krisis yang selalu muncul untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia sebagai bagian integral dari masyarakat global yang damai dan sejahtera.
Dari kedua konsep dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa paradigma pendidikan demokrasi yang digagaskan adalah pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional atau multidimensional citizenship education (Cogan, 1998). Sifat multidimensionalitasnya itu terletak dalam asumsi positif dan programatiknya yang menyangkut individu, negara, dan masyarakat global; tujuannya yang diarahkan pada semua dimensi kecerdasan (spiritual, rasional, emosional, dan sosial); latarnya (setting) yang mencakup seluruh jalur dan jenjang pendidikan; dan pengalaman belajarnya yang terbuka, fleksibel, dan bervariasi merujuk kepada dimensi tujuannya. Paradigma ini berbeda dengan paradigma pendidikan demokrasi yang pernah ada pada saat ini yang didasarkan pada asumsi normatif kepentingan politik, tujuan yang kenyataannya monodimensional dan atomistik, tidak ada interaksi antarlatar pendidikan (setting), dan pengalaman belajar yang serba terbatas antara lain bersifat test-driven atau hanya digiring untuk lulus tes dan bukan untuk mampu hidup yang demokratis di masyarakat.
Bila ditampilkan dalam wujud program pendidikan, paradigma baru ini menuntut hal-hal sebagai berikut (Gandal dan Finn, 1992; Bahmuller, 1996; Winataputra; 1999): Pertama, memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang hakikat dan karakteristik aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang berkembang di Indonesia. Kedua, mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi bagaimana cita-cita demokrasi telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan dan praktek di berbagai belahan bumi dan dalam berbagai kurun waktu. Ketiga, tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu mengeksplorasi sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih. Keempat, tersedianya sumber belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk memahami penerapan demokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan yang luas tentang ragam ide dan sistem demokrasi dalam berbagai konteks. Kelima, dikembangkannya kelas sebagai democratic laboratory, lingkungan sekolah/kampus sebagai micro cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open global classroom yang memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam situasi berdemokrasi, dan untuk tujuan melatih diri sebagai warganegara yang demokratis atau learning democracy, in democracy, and for democracy.

METODOLOGI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN (PENDIDIKAN DEMOKRASI)
Secara tradisional, khususnya di Indonesia, baik dalam rangka mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau sebelumnya Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun dalam rangka Penataran P-4, demokrasi terkesan lebih banyak diajarkan atau
tought dan bukan dipelajari atau learned dengan peran guru/dosen/penatar/manggala yang lebih dominan. Karena itu situasi kelasnya pun, dengan meminjam istilah Flanders (1972) lebih bersifat dominative dan bukan integrative. Dampak instruksional dan pengiringnya pun tentu tak bisa dielakkan lagi lebih bersifat pengetahuan atau knowledge oriented. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa bangsa Indonesia dalam berbagai lapisan sosial terkesan belum bisa menjalankan cita-cita, nilai, dan prinsip demokrasi (Asia Foundation, 1998).
Keadaan itulah yang ingin diatasi melalui upaya dikembangkannya paradigma baru pendidikan kewarganegaraan yang urgensinya tampak begitu kuat, sebagaimana ditemukan dalam National Survey: Needs-Assessment for New Indonesian Civic Education (CICED, 1999).
Sebagaimana dirumuskan sebelumnya, paradigma baru pendidikan kewarganegaraan, yang nota bene tercakup pendidikan demokrasi dan HAM didalamnya, secara metodologis menuntut perbaikan dalam ketiga dimensinya, yakni dalam curriculum content and instructional strategies; civic education classroom; and learning environment (CICED, 1999a). Pertama, diyakini bahwa isi kurikulum dan strategi pembelajarannya ditekankan bahwa “…for all levels of schools should be carefully selected and dynamically organized integratedly upon the bases of democratic ideals, values, norms, and moral; psychologically relevant to individual development, contextually relevant to various learning environment, and scientifically sound” (CICED, 1999a). Implikasi dari semua prinsip tersebut adalah bahwa kurikulum dan strategi pembelajaran pendidikan demokrasi seyogyanya dikembangkan secara sistemik (lintas jenjang, jalur, dan bidang), dengan konsep dasar demokrasi yang komprehensif (utuh dan lengkap), dan dengan organisasi kurikulum yang berdiversifikasi merujuk kepada life cycle anak (perkembangan kognitif, afektif, sosial-moral, dan skill); serta lingkungan belajar setempat (desa, kota). Dengan kata lain, kurikulum pendidikan demokrasi seyogyanya mengandung aspek ideal yang bersifat nasional, aspek instrumental yang bercorak ragam, dan aspek praksis yang adaptif terhadap lingkungan setempat. Oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum dan strategi pembelajaran pendidikan demokrasi dan HAM, seyogyanya melibatkan para ahli dan praktisi pendidikan kewarganegaraan; para ahli dan praktisi disiplin sosial terkait seperti: politik, hukum, sejarah, sosiologi, antropologi, geografi; dan wakil birokrat pemerintahan daerah dan tokoh masyarakat setempat dan LSM terkait. Isi inti kurikulum seyogyanya mengandung muatan nasional, muatan regional, dan muatan lokal.
Yang perlu dijadikan muatan nasional adalah pilar-pilar demokrasi konstitusional Indonesia yakni cita-cita, nilai, dan prinsip demokrasi Indonesia yang: berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan jaminan hak asasi manusia, berdasarkan kedaulatan rakyat, bertujuan mencerdaskan bangsa, menerapkan prinsip pembagian kekuasaan negara, mengembangkan otonomi daerah, menegakkan rule of law, mengembangkan sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak, mengutamakan kesejahteraan rakyat, dan melaksanakan prinsip keadilan sosial (UUD 1945; Sanusi, 1998; CICED, 1999). Pilar-pilar itu dapat pula dibandingkan dengan, dan jika perlu diadaptasi seperlunya sokoguru demokrasi yang dianggap bersifat universal ala demokrasi liberal Amerika (USIS, 1991) yang mencakup: “kedaulatan rakyat; pemerintahan yang berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; kekuasaan mayoritas; hak-hak minoritas; jaminan hak asasi manusia; pemilihan yang bebas dan jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang wajar; pembatasan pemerintahan secara konstitusional; pluralisme sosial, ekonomi dan politik; dan nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama, dan mufakat”. Perbedaan yang mendasar dari sokoguru demokrasi tersebut, adalah bahwa dalam pilar demokrasi konstitusional Indonesia secara eksplisit mendasarkan pada nilai-nilai dan prinsip yang dikandung oleh “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kedua, kelas pendidikan kewarganegaraan seyogyanya dilihat dan diperlakukan, artinya dikembangkan sebagai “…laboratory for democracy where the spirit of citizenship and humanity emanating from the ideals and values of democracy are put into the actual practice by learners and teachers as well. In such a classroom learners and teachers should collaboratively develop and share democratic climate where decision making process is acquired and learned” (CICED, 1999a). Profil konseptual kelas pendidikan kewarganegaraan yang digagaskan di atas, harus dikembangkan untuk menggantikan kelas pendidikan kewarganegaraan/pendidikan demokrasi saat ini yang bersifat lebih dominatif dan indoktrinatif. Yang perlu digarisbawahi di situ adalah perwujudan semangat kewarganegaraan dan kemanusiaan, yakni civic virtue yang menjadi inti nilai demokrasi, dalam prilaku interaktif guru-siswa dan siswa-siswa, dan penciptaan iklim demokratis dalam rangka pengambilan keputusan. Untuk itu maka proses pembelajaran pendidikan demokrasi perlu dikembangkan dengan menerapkan pendekatan belajar yang bersifat memberdayakan siswa. Dengan demikian kelas pendidikan demokrasi akan berubah dari yang selama ini bersifat dominatif menjadi integratif.
Pendekatan pembelajaran yang disarankan untuk dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan masalah. Salah satu model pembelajaran yang kini secara internasional diterapkan secara adaptif adalah model “We the People…Project Citizen” (CCE, 1992-2000). Model ini dikenal sebagai A portfolio-based civic education project yang dirancang untuk mempraktekkan salah satu hak warganegara, yakni the right to try to influence the decision people in his/her government make about all of those problems (CCE, 1998), dengan cara melibatkan siswa melalui suatu “proyek belajar” yang secara prosedural menerapkan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Identify a problem to study;
  2. Gather Information;
  3. Examine Solutions;
  4. Develop students’ own public policy; and
  5. Develop an Action Plan.
Seluruh kegiatan siswa dengan langkah-langkah tersebut diakhiri dengan penyajian hasil proyek dalam bentuk Portfolio di hadapan para pejabat publik terkait untuk mendapat tanggapan, dan bila perlu dijadikan masukan bagi pembuatan kebijakan publik di daerahnya. Hasilnya ternyata bukan saja siswa menjadi lebih peka dan tanggap terhadap masalah kebijakan publik tetapi lebih jauh, di banyak negara seperti di beberapa negara bagian di USA, beberapa kota di Italia, Bosnia, Rusia, Nigeria, Mongolia, Croatia, Polandia, Ceko, Ukraina, Macedonia, Mesir, Turki, Irlandia, Canada, Slovenia, Rumania, Jerman, Philippina, Kazkastan, dan beberapa negara emerging democracies lainnya (CIVITAS, 2000), temuan proyek siswa itu benar-benar diadopsi oleh pemerintah setempat sebagai bagian dari kebijakan publik di daerahnya.
Dengan demikian para guru dan siswa dapat melakukan refleksi betapa bermanfaatnya nilai dan prinsip demokrasi diterapkan dalam kehidupan di sekolah yang diintegrasikan dengan kehidupan di dalam masyarakatnya. Di situlah kelas pendidikan demokrasi benar-benar dikembangkan sebagai laboratorium demokrasi yang tidak dibatasi oleh empat dinding ruangan kelas. Untuk Indonesia, model tersebut telah diadaptasi menjadi model “Proyek Kewarganegaraan…Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI) yang kini sedang diujicobakan oleh CICED bekerjasama dengan Kanwil Depdiknas Jawa Barat dan Pusbangkurrandik. Uji coba dilakukan di enam SLTP Negeri di sekitar Bandung, Jawa Barat, yang akan berlangsung selama satu caturwulan mulai bulan Agustus sampai dengan Nopember 2000.
Ketiga, pada saat bersamaan lingkungan masyarakat sekolah dan masyarakat yang lebih luas seyogyanya juga dikondisikan untuk menjadi spiral global classroom (CICED, 1999a). Dengan demikian kesenjangan yang melahirkan kontroversi atau paradoksal antara yang dipelajari di sekolah dengan yang sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan masyarakat secara sistimatis dapat diminimumkan. Hal inilah yang ingin dijembatani oleh model “We the People…Project Citizen” atau “Proyek Kewarganegaraan… Kami Bangsa Indonesia”.
Jika ketiga unsur baru dalam paradigma pendidikan kewarganegaraan itu mulai dicoba penerapannya di Indonesia, diperkirakan pendidikan demokrasi yang diprogramkan dalam wadah pendidikan kewarganegaraan secara perlahan akan meningkat lebih menantang, lebih efektif, dan lebih bermanfaat bagi pengembangan demokrasi dalam dan melalui pendidikan. Tentu saja hal ini menuntut perubahan cara berpikir, terutama dari para pengambil keputusan pendidikan di pusat dan di daerah, para pengembang kurikulum, para penulis buku, para administrator pendidikan, para guru, para pejabat daerah dalam menyikapi dan memprogramkan pendidikan demokrasi dan HAM sebagai bagian integral dari pendidikan kewarganegaraan dan proses demokratisasi secara keseluruhan.

KESIMPULAN

Bila ditampilkan dalam wujud program pendidikan, paradigma baru ini menuntut hal-hal sebagai berikut (Gandal dan Finn, 1992; Bahmuller, 1996; Winataputra; 1999): Pertama, memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang hakikat dan karakteristik aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang berkembang di Indonesia. Kedua, mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi bagaimana cita-cita demokrasi telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan dan praktek di berbagai belahan bumi dan dalam berbagai kurun waktu. Ketiga, tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu mengeksplorasi sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih. Keempat, tersedianya sumber belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk memahami penerapan demokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan yang luas tentang ragam ide dan sistem demokrasi dalam berbagai konteks. Kelima, dikembangkannya kelas sebagai democratic laboratory, lingkungan sekolah/kampus sebagai micro cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open global classroom yang memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam situasi berdemokrasi, dan untuk tujuan melatih diri sebagai warganegara yang demokratis atau learning democracy, in democracy, and for democracy.
Pendekatan dan metodologi pembelajaran yang disarankan untuk dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Center for Indonesian Civic Education (CICED). 2000c. Panduan “Proyek Kewarganegaraan…Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI), Bandung.
Gandal, J.E. dan Finn,E.S. 1992. Education for Democracy, Calabasas: CCE.
Wahab, A.A. 1999. Pengembangan Konsep dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Baru Indonesia bagi Terbinanya Warganegara Multidimensional Indonesia, Bandung: CICED.

Sumber dari: 
http://elearningpendidikan.com/paradigma-pendidikan-kewarganegaran-pendidikan-demokrasi-di-indonesia.html
akses tanggal, 18 Februari 2012