Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

6/10/2013

Model dan Pendekatan-Pendekatan Pembelajaran Dalam Pendidikan nilai dan Moral


Penyajian materi pendidikan moral di sekolah pada saat ini tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat. Siswa lebih banyak mengedepankan untuk mengahadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari isu-isu moral esensial di kehidupan mereka sehari-hari. Materi pelajaran ppkn dirasakan sebagai beban, dihapalkan dan dipahami, tidak menghayati atau dirasakan dan tidak diamalkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Dunia pendidikan juga telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan sikap atau nilai dan perilaku dalam pembelajarannya. Dunia pendidikan sangat meremehkan mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Di sisi lain, tidak mungkin bahwa pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa seperti pendidikan kewarganegaraan (PKn) dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan pada asfek kognitif daripada asfek afektif dan psikomotor. Oleh karena itu dalam penyampaian materi PKn harus digunakan model pembelajaran yang dapat mengembangkan moral dan perilaku siswa ke arah yang lebih baik, serta penilaian yang didasarkan pada nilai afektifnya.
Dalam pkn dikenal suatu model pembelajaran, yaitu model VCT (Value Clarification Technique/Teknik Pengungkapan Nilai), yaitu suatu teknik belajar-mengajar yang membina sikap atau nilai moral (aspek afektif). Vct dianggap cocok digunakan dalam pembelajaran pkn yang mengutamakan pembinaan aspek afektif. Pola pembelajaran vct dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena pertama, mampu membina dan mempribadikan (personalisasi) nilai-moral. Kedua, mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan nilai-moral yang disampaikan. Ketiga, mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai-moral diri siswa dalam kehidupan nyata. Keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya. Kelima, mampu memberikan pengalaman belajar berbagai kehidupan. Keenam, mampu menangkal, meniadakan, mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai-moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang. Ketujuh, menuntun dan memotivasi hidup layak dan bermoral tinggi.
Teknik mengklarifikasi nilai (value claification technique) suatu model pembelajaran dengan teknik mengali untuk mengklarifikasi nilai, Beragam jenis dan bentuk pembelajaran dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik dan tujuan pendidikan tersebut. Antara lain dilengkapi beragam teknik dan permainan antara lain memuat kajian dilema moral sebagai media stimulus pembelajarannya.
Tujuan model pembelajaran ini sebagai media internalisasi dan personalisasi suatu nilai dan moral. Vct itu sendiri sebenarnya salah satu pendekatan dalam pendidikan nilai yang memberikan bantuan dalam proses pemahaman dan penyadaran pemilikan nilai serta kemampuan untuk menggunakannya dalam memecahkan masalah-masalah yang kehidupan yang berhubungan dengan sistem nilai. Hal ini ditujukan membantu untuk memilih perbuatan yang terbaik yang mendukung penampilan prilaku akhlak mulia sebagai warga negara,
Proses penyadaran dengan klarifikasi nilai dipandang efektif dengan tujuan memperkokoh nilai dan moral pada peserta didik. Dengan demikian VCT mengutamakan keterlibatan intelektual emosional dan kompetensi sosial dari peserta didik. Tujuan akhir bagaimana moral itu menjadi nilai yang mempribadi pada peserta didik.
VCT dikembangkan atas prinsip tidak bebas nilai, akan tetapi sebaliknya dalam kehidupan tersebut penuh dengan ragam nilai. Sementara itu manusia tidak dapat bebas dari nilai tersebut,
Pada pokoknya VCT meliputi proses memperkuat pengalaman belajar nilai melalui kesempatan untuk berpikir nilai, merasakan kegunaan dan manfaat nilai dan pengalaman mengomunikasikan nilai yang dimilikinya serta melaksanakannya dalam kehidupan bersama.
VCT tidak mengembangkan nilai-nilai yang bersifat mutlak seperti yang bersumber dari agama karena itu sudah seharusnya mutlak untuk ditaati oleh para penganutnya. Akan tetapi VCT dapat mengembangkan nilai-nilai yang relatif dengan menggunakan nilai-nilai yang bersumber dari agama sebagai dasar pertimbangannya.
Khususnya dalam moral pancasila karena sila pertama ketuhanan yang maha esa. Tuntutan ini sekaligus merupakan ciri khusus pkn yang dikembangkan dengan berorientasi pada pendidikan nilai dan moral pancasila. VCT berangkat dari anggapan bahwa nilai tidak dapat dipaksakan akan tetapi dipilih, tidak cukup dicontohkan akan tetapi harus dirasakan, dengan demikian lebih menekankan kepada proses pembelajaran. Dengan demikian menekankan kepada pengalaman, pembelajaran adalah proses pengalaman belajar.
Dengan pengalaman akan membentuk kemampuan kejelasan, dan kemampuan untuk menggunakannya sebagai dasar memilih dalam berprilaku. Pengalaman pembelajaran ini mencakup kegiatan pemilihan (choosing), merasakan (prizing) dan melakukan (acting). Vct dipandang unggul sebagai sbm sehubungan warga negara senantiasa dihadapkan kepada perubahan masyarakat yang sangat cepat yang juga menyangkut perubahan sistem nilainya.
John jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan vct dalam tujuh tahap yang dibagi dalam 3 tingkat :
1.       Kebebasan memilih
pada tingkat ini terdapat 3 tahap :
a.       Memilih secara bebas
b.      Memilih dari beberapa alternative
c.       Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.
2.      Menghargai
terdiri dari 2 tahap pembelajaran :
a.        Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya.
b.      Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depa umum.
3.      Berbuat
terdiri atas :
a.       Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya
b.      Mengulangi prilaku sesuai dengan nilai pilihannya

VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan vct melalui proses dialog :
         hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan-pesan moral
          jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu apabila siswa tidak menghendakinya.
         usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya.
         dialog dilaksanakan kepada individu, bukan pada kelompok kelas.
         hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi defensive
         tidak mendesak siswa pada pendirian tetentu
         jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.

Ada juga Model strategi pembelajaran sikap (afektif)
setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematis. Adapun contoh model strategi pembentukan sikap :
1.       model konsiderasi
model konsiderasi (the conderation model) dikembangkan oleh mc. Paul, seorang humanis. Pembelajaran moral siswa menurutnya ialah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini :
a.       Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
c.       Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang terjadi.
d.      Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat katagori dari setiap respons yang diberikan siswa.
e.       Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.
f.       Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandangan untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g.      Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

Sebenarnya banyak sekali model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran PKn, namun tidak banyak model pembelajaran yang mengacu pada pendidikan nilai dan moral. Dalam pkn dikenal suatu model pembelajaran, yaitu model VCT (Value Clarification Technique/Teknik Pengungkapan Nilai), yaitu suatu teknik belajar-mengajar yang membina sikap atau nilai moral (aspek afektif). Vct dianggap cocok digunakan dalam pembelajaran pkn yang mengutamakan pembinaan aspek afektif.
Namun ada beberapa kesulitan dalam pembelajaran afektif yaitu yang pertama dikarenakan selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan intelektual (kemampuan kognitif). Pendidikan kewarganegaraan semestinya diarahkan untuk pembentukan sikap dan moral, oleh karena itu keberhasilannya diukur dari afektif juga.
Yang kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Artinya, walaupun di sekolah guru berusaha memberikan contoh baik, akan tetapi tidak didukung oleh lingkungan yang baik sekolah maupun lingkungan masyarakat, maka pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan. Oleh karena itu semua pihak harus ikut berpartisipasi dalam proses pembentukan karakter anak dan kehidupan sehari-hari.
dan yang terakhir pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak. Hal ini dapat diminimalisir dengan cara kita mengontrol dari anak didik dalam penggunaan media komunikasi dan informasi serta peran orang tua dalam mengawasi perkembangan anaknya.

Beberapa Pendekatan Pembelajaran PKn

Pendekatan pembelajaran dapat digunakan untuk menetapkan strategi dan langkah-langkah pembelajaran demi tercapainya tujuan pembelajaran. Setiap pendekatan yang diterapkan akan melibatkan kemampuan subyek belajar/siswa dan guru, dengan kadarnya masing-masing. Terkait dengan ini maka ada beberapa jenis pendekatan pembelajaran. Menurut Anderson secara garis besar ada dua pendekatan, yakni teacher centered(terpusat pada guru) dan student centered (terpusat pada siswa). Sementara itu, Byron menggunakan istilah ekspositori dan inkuiri (Sudjana, 1989).
Pendekatan ekspositori adalah suatu model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas guru, dan subyek belajar bersifat pasif,  hanya menerima saja dari guru. Pendekatan ini umumnya didominasi dengan metode ceramah. Sedangkan pendekatan inkuiri, merupakan model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas subyek belajar, sementara guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan pengelola yang memberi pengantar dengan peragaan secara singkat, yang selanjutnya subjek belajar secara aktif mencari dan menemukan sendiri apa yang sedang dipelajari (student oriented). Terkait dengan student oriented, dewasa ini telah dikembangkan pembelajaran kontekstual (Contextual Learning), atau sering disebut dengan Contextual Teaching and Learning (CTL). Pembelajaran kontekstual ini merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Pembelajaran kontektual terjadi apabila siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan/dipelajari, dengan mengacu pada masalah dunia nyata. Jadi, dalam hal ini tidak sekedar siswa aktif, tetapi siswa aktif dan menghubungkan dengan dunia nyata. Dengan demikian pembelajaran kontektual terjadi dalam hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua pendekatan tersebut, baik ekspositori maupun inkuiri sama-sama mengandung prinsip keterlibatan subyek belajar, hanya kadarnya yang berbeda. Pada pendekatan ekspositori, keterlibatan subyek belajar sangat rendah, sebaliknya pada pendekatan inkuiri aktivitas subyek belajar sangat tinggi. Ini artinya subyek belajar akan selalu menjadi titik perhatian dan fokus dalam kegiatan pembelajaran. Sudah tentu dalam menentukan pendekatan ini perlu disesuaikan dengan tuntutan kurikulum dan perkembangan zaman. Atas dasar pemahaman ini maka ada beberapa jenis pendekatan pembelajaran lain, di samping ekspositori dan inkuiri. Joyce dan Weil mengemukakan ada empat jenis pendekatan pembelajaran, dua diantaranya adalah pendekatan: informasi, dan  interaksi sosial (Sudjana, 1989).
a.  Pendekatan Informasi
Pendekatan informasi menekankan pada upaya memperkuat dorongan internal subyek belajar untuk memahami dunia ini dengan menggali dan mengorganisasikan data atau informasi, merasakan ada masalah dan mengusahakan cara pemecahannya dengan mengembangkan kata-kata/bahasa untuk mengungkapkannya.
Yang termasuk jenis pendekatan informasi ini adalah:
1)   Pendekatan berpikir induktif
Pendekatan yang dirancang dengan tujuan untuk mendorong subyek belajar menemukan dan mengorganisasikan informasi, memberikan simbol atau menamakan dari suatu kategori atau konsep, merumuskan dan menguji hipotesis, dan terakhir merekonstruksi hubungan antar data.
Langkah-langkah penggunaan pendekatan berpikir induktif ini, antara lain:
-          indentifikasi dan pencatatan.
-          pengelompokan dan pemberian label
-          membedakan antar kelompok
-          menemukan kaitan antar kategori.
-          menarik kesimpulan.
-          memperhitungkan dampak situasi.
2)   Pendekatan latihan inkuiri
Pendekatan ini dirancang untuk melatih subyek belajar dalam penelitian ilmiah. Hal ini mendorong dan mengembangkan rasa ingin tahu bagi subyek belajar.
Langkah-langkahnya antara lain:
-          menjelaskan proses inkuiri yang akan dilaksanakan
-          menyajikan masalah, dengan latar belakang yang menimbulkan masalah.
-          merumuskan masalah
-          mengumpulkan data
-          mengolah dan menganalisis data
-          memberikan penjelasan dan pembahasan
-          menarik kesimpulan
3)   Pendekatan pencapaian konsep.
Konsep adalah abstraksi sekelompok benda atau fenomena yang memiliki persamaan karakteristik. Ada konsep konkret seperti gunung, pohon, meja dan lain-lain, ada juga konsep abstrak seperti demokrasi, nasionalisme, birokrasi, fanatisme, dan lain-lain.
Pencapaian konsep adalah proses kategorisasi antara satu konsep dengan konsep lain. Pendekatan pencapaian konsep bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir induktif, kemampuan mengembangkan analisis konsep, serta melatih kemampuan subyek belajar dalam proses kategori, sehingga meningkatkan keterampilan intelektual.
Langkah-langkah penerapannya:
-          penyajian data dan klasifikasi
-          penentuan label/konsep
-          membuat definisi/pengertian tentang konsep tersebut.
-          mencari dan membedakan/membandingkan dengan contoh lain.
-          memdiskusikan prosedur pencapaian konsep.
4)   Pendekatan  pengembangan  kognitif/intelektual.
Pendekatan ini didasarkan atas studi dan teori Piaget yang menjelaskan bahwa setiap anak itu memiliki struktur mental dan perkembangan intelektual yang sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing anak. Menurut Piaget, tingkat-tingkat perkembangan intelektual anak dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
-          sensori motor (0-2 tahun)
-          pra-operasional (2-7 tahun)
-          operasional kongkret (7-11 tahun)
-          operasional formal (11 tahun keatas)
Perkembangan intelektual itu prosesnya dimulai dengan cara dari yang paling sederhana seperti menyentuh, menyebut nama benda, sampai adaptasi sebagai proses perubahan  yang terjadi pada tiap individu sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 1988). Pendekatan ini bertujuan membantu guru merancang proses pembelajaran agar sesuai dengan tingkat kematangan subyek belajar.
Langkah-langkah penerapannya:
-          menyajikan suasana yang agak komplek, membingungkan.
-          meminta jawaban dari subyek belajar, beserta alasannya.
-          menyajikan kegiatan lain yang berhubungan.
-          mengkaji jawaban yang diberikan oleh subyek belajar.
5)   Pendekatan  belajar  bermakna.
Menurut Ausubel, pendekatan ini memiliki kemampuan dalam memperkuat struktur kognitif subyek belajar. Tujuan dari pendekatan ini untuk mengembangkan dan meningkatkan efisiensi kemampuan mengolah informasi. Dengan demikian diharapkan dapat membantu subyek belajar dalam mengembangkan kemampuan memahami informasi agar bermakna bagi dirinya. Dikatakan bermakna apabila subyek belajar mampu menghubungkan antara informasi yang baru diterima dari mengikuti pelajaran dengan pengetahuan dan konsep yang sudah dimiliki (Ratna Wilis Dahar, 1989).
6)   Pendekatan  memory.
Pendekatan ini secara khusus berupaya memusatkan diri dalam mengembangkan kemampuan mengingat/menghafal pada diri subyek belajar. Tujuannya untuk meningkatkan daya ingat bagi subyek belajar.

b.   Pendekatan Interaksi Sosial
Secara fitrah kehidupan masyarakat ditandai dengan saling berinteraksi dan saling bekerjasama. Karena itu pendekatan ini ada aspek saling berhubungan dan kerja kelompok. Pendekatan ini menitikberatkan model simulasi atau situasi yang sebenarnya.
Tujuan pendekatan ini untuk mengembangkan kemampuan subyek belajar dalam berinteraksi dengan kelompok sosialnya, termasuk kelompok sosial di sekolah/kelas.
Ada beberapa pendekatan yang termasuk dalam pendekatan interaksi sosial:
1)   Pendekatan investigasi kelompok
Pendekatan ini dirancang untuk membimbing subjek belajar agar merumuskan masalah, mengeksplorasi berbagai pandangan/teori yang terkait dengan masalah itu, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data. Untuk melaksanakan kegiatan ini guru mengorganisasikan subyek belajar secara kelompok. Tujuan pendekatan investigasi kelompok ini, dalam rangka mengembangkan kemampuan berpartisipasi setiap subyek belajar di dalam kegiatan kelompok atau penelitian kelompok.
2)   Pendekatan latihan laboratoris
Pendekatan ini dikembangkan oleh Benne, Gibb dan Bradford. Pendekatan ini akan menunjukkan bahwa keberhasilan subyek belajar dalam proses pembelajaran dan berbagai kegiatan tergantung pada tingkat pemahaman sosial, ketrampilan, dan kemampuan setiap orang untuk menciptakan suasana dimana perbedaan individu dapat dihargai dan tugas-tugas bersama dapat dikoordinasikan. Pendekatan ini cocok untuk mengembangkan suasana kerja dan kreativitas kelompok dalam menganalisis proses sosial, kesesuaian pekerjaan dan ketrampilan. Dengan demikian pendekatan ini lebih sesuai untuk pembelajaran orang dewasa.
3)   Pendekatan penelitian yurispodensi
Tokoh yang mengembangkan pendekatan ini Oliver dan Shaver. Pada awalnya dikembangkan untuk subyek belajar tingkat SMP. Maksudnya untuk melatih kemampuan berpikir subyek belajar menurut logika hukum dalam memecahkan masalah. Secara sederhana dapat dikatakan pendekatan ini dalam rangka mengembangkan dan menerapkan studi kasus.
4)   Pendekatan penelitian sosial
Pendekatan ini dikembangkan atas dasar pendekatan penelitian ilmiah yang diterapkan dalam bidang dan masalah ilmu sosial.

c.  Pendekatan  Konstruktivisme
Di samping teori-teori tersebut, perlu juga dijelaskan tentang teori dan pendekatan konstruktivisme. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Von Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. Pengetahuan bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada, tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif  kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Secara sederhana  konstruktivisme itu beranggapan bahwa pengetahuan kita itu merupakan konstruksi dari kita yang mengetahui sesuatu. Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Dalam hal ini  pengetahuan ataupun pengertian bukanlah fakta yang diperoleh oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru. Jadi seseorang yang belajar itu membentuk pengertian. Bettencourt (1989) menyimpulkan bahwa konstruktivisme tidak bertujuan mengerti hakikat realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana proses kita menjadi tahu tentang sesuatu (Paul Suparno, 1997).
Menurut pandangan dan teori konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif dari si subyek belajar untuk merekonstruksi makna, sesuatu entah itu teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik, dan lain-lain. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertianya menjadi berkembang.
Menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif di mana si subyek belajar membangun sendiri pengetahuannya. Subyek belajar juga mencari  sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari.
Sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut, maka proses pembelajaran, bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke subyek belajar, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan subyek belajar merekonstruksi sendiri pengetahuannya. Pembelajaran  adalah bentuk partisipasi dan interaksi dengan subyek belajar dalam membentuk pengetahuan, dan membuat makna, mencari kejelasan dan menentukan justifikasi. Prinsip utama berpikir lebih penting dari pada mempunyai jawaban yang benar atas sesuatu. Karena itu pengajar/guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator untuk membantu optimalisasi berpikir sebagai manifestasi dari kegiatan belajar siswa, sehingga mampu merekonstruksi pengetahuan dan menemukan jati dirinya.
Kalau pendekatan konstruktivisme ini diterapkan dalam kelas, maka paling tidak ada empat ciri yang berkembang, yakni: (1) problematik, artinya di kelas ada permasalahan yang harus dipecahkan; (2) bersifat diskoveri dan inkuiri; siswa didorong menemukan; (3) memungkinkansharing antarsiswa, serta (4) ada refleksi dan revisi, artinya setelah dilakukan diskusi pemecahan masalah, pada bagian akhir ada kesimpulan dan beberapa perubahan yang sekiranya gagasan dan hasil diskusi ada yang kurang tepat.


DAFTAR PUSTAKA


http://www.ilmukami.co.cc/2010/11/strategi-pembelajaran-afektif.html
http://pustaka.ut.ac.id/