Negara
bangsa Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok-kelompok etnis, budaya,
agama dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak) dan sekaligus juga
heterogen (aneka ragam) (Kusumohamidjojo, 2000:45). Realitas pluralitas dan
heterogenitas tersebut tergambar dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Hefner (2007:16) mengilustrasikan Indonesia sebagaimana juga Malaysia memiliki
warisan dan tantangan pluralisme budaya (cultural pluralism) secara
lebih mencolok, sehingga dipandang sebagai “lokus klasik” bagi bentukan baru
“masyarakat majemuk” (plural society). Kemajemukan masyarakat Indonesia
paling tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik, pertama secara
horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerahan, dan
kedua secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal
antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam (Nasikun, 2007:33).
Namun
demikian, pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan, khususnya pada masa
demokrasi terpimpin Presiden Soekarno dan masa Orde Baru Presiden Soeharto
memperlihatkan kecenderungan kuat pada politik monokulturalisme (Azra,
2006:152). Lebih lanjut Azra (2006:152) mengemukakan bahwa dalam politik ini,
yang diberlakukan bukannya penghormatan terhadap keragaman (kebhinnekaan atau
multikulturalisme), tetapi sebaliknya adalah keseragaman (monokulturalisme)
atas nama stabilitas untuk pembangunan.
Berakhirnya
sentralisasi Orde Baru yang memaksakan monokulturalisme, pada gilirannya telah
memunculkan kesadaran akan pentingnya memahami kembali kebhinnekaan,
multikulturalisme Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi
adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” (Arif, 2008). Berbeda dengan
masyarakat majemuk yang menunjukkan keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan
suku bangsa, masyarakat multikultural dikembangkan dari konsep pluralisme
budaya dengan menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah
masyarakat (Suparlan, 2005:98). Masyarakat multikultural ini mengusung semangat
untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan
kultur yang ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat
(Azra, 2006:154, Suparlan 2005). Individu dalam hal ini dilihat sebagai
refleksi dari kesatuan sosial dan budaya di mana mereka menjadi bagian darinya.
Dengan demikian, corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika
bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman
kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Lawrence
A Blum (2001:16), seorang profesor filsafat di University of Massachusetts di
Amherst menawarkan definisi multikulturalisme sebagai berikut:
Multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas
budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya
etnis orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang
lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut,
melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat
mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.
Dalam
konsep multikulturalisme tercakup tiga sub nilai. Pertama, menegaskan
identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai warisan budaya seseorang;
Kedua, menghormati dan berkeinginan untuk memahami dan belajar
tentang (dan dari) kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya; Ketiga,
menilai dan merasa senang dengan perbedaan-perbedaan kebudayaan itu sendiri,
yaitu memandang keberadaan dari kelompok-kelompok budaya yang berbeda dalam
masyarakat seseorang sebagai kebaikan yang positif untuk dihargai dan
dipelihara (Arif, 2008).
Sebagaimana
dikemukakan di atas, potensi konflik dalam masyarakat yang multikultural cukup
besar, karena itu pendidikan yang mampu membangun karakter warga negara yang
cinta damai mutlak diperlukan. Sebab tanpa kepemilikan karakter tersebut, sulit
bagi bangsa dan negara untuk tetap bertahan menghadapi berbagai tantangan,
berbagai konflik yang lahir dari realitas kebhinnekaan tersebut. Dalam hal ini,
pendidikan adalah jembatan paling penting untuk membentuk karakter masyarakat
yang multikultural. Pernyataan Ellen G. White yang dikutip Hidayatullah (2011)
menyebtukan bahwa pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah
diberikan kepada manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari
sistem pendidikan yang benar. Pernyataan tersebut memberikan penguatan bahwa
pembangunan karakter tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Bahkan Stiles
(Hidayatullah, 2011) menyatakan bahwa “Pembangunan karakter tidak dapat
dilakukan dengan serta merta tanpa upaya sistematis dan terprogram sejak dini”.
Bila
dicermati fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam
Pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional sesungguhnya bermuara pada upaya
pembangunan karakter bangsa. Secara rinci bunyi fungsi dan tujuan pendidikan
nasional tersebut adalah:
Sistem
pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional).
Apa
sebenarnya karakter itu? Dilihat dari asal katanya, karakter berasal dari kata
Yunani charaktêr yang mengacu kepada suatu tanda yang terpatri pada sisi
sebuah koin. Karakter menurut Kalidjernih (2010) lazim dipahami sebagai
kualitas-kualitas moral yang awet yang terdapat atau tidak terdapat pada setiap
individu yang terekspresikan melalui pola-pola perilaku atau tindakan yang
dapat dievaluasi dalam berbagai situasi. Karakter adalah The combination of
qualities and personality that makes one person or thing different from others (Hidayatullah,
2011). Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai
tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang daripada yang lain. Dalam pandangan Purwasasmita (2010) disebut watak
jika telah berlangsung dan melekat pada diri seseorang.
Karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk
hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Secara psikologis dan socio-cultural, pembentukan karakter dalam
diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif,
afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi social kultural
(dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang
hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan socio-cultural
tersebut dapat dikelompokkan dalam olah hati (spiritual and emotional
development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan
kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan
karsa (affective and creativity development) (Kementerian Pendidikan
Nasional, 2010). Olah hati berkenaan dengan perasaan sikap dan
keyakinan/keimanan menghasilkan karakter jujur dan bertanggung jawab. Olah
pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan
pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif menghasilkan pribadi cerdas. Olah
raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan
penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas menghasilkan sikap bersih,
sehat, dan menarik. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan dan
kreativitas yang tercermin dalam kepedulian, citra, dan penciptaan kebaruan
menghasilkan kepedulian dan kreatifitas.
Dalam
konteks suatu bangsa, karakter dimaknai sebagai nilai-nilai keutamaan yang
melekat pada setiap individu warga negara dan kemudian mengejawantah sebagai
personalitas dan identitas kolektif bangsa (PP Muhammadiyah, 2009). Karakter
berfungsi sebagai kekuatan mental dan etik yang mendorong suatu bangsa
merealisasikan cita-cita kebangsaannya dan menampilkan keunggulan-keunggulan
komparatif, kompetitif, dan dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Karena itu,
dalam pemaknaan demikian, manusia Indonesia yang berkarakter kuat adalah
manusia yang memiliki sifat-sifat: religius, moderat, cerdas, dan mandiri.
Sifat religius dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian taat
beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran.
Sifat moderat dicirikan oleh sikap hidup yang tidak radikal dan
tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial,
berorientasi materi dan ruhani, serta mampu hidup dan kerjasama dalam
kemajemukan. Sifat cerdas dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian
yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju. Dan sikap mandiri
dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat,
menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan
yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan
hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.
Untuk
membangun karakter bangsa Indonesia yang kuat menurut Kaelan (2011) seyogyanya
didasarkan pada dasar filosofis bangsa. Bangsa Indonesia telah menentukan jalan
kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu ’khitoh’ kenegaraan, filosofischegrondslag
atau dasar filsafat negara, yaitu Pancasila. Karena itu, etika politik
kenegaraan sebagai prasyarat membentuk karakter bangsa pelu disandarkan pada
nilai-nilai dasar Pancasila. Sebab sebagai dasar negara, filosofischegrondslag,
Pancasila bukan merupakan suatu preferensi, melainkan sudah merupakan suatu
realitas objektif bangsa dan negara Indonesia, yang memiliki dasar
legitimasi yuridis, filosofis, politis, historis dan kultural.
Di
sisi lain, menyikapi berbagai konflik yang muncul, Budihardjo (2011)
menyebutkan bahwa dalam masyarakat yang multikultural kita harus
mengumandangkan the power of love. Sebab hal ini sejalan dengan tujuan
pembangunan yaitu menciptakan kedamaian, kesehatan, kesejahteraan, dan
kebahagiaan, yang dia singkat menjadi PHPH (peace, health, prosperity, happiness).
Karena itu, dalam masyarakat yang multikultural memerlukan beberapa kondisi
sebagai berikut: trust (saling percaya), integrity (tulus,
jujur), tolerance (keluwesan, kelembutan), dan spirit to unite
(semangat untuk bersatu)