Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

2/05/2012

Pengertian dan Ruang lingkup Kebijakan

oleh: Iwan Sukma Nuricht

Menurut The Lexicon Webster Dictionary, bahwa yang dimaksud dengan kebijakan adalah : “ Policy, n. pl. policies, (politia, Gr. Politeia, polity): The principles on which anymeasure or course of action is based, the line of conduct which the rulers of a nation adopt on particular questions especially with regard to foreign countries prudence or wisdom of governments or individuals in the management of the affairs, public or private ;general prudence or dexterity of management ; sagacity  “ (1978 : 736). Dengan demikian suatu kebijakan merupakan prinsip-prinsip yang dijadikan landasan dari berbagai kegiatan .
Desmond Keeling mengemukakan pandangan berikut tentang istilah “policy”. Menurut pandangannya bahwa : “ ….. There seems to be four distinct elements : objectives, plans, priorities, and decision rules, any more or more of which may be intended by the current use in practice of the word policy…. “ (Keeling, Desmond, 1972 : 24).
Selanjutnya Sir Georffrey Vickers dalam sebuah analisisnya tentang istilah “policy” (yang dikutip oleh Desmond Keeling) merumuskan  “policy”  sebagai : “ ……. A set of standards or norms “.
Dengan berlangsungnya waktu  berkembanglah pandangan atau mitos tentang istilah “policy” :
“Policy has not only various meanings but a variety of myths have in the past been associated with it :

1.      that policy is exclusively an activity conducted at the highest levels perhaps only by politicians in central and local government with senior officials allowed to participate as policy adviser ;

2.      that it can be sharply differentiated from the work of implementing policy decisions ;

3.      that the making of policy always precedes in time the taking of decisions on individual cases. (Desmond Keeling, 1972 : 26).

Penulis berpendapat bahwa pernyataan yang diungkapkan  pada butir 1, 2 dan 3 tersebut di atas, tidak selalu terjadi dalam praktek, baik kaitannya dengan kebijakan publik (public policy) maupun kebijakan bisnis (business policy). Ada kalanya kebijakan disusun oleh tingkat-tingkat yang ada (kecuali tingkatan terendah). Hal mana tergantung dari pentingnya persoalan yang sedang dihadapi.
Begitu pula dalam  kenyataan tidak jarang terlihat bahwa implementasi kebijakan dan penyusunan kebijakan tidak dapat dipisahkan.
Perlu diingat bahwa para penyusun kebijakan (policy makers) senantiasa memerlukan umpan balik (feedback) pengimplementasian  kebijakan yang telah disusun. Atau dapat pula dikatakan bahwa dalam kenyataan, seringkali terlihat gejala bahwa kebijakan tidak mutlak harus mendahului keputusan-keputusan individual.
Berkaitan dengan masalah keputusan ini Prof.Dr.Mr. Prajudi Atmosudirdjo dalam bukunya “Beberapa Pandangan Umum Tentang Pengambilan Keputusan (Dalam Hubungannya dengan Leadership, Strategi, Planning dan Policy)” mengungkapkan bahwa : “ Pada level pimpinan yang tertinggi (Administrator atau Top Manager), maka keputusan-keputusan kita dapat berupa (i) Peraturan, (ii) Rencana, (iii) Strategi, (iv) Kebijakan (Policy) dan (v) Perintah atau Larangan.
Pada level pimpinan menengah keputusan-keputusan kita merupakan desisi-desisi pelaksanaan daripada Peraturan, Rencana dan Policy atasan. Makin ke bawah kedudukan kita makin kita dihadapkan kepada masalah-masalah yang secara langsung berhubungan dengan praktek kehidupan organisasi atau masyarakat sehari-hari, dan masalah-masalahnya akan bersifat “unik”, “khas” dan terikat kepada barang tertentu, tempat tertentu, dan orang-orang tertentu” (Atmosudirdjo, Prajudi, 1976 : 72).
Dari pandangan tersebut jelaslah bahwa “kebijakan” atau “policy” merupakan bagian dari keputusan. Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat tersebut, karena suatu keputusan merupakan jawaban dari suatu masalah yang dilakukan melalui proses berpikir dan merasa, dengan memilih alternatif yang terbaik.
Hal ini juga diungkapkan oleh Prof. Prayudi Atmosudirdjo sebagai berikut : “ Desisi atau keputusan saya definisikan sebagai suatu pengakhiran atau pemutusan dari pada suatu proses pemikiran untuk menjawab suatu pertanyaan, khususnya suatu masalah atau problema”. (Atmosudirdjo, Prayudi, 1976 : 36).
Menurut beliau, masalah ada bermacam-macam kemungkinan sifat dan bentuknya, beserta tingkat dampak serta kompleksitasnya, sebagaimana diungkapkannya sebagai berikut : “ Makin tinggi kedudukan kita dalam “tangga organisasi”, maka  masalah-masalahnya makin bersifat : (1) Politik, “politics”, (2) Rencana atau Perencanaan Induk, “Master Planning”, (3) Peraturan, “Regulations”, (4) Strategi, “Strategy”, (5) Kebijaksanaan Tinggi, “Overall Policy”, (6) Pembelanjaan dan penganggaran, “Finance and Budget”.
Makin ke bawah (eselon dua), kedudukan kita, maka masalah-masalahnya akan bersifat : (1) Interpretasi, “Translation”  , (2) Penentuan Sub-prapta, “Setting Sub-objectives”, (3) Koordinasi, (4) Komunikasi, (5) Programming, (6) Pengawasan Eksekutif, “”Executive Control”.
Lebih ke bawah lagi kedudukan kita (eselon ketiga), maka masalah-masalahnya akan lebih bersifat operasionil, misalnya (1) Operation Plan, (2) Routing, (3) Loading, (4) Scheduling, (5) Policy pergantian plug, Shift change policy, (6) Perubahan metode dan teknik kerja, (7) Latihan kerja, (8) Disiplin dan hukuman.
Jelaslah dari uraian tersebut bahwa kebijakan bisa terdapat pada tingkatan tinggi, yang disebut dengan “Overall Policy” atau “Kebijaksanaan Tinggi”, serta dapat pula pada tingkatan bawah, seperti : Policy pergantian plug  atau  “Shift change policy”. Namun yang penting dari semua itu adalah bahwa setiap kebijakan seharusnya dapat mencari pemecahan terhadap sesuatu masalah.
Selanjutnya Prof. Prayudi Atmosudirdjo mencoba menyusun Klasifikasi desisi-desisi pimpinan berdasarkan level manajemen.
Berdasarkan tingkatan pimpinan organisasi sebagai kriterium, maka secara lengkap keputusan-keputusan pimpinan dapat kita bedakan antara :

1.      Desisi Administratif, atau administrative decision, top management decision (Keputusan Pimpinan Tertinggi) adalah keputusan yang diambil oleh seorang Administrator. Administrator adalah selalu orang pimpinan yang berada pada puncak (top) daripada suatu organisasi. Dalam negara kita , berdasarkan Undang Undang Dasar, Presiden Republik Indonesia berfungsi sebagai Administrator Negara. Di dalam Departemen Administratornya adalah Menteri. Dalam Direktorat Jenderal, maka Direktur Jenderal menjadi Administrator. Dalam Propinsi yang menjadi administratornya  adalah Gubernur Kepala Daerah Di dalam Perusahaan yang menjadi Administrator adalah Direktur Utama  atau bisa juga Direksi, satu sama lain tergantung daripada Anggaran Dasarnya.       Dalam suatu organisasi yang cukup besar, maka desisi administratif  yang menyangkut seluruh organisasi secara umum akan selalu bersifat abstrak, impersonal, prinsipiil, atau garis besar, atau secara dasar (basic). Dalam hal “policy making”, maka kebijakan yang diputus oleh Administrator haruslah bersifat dasar, menyeluruh, atau strategis (basic, overall, strategic policies).                
Administrator menetapkan :

(1)   Strategi Organisasi,
(2)   Peraturan-peraturan Umum,
(3)   Rencana Induk,
(4)   Policy Umum,
(5)   Anggaran (Budget),
(6)   Pola Sistim Kerja,
(7)   Program Organisasi.

2.      Desisi Eksekutif, atau executive decision adalah keputusan yang diambil oleh seorang Executive atau Executive Manager. Secara ide, seorang Eksekutif adalah yang berada di antara “Pencetus ide atau penentu ide”, dan “Pekerja atau penyelenggara atau realisator daripada ide”.Jadi seorang Executive Manager adalah manager yang berada diantara Administrator dan Operative Manager, Seorang Executive harus “menyelamatkan, melaksanakan” kehendak daripada Atasan dan membuat Bawahan (Operative Manager) merealisir apa yang dikehendaki oleh Atasan (Administrator). Di dalam Tata Pemerintahan Negara, pengertiannya malah terbalik, artinya : Eksekutif adalah Pemerintah, dan Administrator berada di bawahnya. Oleh karena di Indonesia (juga di Amerika Serikat) Presiden merangkap sebagai Pemerintah (Penguasa Eksekutif) dan Administrator (Penguasa Administrasi), maka hal tersebut tidak begitu terasa. Kebiasaan itu berasal dari ajaran-ajaran ketatanegaraan abad ke-17 di Eropah Barat, terutama Montesqieu, John Locke. Keputusan eksekutif pada umumnya bersifat petunjuk-petunjuk pelaksanaan (uitvoeringsdirectieven, directives), atau “terjemahan” (translation) daripada desisi-desisi administratif menjadi “bahasa kerja” operatif. Para executive managers bertindak sebagai pengamat (supervisor) terhadap operative managers bawahannya, tertutama dari segi koordinasi. Koordinasi bersifat vertikal yaitu koordinasi antar atasan – bawahan – atasan, dan bersifat pula horizontal atau mendatar (antara rekan-rekan sekepentingan).
Desisi Eksekutif, (Keputusan Manajer Koordinator) bertujuan memelihara : Koordinasi dan Efektivitas, yaitu :

(1)   Menetapkan : Interpretasi Keputusan Pimpinan Tertinggi ;
(2)   Menyelesaikan : Konflik Antara Manajer, karena mis-planning, mis-communication dan sebagainya.
(3)   Koreksi terhadap : Dysfunctions (penyelewengan dari fungsi).

3.      Desisi Operatif atau operative decision, operation decision adalah keputusan yang diambil (pada umumnya) oleh para operative managers dalam rangka memimpin dan mengendalikan operasi penyelenggaraan. Operasi penyelenggaraan adalah operasi pelaksanaan daripada rencana-rencana operasi (operation plans). Operation adalah keseluruhan daripada aktivitas-aktivitas yang berhubungan satu sama lain secara integral (body or unit of integrated and interrelated activities) dan secara langsung berakhir dengan berhasilnya produk-produk kerja. Produk kerja ini bisa bersifat barang, atau jasa (service) atau fasilitas. Desisi operatif (Keputusan Manager yang memimpin dan bertanggung jawab atas sesuatu operation) bertujuan membuat operation yang dipimpin berjalan secara lancar dan efisien. Dalam hal ini Desisi operatif menetapkan, menggerakkan dan bertindak menjaga :
(1)   Operation Plan,
(2)   Operation Schedule,
(3)   Waktu – Biaya – Tempat – Kebersihan – Kerapian – Kuantitas – Transportasi – dan Logistik.

4.      Desisi Tehnis Kerja adalah keputusan yang diambil pada umumnya oleh para supervisor atau pengamat, mandur, foreman, gangboss, werkbaas, dan sebagainya. Di dalam praktek tidak semua rencana kerja cocok dengan keadaan yang sebenarnya, misalnya bentuk batu yang tidak cocok, ukuran kertas yang tidak ada dalam stock, warna cat yang susah diperoleh, dan sebagainya. Keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah demikian itu tergolong dalam desisi-desisi tehnis kerja. Dengan demikian Desisi Pengamatan Tehnis Kerja yang dilakukan Supervisor bertujuan :
(1)   Menjaga Mutu Kerja,
(2)   Menjaga Mutu Produksi, serta Koreksi terhadap : a) Penyelewengan Metode, b) Penyimpangan  Standar dan c) Kecepatan (Speed) Kerja.
(Prof. Prayudi Atmosudirdjo, 1976 : 73-80).

Hal tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh seorang pakar kebijakan dari negeri Belanda, yaitu A. Hoogerwerf dalam bukunya “ Overheids Beleid “, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang mengemukakan bahwa   : “ Kebijakan dapat dilukiskan sebagai usaha mencapai tujuan tertentu dengan sarana tertentu dalam urutan waktu tertentu. Kebijakan adalah semacam jawaban terhadap sesuatu masalah. Kebijakan adalah suatu upaya untuk memecahkan, mengurangi atau mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah menuju sasaran” (Hoogerwerf, 1983 : 8).

Pandangan lain dikemukakan oleh Ermaya E. Suradinata dalam  bukunya “Kebijaksanaan Pembangunan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah : Perkembangan Teori dan Penerapan”, bahwa : “ Kebijakan itu dimaknai sebagai policy dan sebagai wisdom. Sebagai wisdom, maka kebijakan adalah pandangan luas yang masih dalam pemikiran, bersifat universal, mondial dan objektif. Sebagai policy atau kebijaksanaan adalah kebijakan yang diterapkan secara subjektif yang dalam operatifnya merupakan

(1)   Suatu penggarisan ketentuan ;
(2)   Yang bersifat pedoman, pegangan, bimbingan yang mencapai kesepahaman dalam maksud/cara/saran ;
(3)   Bagi setiap usaha dan kegiatan kelompok manusia yang berorganisasi ;
(4)   Sehingga terjadi dinamika gerakan tindakan yang terpadu, sehaluan dan seirama dalam mencapai tujuan tertentu (Suradinata, Ermaya E, 1993 : 192).

Selama ini dalam bahasa Indonesia kita sering mengenal berbagai istilah kata-kata yang dimaknai dengan kata-kata “dennotative” dan kata-kata “connotative”, yang dalam penggunaannya sering menimbukan kekeliruan. Kata-kata “dennotative” berarti suatu kata yang diartikan menurut akar katanya atau asal katanya. Sebagai contoh kata “merah” menurut istilah “dennotative” artinya menunjukkan warna merah. Sedangkan menurut istilah “connotative”, yaitu suatu kata yang dapat diartikan dengan kata kiasan dan dapat berarti lain. Misalnya kata “merah” dapat diartikan “berani “, misalnya pada bendera, atau berarti “jelek” pada rapor murid sekolah, atau berarti “menstruasi” pada wanita, atau berarti “larangan masuk” pada tanda lalu lintas. Dengan demikian, secara “connotative” dapat diterjemahkan dengan berbagai pengertian.

Demikian pula dengan kata “kebijakan” dan kata “kebijaksanaan”, dalam pengertian sehari-hari, kata “kebijakan” dimaksudkan dengan  sesuatu keputusan atau ketentuan yang dilandasi oleh suatu aturan yang apabila dilanggar akan memperoleh sanksi. Sedangkan kata “kebijaksanaan” merupakan suatu ketentuan yang masih dapat ditawar atas dasar sifat-sifat yang manusiawi. Namun semua itu terpulang pada bagaimana kita memandang istilah-istilah tersebut, serta bagaimana mengimplementasikannya ke dalam situasi dan kondisi sehari-hari. Namun untuk sementara ini kita gunakan saja istilah “kebijakan” yang lebih mendekati istilah “policy”.
Berbeda dengan bahasa asing (dalam hal ini Inggris) istilah-istilah tersebut lebih bervariatif, seperti istilah “policy” sebagaimana diuraikan tersebut di atas dan istilah “wisdom” sebagaimana uraian-uraian selanjutnya.
Untuk lebih melengkapi pengertian “policy” yang telah diuraikan di atas, penulis akan mengutip dari buku “ The Lexicon Webster Dictionary” Volume II mengenai pengertian dari “wisdom” sebagai berikut :
  Wisdom < wis, and term, - dom : The quality of being wise ; the faculty to discern right and truth and to judge or act accordingly ; sound judgment  ; sagacity ; discretion ; common sense ; extensive knowledge “ (The Lexicon  Webster Dictionary, 1978 : 1142).
Dari uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa istilah “wisdom” digambarkan sebagai suatu kualitas untuik menjadi bijaksana, kecakapan untuk membedakan hak dan kebenaran dan untuk mempertimbangkan atau tunduk kepada undang-undang, keputusan pengadilan, kecerdikan, kemerdekaan bertindak, akal sehat serta berpengetahuan yang luas. Dengan demikian istilah “wisdom menggambarkan pengertian yang sangat luas.
Sedangkan kebijakan dalam arti “policy” menurut penulis, merupakan bagian dari “wisdom” yang secara spesifik harus ditaati.
Bagi Ermaya E.Suradinata, maka ciri-ciri “policy” adalah :
(1)     Mengandung hubungan dengan tujuan organisasi atau tujuan lembaga yang bersangkutan ;
(2)     Dikomunikasikan dan dijelaskan kepada semua pihak yang bersangkutan ;
(3)     Dinyatakan dengan bahasa yang mudah dipahami, sebaiknya tertulis ;
(4)     Mengandung ketentuan tentang batas-batasnya dan ukuran bagi tindakan di kemudian hari ;
(5)     Memungkinkan diadakan pembahasan dimana perlu, meskipun secara relatif tetap dan stabil ;
(6)     Masuk akal dan dapat dilaksanakan, memberi peluang untuk bertindak dan penafsiran oleh mereka yang bertanggung jawab dalam pelaksanaannya.

Sumber :
(Ermaya E. Suradinata, 1993 : 193).