oleh: Iwan Sukma Nuricht
Menurut The Lexicon Webster Dictionary, bahwa yang
dimaksud dengan kebijakan adalah : “ Policy, n. pl. policies, (politia, Gr.
Politeia, polity): The principles on which anymeasure or course of action is
based, the line of conduct which the rulers of a nation adopt on particular
questions especially with regard to foreign countries prudence or wisdom of
governments or individuals in the management of the affairs, public or private
;general prudence or dexterity of management ; sagacity “ (1978 : 736). Dengan demikian suatu
kebijakan merupakan prinsip-prinsip yang dijadikan landasan dari berbagai
kegiatan .
Desmond Keeling mengemukakan pandangan berikut
tentang istilah “policy”. Menurut pandangannya bahwa : “ ….. There seems to be
four distinct elements : objectives, plans, priorities, and decision rules, any
more or more of which may be intended by the current use in practice of the
word policy…. “ (Keeling, Desmond, 1972 : 24).
Selanjutnya Sir Georffrey Vickers dalam sebuah
analisisnya tentang istilah “policy” (yang dikutip oleh Desmond Keeling)
merumuskan “policy” sebagai : “ ……. A set of standards or
norms “.
Dengan berlangsungnya waktu berkembanglah pandangan atau mitos tentang
istilah “policy” :
“Policy has not only various meanings but a variety of myths
have in the past been associated with it :
1.
that policy is exclusively an activity conducted at the
highest levels perhaps only by politicians in central and local government with
senior officials allowed to participate as policy adviser ;
2.
that it can be sharply differentiated from the work of
implementing policy decisions ;
3.
that the making of policy always precedes in time the
taking of decisions on individual cases. (Desmond Keeling, 1972 : 26).
Penulis berpendapat bahwa pernyataan yang diungkapkan pada butir 1, 2 dan 3 tersebut di atas, tidak
selalu terjadi dalam praktek, baik kaitannya dengan kebijakan publik (public
policy) maupun kebijakan bisnis (business policy). Ada kalanya kebijakan
disusun oleh tingkat-tingkat yang ada (kecuali tingkatan terendah). Hal mana
tergantung dari pentingnya persoalan yang sedang dihadapi.
Begitu pula dalam
kenyataan tidak jarang terlihat bahwa implementasi kebijakan dan
penyusunan kebijakan tidak dapat dipisahkan.
Perlu diingat bahwa para penyusun kebijakan (policy
makers) senantiasa memerlukan umpan balik (feedback) pengimplementasian kebijakan yang telah disusun. Atau dapat pula
dikatakan bahwa dalam kenyataan, seringkali terlihat gejala bahwa kebijakan
tidak mutlak harus mendahului keputusan-keputusan individual.
Berkaitan dengan masalah keputusan ini Prof.Dr.Mr.
Prajudi Atmosudirdjo dalam bukunya “Beberapa Pandangan Umum Tentang
Pengambilan Keputusan (Dalam Hubungannya dengan Leadership, Strategi, Planning
dan Policy)” mengungkapkan bahwa : “ Pada level pimpinan yang tertinggi
(Administrator atau Top Manager), maka keputusan-keputusan kita dapat berupa
(i) Peraturan, (ii) Rencana, (iii) Strategi, (iv) Kebijakan (Policy) dan (v)
Perintah atau Larangan.
Pada level pimpinan menengah keputusan-keputusan kita
merupakan desisi-desisi pelaksanaan daripada Peraturan, Rencana dan Policy
atasan. Makin ke bawah kedudukan kita makin kita dihadapkan kepada
masalah-masalah yang secara langsung berhubungan dengan praktek kehidupan organisasi
atau masyarakat sehari-hari, dan masalah-masalahnya akan bersifat “unik”,
“khas” dan terikat kepada barang tertentu, tempat tertentu, dan orang-orang
tertentu” (Atmosudirdjo, Prajudi, 1976 : 72).
Dari pandangan tersebut jelaslah bahwa “kebijakan” atau
“policy” merupakan bagian dari keputusan. Dalam hal ini penulis setuju dengan
pendapat tersebut, karena suatu keputusan merupakan jawaban dari suatu masalah
yang dilakukan melalui proses berpikir dan merasa, dengan memilih alternatif
yang terbaik.
Hal ini juga diungkapkan oleh Prof. Prayudi
Atmosudirdjo sebagai berikut : “ Desisi atau keputusan saya definisikan
sebagai suatu pengakhiran atau pemutusan dari pada suatu proses pemikiran untuk
menjawab suatu pertanyaan, khususnya suatu masalah atau problema”.
(Atmosudirdjo, Prayudi, 1976 : 36).
Menurut beliau, masalah ada bermacam-macam kemungkinan
sifat dan bentuknya, beserta tingkat dampak serta kompleksitasnya, sebagaimana
diungkapkannya sebagai berikut : “ Makin tinggi kedudukan kita dalam “tangga
organisasi”, maka masalah-masalahnya
makin bersifat : (1) Politik, “politics”, (2) Rencana atau Perencanaan Induk,
“Master Planning”, (3) Peraturan, “Regulations”, (4) Strategi, “Strategy”, (5)
Kebijaksanaan Tinggi, “Overall Policy”, (6) Pembelanjaan dan penganggaran,
“Finance and Budget”.
Makin ke bawah (eselon dua), kedudukan kita, maka
masalah-masalahnya akan bersifat : (1) Interpretasi, “Translation” , (2) Penentuan Sub-prapta, “Setting
Sub-objectives”, (3) Koordinasi, (4) Komunikasi, (5) Programming, (6) Pengawasan
Eksekutif, “”Executive Control”.
Lebih ke bawah lagi kedudukan kita (eselon ketiga), maka
masalah-masalahnya akan lebih bersifat operasionil, misalnya (1) Operation
Plan, (2) Routing, (3) Loading, (4) Scheduling, (5) Policy pergantian plug,
Shift change policy, (6) Perubahan metode dan teknik kerja, (7) Latihan kerja,
(8) Disiplin dan hukuman.
Jelaslah dari uraian tersebut bahwa kebijakan bisa
terdapat pada tingkatan tinggi, yang disebut dengan “Overall Policy” atau
“Kebijaksanaan Tinggi”, serta dapat pula pada tingkatan bawah, seperti : Policy
pergantian plug atau “Shift change policy”. Namun yang penting
dari semua itu adalah bahwa setiap kebijakan seharusnya dapat mencari pemecahan
terhadap sesuatu masalah.
Selanjutnya Prof. Prayudi Atmosudirdjo mencoba menyusun
Klasifikasi desisi-desisi pimpinan berdasarkan level manajemen.
Berdasarkan tingkatan pimpinan organisasi sebagai
kriterium, maka secara lengkap keputusan-keputusan pimpinan dapat kita bedakan
antara :
1.
Desisi Administratif, atau administrative decision, top
management decision (Keputusan Pimpinan Tertinggi) adalah keputusan yang
diambil oleh seorang Administrator. Administrator adalah selalu orang pimpinan
yang berada pada puncak (top) daripada suatu organisasi. Dalam negara kita ,
berdasarkan Undang Undang Dasar, Presiden Republik Indonesia berfungsi sebagai
Administrator Negara. Di dalam Departemen Administratornya adalah Menteri.
Dalam Direktorat Jenderal, maka Direktur Jenderal menjadi Administrator. Dalam
Propinsi yang menjadi administratornya
adalah Gubernur Kepala Daerah Di dalam Perusahaan yang menjadi
Administrator adalah Direktur Utama atau
bisa juga Direksi, satu sama lain tergantung daripada Anggaran Dasarnya. Dalam suatu organisasi yang cukup besar,
maka desisi administratif yang
menyangkut seluruh organisasi secara umum akan selalu bersifat abstrak,
impersonal, prinsipiil, atau garis besar, atau secara dasar (basic). Dalam hal
“policy making”, maka kebijakan yang diputus oleh Administrator haruslah
bersifat dasar, menyeluruh, atau strategis (basic, overall, strategic
policies).
Administrator menetapkan :
(1)
Strategi Organisasi,
(2)
Peraturan-peraturan Umum,
(3)
Rencana Induk,
(4)
Policy Umum,
(5)
Anggaran (Budget),
(6)
Pola Sistim Kerja,
(7)
Program Organisasi.
2.
Desisi Eksekutif, atau executive decision adalah
keputusan yang diambil oleh seorang Executive atau Executive Manager. Secara
ide, seorang Eksekutif adalah yang berada di antara “Pencetus ide atau penentu
ide”, dan “Pekerja atau penyelenggara atau realisator daripada ide”.Jadi
seorang Executive Manager adalah manager yang berada diantara Administrator dan
Operative Manager, Seorang Executive harus “menyelamatkan, melaksanakan”
kehendak daripada Atasan dan membuat Bawahan (Operative Manager) merealisir apa
yang dikehendaki oleh Atasan (Administrator). Di dalam Tata Pemerintahan
Negara, pengertiannya malah terbalik, artinya : Eksekutif adalah Pemerintah,
dan Administrator berada di bawahnya. Oleh karena di Indonesia (juga di Amerika
Serikat) Presiden merangkap sebagai Pemerintah (Penguasa Eksekutif) dan
Administrator (Penguasa Administrasi), maka hal tersebut tidak begitu terasa.
Kebiasaan itu berasal dari ajaran-ajaran ketatanegaraan abad ke-17 di Eropah
Barat, terutama Montesqieu, John Locke. Keputusan eksekutif pada umumnya
bersifat petunjuk-petunjuk pelaksanaan (uitvoeringsdirectieven, directives),
atau “terjemahan” (translation) daripada desisi-desisi administratif menjadi
“bahasa kerja” operatif. Para executive managers bertindak sebagai pengamat
(supervisor) terhadap operative managers bawahannya, tertutama dari segi
koordinasi. Koordinasi bersifat vertikal yaitu koordinasi antar atasan –
bawahan – atasan, dan bersifat pula horizontal atau mendatar (antara rekan-rekan
sekepentingan).
Desisi Eksekutif, (Keputusan
Manajer Koordinator) bertujuan memelihara : Koordinasi dan Efektivitas, yaitu :
(1)
Menetapkan : Interpretasi Keputusan Pimpinan Tertinggi
;
(2)
Menyelesaikan : Konflik Antara Manajer, karena
mis-planning, mis-communication dan sebagainya.
(3)
Koreksi terhadap : Dysfunctions (penyelewengan dari
fungsi).
3.
Desisi Operatif atau operative decision, operation
decision adalah keputusan yang diambil (pada umumnya) oleh para operative
managers dalam rangka memimpin dan mengendalikan operasi penyelenggaraan.
Operasi penyelenggaraan adalah operasi pelaksanaan daripada rencana-rencana
operasi (operation plans). Operation adalah keseluruhan daripada aktivitas-aktivitas
yang berhubungan satu sama lain secara integral (body or unit of integrated and
interrelated activities) dan secara langsung berakhir dengan berhasilnya
produk-produk kerja. Produk kerja ini bisa bersifat barang, atau jasa (service)
atau fasilitas. Desisi operatif (Keputusan Manager yang memimpin dan
bertanggung jawab atas sesuatu operation) bertujuan membuat operation yang
dipimpin berjalan secara lancar dan efisien. Dalam hal ini Desisi operatif
menetapkan, menggerakkan dan bertindak menjaga :
(1)
Operation Plan,
(2)
Operation Schedule,
(3)
Waktu – Biaya – Tempat – Kebersihan – Kerapian –
Kuantitas – Transportasi – dan Logistik.
4.
Desisi Tehnis Kerja adalah keputusan yang diambil pada
umumnya oleh para supervisor atau pengamat, mandur, foreman, gangboss,
werkbaas, dan sebagainya. Di dalam praktek tidak semua rencana kerja cocok
dengan keadaan yang sebenarnya, misalnya bentuk batu yang tidak cocok, ukuran
kertas yang tidak ada dalam stock, warna cat yang susah diperoleh, dan sebagainya.
Keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah demikian itu tergolong dalam
desisi-desisi tehnis kerja. Dengan demikian Desisi Pengamatan Tehnis Kerja yang
dilakukan Supervisor bertujuan :
(1)
Menjaga Mutu Kerja,
(2)
Menjaga Mutu Produksi, serta Koreksi terhadap : a)
Penyelewengan Metode, b) Penyimpangan
Standar dan c) Kecepatan (Speed) Kerja.
(Prof. Prayudi Atmosudirdjo, 1976 : 73-80).
Hal tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh
seorang pakar kebijakan dari negeri Belanda, yaitu A. Hoogerwerf dalam
bukunya “ Overheids Beleid “, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia yang mengemukakan bahwa : “ Kebijakan
dapat dilukiskan sebagai usaha mencapai tujuan tertentu dengan sarana
tertentu dalam urutan waktu tertentu. Kebijakan adalah semacam jawaban terhadap
sesuatu masalah. Kebijakan adalah suatu upaya untuk memecahkan, mengurangi atau
mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah
menuju sasaran” (Hoogerwerf, 1983 : 8).
Pandangan lain dikemukakan oleh Ermaya E. Suradinata dalam bukunya “Kebijaksanaan Pembangunan dan
Pelaksanaan Otonomi Daerah : Perkembangan Teori dan Penerapan”, bahwa : “
Kebijakan itu dimaknai sebagai policy dan sebagai wisdom. Sebagai wisdom, maka
kebijakan adalah pandangan luas yang masih dalam pemikiran, bersifat universal,
mondial dan objektif. Sebagai policy atau kebijaksanaan adalah kebijakan yang
diterapkan secara subjektif yang dalam operatifnya merupakan
(1)
Suatu penggarisan ketentuan ;
(2)
Yang bersifat pedoman, pegangan, bimbingan yang
mencapai kesepahaman dalam maksud/cara/saran ;
(3)
Bagi setiap usaha dan kegiatan kelompok manusia yang
berorganisasi ;
(4)
Sehingga terjadi dinamika gerakan tindakan yang
terpadu, sehaluan dan seirama dalam mencapai tujuan tertentu (Suradinata,
Ermaya E, 1993 : 192).
Selama ini dalam bahasa Indonesia kita sering mengenal
berbagai istilah kata-kata yang dimaknai dengan kata-kata “dennotative” dan
kata-kata “connotative”, yang dalam penggunaannya sering menimbukan kekeliruan.
Kata-kata “dennotative” berarti suatu kata yang diartikan menurut akar katanya
atau asal katanya. Sebagai contoh kata “merah” menurut istilah “dennotative”
artinya menunjukkan warna merah. Sedangkan menurut istilah “connotative”, yaitu
suatu kata yang dapat diartikan dengan kata kiasan dan dapat berarti lain.
Misalnya kata “merah” dapat diartikan “berani “, misalnya pada bendera, atau
berarti “jelek” pada rapor murid sekolah, atau berarti “menstruasi” pada
wanita, atau berarti “larangan masuk” pada tanda lalu lintas. Dengan demikian,
secara “connotative” dapat diterjemahkan dengan berbagai pengertian.
Demikian pula dengan kata “kebijakan” dan kata
“kebijaksanaan”, dalam pengertian sehari-hari, kata “kebijakan” dimaksudkan
dengan sesuatu keputusan atau ketentuan
yang dilandasi oleh suatu aturan yang apabila dilanggar akan memperoleh sanksi.
Sedangkan kata “kebijaksanaan” merupakan suatu ketentuan yang masih dapat
ditawar atas dasar sifat-sifat yang manusiawi. Namun semua itu terpulang pada
bagaimana kita memandang istilah-istilah tersebut, serta bagaimana
mengimplementasikannya ke dalam situasi dan kondisi sehari-hari. Namun untuk
sementara ini kita gunakan saja istilah “kebijakan” yang lebih mendekati istilah
“policy”.
Berbeda dengan bahasa asing (dalam hal ini Inggris)
istilah-istilah tersebut lebih bervariatif, seperti istilah “policy”
sebagaimana diuraikan tersebut di atas dan istilah “wisdom” sebagaimana
uraian-uraian selanjutnya.
Untuk lebih melengkapi pengertian “policy” yang telah
diuraikan di atas, penulis akan mengutip dari buku “ The Lexicon Webster
Dictionary” Volume II mengenai pengertian dari “wisdom” sebagai berikut :
“ Wisdom < wis,
and term, - dom : The quality of being wise ; the faculty to discern right and
truth and to judge or act accordingly ; sound judgment ; sagacity ; discretion ; common sense ;
extensive knowledge “ (The Lexicon
Webster Dictionary, 1978 : 1142).
Dari uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa istilah
“wisdom” digambarkan sebagai suatu kualitas untuik menjadi bijaksana, kecakapan
untuk membedakan hak dan kebenaran dan untuk mempertimbangkan atau tunduk
kepada undang-undang, keputusan pengadilan, kecerdikan, kemerdekaan bertindak,
akal sehat serta berpengetahuan yang luas. Dengan demikian istilah “wisdom
menggambarkan pengertian yang sangat luas.
Sedangkan kebijakan dalam arti “policy” menurut penulis,
merupakan bagian dari “wisdom” yang secara spesifik harus ditaati.
Bagi Ermaya E.Suradinata, maka ciri-ciri “policy” adalah :
(1)
Mengandung hubungan dengan tujuan organisasi atau
tujuan lembaga yang bersangkutan ;
(2)
Dikomunikasikan dan dijelaskan kepada semua pihak yang
bersangkutan ;
(3)
Dinyatakan dengan bahasa yang mudah dipahami, sebaiknya
tertulis ;
(4)
Mengandung ketentuan tentang batas-batasnya dan ukuran
bagi tindakan di kemudian hari ;
(5)
Memungkinkan diadakan pembahasan dimana perlu, meskipun
secara relatif tetap dan stabil ;
(6)
Masuk akal dan dapat dilaksanakan, memberi peluang
untuk bertindak dan penafsiran oleh mereka yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaannya.
Sumber :
(Ermaya E. Suradinata, 1993 : 193).