SISTEM FILSAFAT
PANCASILA
SEBAGAI SISTEM
IDEOLOGI NASIONAL INDONESIA
(PEMBUDAYAAN DAN TANTANGANNYA DALAM
GLOBALISASI-LIBERALISASI-POSTMODERNISME *)
LATAR BELAKANG
Sesungguhnya
bangsa Indonesia diberkati dengan berbagai keunggulan, baik natural
(alam nusantara yang amat luas, strategis, kaya SDA, subur, indah dan nyaman
alamnya); maupun nilai kultural (budaya yang kaya dan filsafat theisme-religious);
serta SDM yang kuantitas-kualitas unggul (bangsa :
petani-nelayan-pelaut-ksatria/pejuang yang ulet).
Dengan
luas nusantara 17.584 pulau (3 juta km2 daratan, dan 12 juta km2 lautan) berkat Wawasan Nusantara (+
200 mil ZEE) disilang benua dan samudera. Nusantara NKRI berada
di pintu gerbang Trans-Pasifik sebagai multi-lintas budaya modern ---
sedangkan trans-Atlantik, sebagai masa lalu lintas dunia, terutama kaum
kolonialisme-imperialisme! ---. Mungkinkah, trans-Pasifik yang demikian
vital-strategis dimanfaatkan neo-imperialisme bagi supremasi ideologi
liberalisme-kapitalisme (negara adidaya USA dan UE) demi politik
neo-ultra-imperialisme dalam abad XXI dalam dinamika postmodernisme!
Menyaksikan
praktek dan budaya (elite dan pemerintahan reformasi) NKRI yang mengalami degradasi
nasional, kita wajib meningkatkan kewaspadaan nasional dengan wawasan visioner dan arif-kenegarawanan.
Kita perlu (mendesak) untuk meng-audit reformasi : mulai
amandemen UUD 45, praktek demokrasi-liberal, dan ekonomi-liberal
dalam praktek memuja kebebasan (=neo-liberalisme) atas nama demokrasi
(demokrasi-liberal) dan HAM (semoga : bukan HAM-HAMPA
sebagai yang dipraktekkan negara adidaya USA-UE dengan menjajah Irak,
Afghanistan; mengancam Korea Utara dan Iran.... ? semoga untuk memasuki
Kebangkitan Nasional 100 tahun ke-2, kita sungguh-sungguh meningkatkan
kesadaran nasional, kerukunan nasional dan kebanggan nasional demi integritas
bangsa dalam NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila.
I.
SISTEM FILSAFAT (SISTEM
IDEOLOGI) SEBAGAI SISTEM KENEGARAAN
Sebagai nilai peradaban awal dan puncak pemikiran budaya
umat manusia, diakui berwujud nilai filsafat. Nilai filsafat menjangkau
kesemestaan (fisika dan metafisika; alam semesta sampai Tuhan Maha Pencipta
semesta). Kebenaran filsafat diakui bersifat fundamental dan hakiki; karenanya
dijadikan filsafat hidup (Weltanschauung); yang
dipraktekkan sepanjang sejarah bangsa. Karenanya, nilai fundamental ini
menjiwai bangsa itu, sebagai jiwa bangsa (Volksgeist, jatidiri
nasional).
Sejak perkembangan awal nilai-nilai filsafat, diakui
bersumber dan berpusat di Timur Tengah sekitar 6000–600 sM (Radhakrishnan 1953
: 11), dan sekitar 5000- 1000 sM (Avey 1961 : 3-7). Rekaman sejarah filsafat
demikian, mengandung makna bahwa nilai filsafat sinergis dengan nilai-nilai
Ketuhanan dan Keagamaan. Bukankah, semua agama langit (supernatural
religions : Yahudi, Christiani dan Islam) berpusat di Timur Tengah.
Baru, sekitar (650 – 600 sM) diYunani mulai berkembang
ajaran filsafat sebagai cikal-bakal ajaran filsafat Barat, yang dipuja sebagai
landasan peradaban modern.
Sejarah budaya dan peradaban umat manusia menyaksikan
bagaimana semua bangsa di semua benua menjadi penganut berbagai sistem
filsafat, baik yang dijiwai nilai-nilai moral keagamaan (theisme-religious)
maupun nilai non-religious (sekular, atheisme). Tegasnya, umat
manusia atau bangsa-bangsa senantiasa menegakkan nilai-nilai peradabannya
dijiwai, dilandasi dan dipandu oleh nilai-nilai religious atau non-religious.
Sampai abad XXI, peradaban mengakui sistem filsafat (dan
atau sistem ideologi) telah berkembang dalam berbagai sistem kenegaraan; terutama
: theokratisme, kapitalisme-liberalisme (dari sistem filsafat natural
law); zionisme, sosialisme, marxisme-komunisme-atheisme; naziisme-fascisme
; fundamentalisme, dan Pancasila ! Inilah sistem ideologi,
yang dijadikan sistem kenegaraan; telah berkembang dalam kehidupan
dunia internasional modern yang berpacu merebut supremasi ideologi nasional
masing-masing (misal : perang dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur
1950-1990).
NKRI dengan berbagai negara Asia-Afrika bersikap
bebas-aktif, dalam makna tidak memihak antar ideologi negara adidaya --- antara
Amerika Serikat dan Sekutunya berhadapan dengan Uni Soviet dan Sekutunya ---.
Bangkitlah kekuatan ke-3 dalam panggung politik dunia; terkenal sebagai
kekuatan negara-negara non-blok (= GNB atau gerakan non-blok).
Bagaimana wajah politik negara-negara masa depan, amat
ditentukan oleh ideologi mana yang memiliki otoritas dan supremasi atas
berbagai ideologi dunia modern.
Berdasarkan analisis normatif filosofis-ideologis diatas,
khasanah ilmu politik mengakui adanya sistem kenegaraan dengan predikat
berdasarkan sistem ideologi : negara kapitalisme-liberalisme, negara
sosialisme, negara zionisme Israel; negara komunisme; dan sebagainya ...
wajarlah NKRI dinamakan sistem kenegaraan Pancasila.
Jadi, tiap bangsa berbudaya dan beradab menegakkan sistem
kenegaraannya berdasarkan suatu sistem filsafat, dan atau sistem
ideologi; yang terjabar dan ditegakkan dalam UUD (konstitusi) negara.
Bagaimana
identitas dan integritas sistem kenegaraannya itu, memancarkan ajaran dan nilai
fundamental sistem filsafat dan atau sistem ideologi negaranya. Identitas,
integritas dan keunggulan sistem filsafat dan atau ideologi --- selanjutnya
kita namakan ideologi negara --- terpancar dari asas bagaimana bangsa
itu menghargai kedudukan, potensi dan martabat manusia sebagai subyek di dalam
negara.
II.
DASAR-DASAR AJARAN FILSAFAT
TENTANG HAM DAN TEORI NEGARA
Sesungguhnya teori negara fokus
kepada apa dan bagaimana kekuasaan (kedaulatan) di dalam negara
ditegakkan. Bagaimana hakekat kekuasaan atau kedaulatan di dalam negara,
ditentukan oleh ajaran filsafat bagaimana kedudukan, potensi dan
martabat manusia di dalam kehidupan manusia --- dalam alam, dalam
masyarakat dan dalam negara ---. Berkembanglah ajaran tentang hak asasi
manusia (HAM). Kemudian, berdasarkan pandangan tentang HAM ini
dikembangkan teori negara yang berpusat kepada teori kedaulatan.
Bagaimana manusia mengerti dan menghargai martabat
manusia, khasanah ilmu pengetahuan mengajarkan filsafat manusia dan filsafat
hak asasi manusia (HAM). Budaya dan kepustakaan modern terutama mengajarkan
beberapa sistem filsafat yang membahas ajaran tentang hak asasi manusia ---
selanjutnya kita sebut HAM --- ialah ajaran teori hukum alam
(Natural Law Theory, atau filsafat hukum alam) sebagai dianut negara-negara
Barat modern, dengan ideologi : liberalisme-kapitalisme.
Juga dari dunia Barat lahir ajaran filsafat idealisme
murni dari tokoh filosof George Wilhelm Hegel (1770-1831) dengan teori
kedaulatan Tuhan (theokratisme) --- yang kemudian dijiplak oleh Karl
Marx (1818-1883) menjadi teori kedaulatan negara, etatisme --- sebagai
dianut negara-negara komunis dengan asas kolektivitisme (komunitas,
kebersamaan rakyat tanpa kelas sosial) ---semua rakyat
warganegara sama dan sederajat dalam status abdi negara, yang melaksanakan misi
sebagai pekerja : buruh, tani, nelayan, pedagang, prajurit, polisi,
guru, profesional .... semua demi kerja / karya --- ! Karena itulah, dinegara
komunis diakui aksioma : bahwa negara adalah milik rakyat, kaum
pekerja (baca : kaum buruh). Demikian pula, semua kekayaan dalam
negara (pabrik, perusahaan, kantor) adalah milik rakyat, milik negara --- tidak
diakui adanya milik individu / pribadi; atau milik kaum modal / kapitalis;
atau kaum ningrat / feudal atau borjuis --- ! Mereka, kaum kapitalis adalah
musuh rakyat, musuh negara ! Fenomena demikian ialah antithesa dalam dialektika
ideologi marxisme-komunisme-atheisme yang harus diperangi
melalui revolusi oleh penganut ideologi komunisme !
A. Ajaran Sistem Filsafat
Pancasila sebagai Sistem Ideologi Nasional ditegakkan sebagai Sistem Kenegaraan
Pancasila
Ajaran
filsafat Pancasila baik sebagai filsafat hidup (Weltanschauung,
Volksgeist), maupun sebagai dasar negara (filsafat negara, ideologi
negara, ideologi nasional) berfungsi sebagai jiwa bangsa dan jatidiri
nasional. Secara kenegaraan (konstitusional ) nilai Pancasila adalah
asas kerohanian bangsa, dan jiwa UUD negara --- in casu UUD
Proklamasi 1945; b u k a n UUD 2002 / Amandemen ---! Karena, UUD
amandemen mengalami distorsi filosofis-ideologis --- sehingga melahirkan
berbagai kontroversial bahkan degradasi nasional dan degradasi
mental dan moral !---. Pelopor dan elite reformasi, termasuk
pendukung berkewajiban untuk melaksanakan
a u d i t nasional
atas praktek dan budaya sosial-politik-ekonomi dalam era reformasi, sehingga
kondisi nasional tetap dalam keterpurukan multi-dimensional !
Silahkan,
kita mawas diri dengan merenungkan bagaimana integritas nasional dalam
tantangan konflik horisontal, praktek negara federal; juga praktek oligarchy,
plutocracy, dan anarchisme!
v HAM berdasarkan Ajaran Sistem Filsafat
Pancasila
Filsafat Pancasila memberikan kedudukan
tinggi dan mulia atas potensi dan martabat manusia (sila I-II, IV dan V);
karenanya ajaran HAM berdasarkan Pancasila dijiwai dan dilandasi asas
normatif theisme-religious :
1. Bahwa HAM
adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus amanat
untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
2. Bahwa
menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban
asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat)
manusia menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta, sebagai integritas moral
martabat manusia.
3. Kewajiban
asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
a. Manusia wajib
mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha
Pencipta (sila I) yang menganugerahkan dan mengamanatkan potensi kepribadian
jasmani-rohani sebagai martabat (luhur) kemanusiaan.
b. Manusia wajib
mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas
semesta, termasuk atas nasib dan takdir manusia; dan
c. Manusia wajib
berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah dan amanat
yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.
Tegaknya
ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM;
sekaligus sebagai derajat (kualitas) moral dan martabat (luhur) manusia.
Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita
juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan
mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya ---sebagai terpancar dari
akal-budinuraninya--- sebagai subyek budaya (termasuk subyek
hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160)
Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan
manusia (termasuk wawasan nasional) atas martabat
manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan;
sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat
dan negara
hukum. Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan sistem
kenegaraan RI berdasarkan Pancasila – UUD 45.
Filsafat Pancasila memancarkan identitas dan integritas
martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious. Integritas
demikian sebagai bagian dari keunggulan dari sistem filsafat
Timur, karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian
manusia.
B. NKRI sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila
Dalam perbendaharaan ilmu
pengetahuan filsafat, ideologi, politik, dan hukum, kita mengetahui adanya berbagai sistem filsafat, dan atau
sistem ideologi. Ajaran sistem
filsafat dan atau sistem ideologi ini melahirkan berbagai sistem kenegaraan,
seperti : theokratisme, kapitalisme-liberalisme, sosialisme,
marxisme-komunisme-atheisme; zionisme, naziisme, fundamentalisme; dan Pancasila
terus berkembang dalam budaya dan peradaban dunia modern.
Berdasarkan
ajaran filsafat Pancasila, terutama tentang kedudukan dan martabat kepribadian
manusia, maka oleh pendiri negara (PPKI) dengan musyawarah mufakat ditetapkan dan disahkan sistem
kenegaraan Indonesia merdeka, sebagai terumus dalam UUD Proklamasi 1945 seutuhnya.
Karenanya, NKRI berdasarkan Pancasila-UUD 45 dapat kita namakan dengan
predikat: sebagai sistem kenegaraan
Pancasila, sebagai terjabar dalam UUD Proklamasi 1945 --- untuk dibandingkan dan dibedakan dengan
UUD 45 amandemen, dan atau UUD RI 2002 ---.
Memahami
sistem kenegaraan Pancasila seutuhnya, akan signifikan melalui memahami sejarah
Proklamasi dan UUD Proklamasi 45 seutuhnya. Di dalam Pembukaan UUD negara kita,
tentang kedaulatan
rakyat, terlukis dalam kutipan berikut:
“......susunan negara Republuk Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Sesungguhnya,
rumusan kedaulatan rakyat dalam Pembukaan UUD Proklamasi ini bermakna
sebagai asas demokrasi (berdasarkan) Pancasila --- atau sistem
demokrasi Pancasila ---. Tegasnya, bukan demokrasi liberal, atau neo-liberal
sebagai mana yang dipraktekkan dalam era reformasi.
Sesungguhnya
nilai fundamental dalam Pembukaan UUD Proklamasi 45 itu adalah pancaran
ajaran filsafat Pancasila, mulai ajaran HAM, teori kenegaraan, sampai sosial
politik dan ekonomi nasional Indonesia.
Jadi, bangsa Indonesia sebagai dipelopori oleh Kebangkitan
Nasional dan the founding fathers (pendiri negara : PPKI) mengamanatkan
bagaimana bangsa Indonesia menegakkan tatanan kebangsaan dan kenegaraannya
sebagai terumus dalam UUD Proklamasi seutuhnya (Pembukaan, Batang
Tubuh dan Penjelasan). Tegasnya, NKRI berdasarkan Pancasila adalah negara
berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (Rechtsstaat).
Sesungguhnya nilai fundamental dalam Pembukaan
UUD Proklamasi 45 itu adalah pancaran ajaran filsafat Pancasila,
mulai ajaran HAM, teori kenegaraan, sampai sosial politik dan ekonomi nasional
Indonesia.
Jadi,
bangsa Indonesia sebagai dipelopori dan diamanatkan oleh the
founding fathers (pendiri negara : PPKI) yang diawali Kebangkitan
Nasional bangsa Indonesia menegakkan tatanan kebangsaan dan kenegaraannya
sebagai terumus dalam UUD Proklamasi. Tegasnya, NKRI berdasarkan Pancasila
adalah negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (Rechtsstaat).
Hanya
dengan pemahaman dan penghayatan yang valid atas nilai filsafat
Pancasila sebagai ideologi nasional, kita akan lebih memahami asas
fundamental ajaran HAM berdasarkan filsafat Pancasila --- yang melahirkan NKRI
sebagai negara demokrasi dan negara hukum ---, sekaligus pengamalan
(implementasi) dan pembudayaannya.
III. INTEGRITAS NILAI FILSAFAT DAN
IDEOLOGI PANCASILA
Bangsa Indonesia percaya bahwa kita mewarisi berbagai keunggulan
sebagai anugerah sekaligus amanat Allah Maha Pencipta; mulai keunggulan natural
(alam nusantara yang amat strategis dan luas, kaya SDA dan subur alamnya;
nyaman hawanya dan indah). Juga keunggulan sosio-kultural (nilai budaya
yang kaya berpuncak dengan nilai filosofis-ideologis yang memancarkan
identitas dan integritasnya sebagai sistem filsafat theisme-religious).
Nilai-nilai natural dan nilai fundamental diatas dihayati
dan dibudayakan oleh rakyat Indonesia sepanjang sejarahnya; sebagai bangsa yang
unggul (Kedaulatan Kedatuan Sriwijaya abad VII-XII; dan kedaulatan kedatuan
Majapahit abad XIII-XVI) sebagai monumen kejayaan dan zaman keemasan Nusantara
Indonesia. Karena konflik internal, maka kejayaan itu runtuh direbut
oleh kolonialisme-imperialisme 1596-1945. Dalam penjajahan yang amat
panjang (3,5 abad) bangsa (SDM) Indonesia sebagai bangsa ksatria dan patriot
Nusantara terus berjuang merebut kemerdekaan.... berpuncak dengan Proklamasi
yang melahirkan NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila !
Semangat dan jiwa ksatria demikian berkat SDM dijiwai
nilai mental-moral dan budaya (filsafat, ideologi) Pancasila. (Bandingkan
: SDM Indonesia dalam era reformasi yang tergoda dan terlanda neo-liberalisme,
neo-kapitalisme dan individualisme-materialisme yang direkayasa USA dan UE !
Berdasarkan kepercayaan dan cita-cita bangsa Indonesia,
maka diakui nilai filsafat Pancasila mengandung multi - fungsi
dalam kehidupan bangsa, negara dan budaya Indonesia.
Kedudukan dan
fungsi nilai dasar Pancasila, dapat dilukiskan sebagai berikut:
|
||||
Sesungguhnya nilai dasar filsafat Pancasila demikian,
telah terjabar secara filosofis-ideologis dan konstitusional di dalam UUD
Proklamasi (pra-amandemen) dan teruji dalam dinamika perjuangan bangsa dan
sosial politik 1945 – 1998 (1945 – 1949; 1949 – 1950; 1950 – 1959 dan 1959 –
1998). Reformasi 1998 sampai sekarang, mulai amandemen I – IV: 1999 – 2002
cukup mengandung distorsi dan kontroversial secara fundamental
(filosofis-ideologis dan konstitusional) sehingga praktek kepemimpinan dan pengelolaan
nasional cukup memprihatinkan.
Berdasarkan analisis normatif filosofis-ideologis dan
konstitusional demikian, integritas nasional dan NKRI juga akan memprihatinkan.
Karena, berbagai jabaran di dalam amandemen UUD 45 belum sesuai
dengan amanat filosofis-ideologis filsafat Pancasila secara intrinsik.
Terbukti, berbagai penyimpangan dalam tatanan dan praktek pengelolaan negara
cukup memprihatinkan, terutama dalam fenomena praktek: demokrasi liberal dan
ekonomi liberal.
Demi cita-cita nasional yang diamanatkan para pahlawan
dan pejuang nasional, khususnya the founding fathers dan PPKI maka semua
komponen bangsa sekarang ---10 tahun reformasi--- berkewajiban untuk merenung
(refleksi) dan mawas diri untuk melaksanakan evaluasi dan
audit nasional apakah kita sudah sungguh-sungguh menegakkan integritas
NKRI berdasarkan Pancasila – UUD 45 sebagai sistem kenegaraan Pancasila
dan sistem ideologi nasional.
Kita semua bukan hanya melaksanakan visi-misi reformasi;
melainkan secara moral nasional kita juga berkewajiban menunaikan amanat dan
visi-misi Proklamasi, sebagaimana terkandung seutuhnya dalam UUD
Proklamasi.
A. Keunggulan Indonesia Raya
Kita bangsa Indonesia wajib
bersyukur dan bangga atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa bahwa bangsa dan
NKRI diberkati dengan berbagai keunggulan potensial, terutama:
1.
Keunggulan natural (alamiah): nusantara Indonesia amat luas (15 juta km2, 3 juta km2
daratan + 12 juta km2 lautan, dalam gugusan 17.584 pulau); amat
subur dan nyaman iklimnya; amat kaya sumber daya alam (SDA); amat strategis
posisi geopolitiknya: sebagai negara bahari (maritim, kelautan) di silang
benua dan samudera sebagai transpolitik-ekonomi dan kultural postmodernisme dan
masa depan.
2.
Keunggulan
kuantitas-kualitas manusia (SDM) sebagai rakyat
dan bangsa; merupakan asset primer nasional: 235 juta dengan
karakteristika dan jatidiri yang diwarisinya sebagai bangsa pejuang (ksatria)……
---silahkan dievaluasi bagaimana identitas dan kondisi kita sekarang!--- dalam
era reformasi.
3.
Keunggulan sosiokultural dengan puncak nilai filsafat hidup bangsa (terkenal
sebagai filsafat Pancasila) yang merupakan jatidiri nasional, jiwa
bangsa, asas kerokhanian negara dan sumber cita nasional
sekaligus identitas dan integritas nasional.
4.
Keunggulan historis; bahwa bangsa Indonesia memiliki sejarah keemasan: kejayaan negara
Sriwijaya (abad VII - XI); dan kejayaan negara Majapahit (abad XIII - XVI)
dengan wilayah kekuasaan kedaulatan geopolitik melebihi NKRI sekarang (dari
Taiwan sampai Madagaskar).
5.
Keunggulan sistem kenegaraan
Pancasila sebagai negara Proklamasi 17 Agustus
1945; terjabar dalam asas konstitusional UUD 45:
a.
NKRI sebagai negara berkedaulatan
rakyat (demokrasi);
b.
NKRI sebagai negara hukum
(Rechtsstaat);
c.
NKRI sebagai negara bangsa (nation
state);
d.
NKRI sebagai negara berasas
kekeluargaan (paham persatuan, wawasan nasional dan wawasan
nusantara);
e.
NKRI menegakkan sistem kenegaraan
berdasarkan UUD Proklamasi yang memancarkan asas konstitusionalisme melalui
tatanan kelembagaan dan kepemimpinan nasional dengan identitas Indonesia,
dengan asas budaya dan asas moral filsafat Pancasila yang
memancarkan identitas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious.
Asas demikian memancarkan keunggulan sistem filsafat Pancasila (sebagai bagian
dari sistem filsafat Timur) dalam menghadapi tantangan dan godaan masa depan:
neo-liberalisme, neo-imperialisme dalam pascamodernisme yang mengoda
dan melanda
bangsa-bangsa modern abad XXI.
Keunggulan potensial
demikian sinergis dan berpuncak dalam kepribadian SDM Indonesia sebagai penegak
kemerdekaan dan kedaulatan NKRI yang memancarkan budaya dan moral
Pancasila dalam mewujudkan cita-cita nasional. Potensi nasional
dan keunggulan NKRI akan ditentukan oleh kuantitas-kualitas SDM yang memadai +
UUD Negara yang mantap terpercaya ---bukan kontroversial sebagaimana UUD 45 amandemen---.
B. Sistem Kenegaraan Pancasila Tegak
sebagai Sistem Ideologi Nasional (Pancasila)
Bahwa sesungguhnya UUD
Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila
sebagai ideologi nasional (Weltanschauung); asas
kerokhanian negara dan jatidiri bangsa. Karenanya menjadi asas
normatif-filosofis-ideologis-konstitusional
bangsa; menjiwai dan melandasi cita budaya dan moral politik
nasional, terjabar secara konstitusional:
- Negara berkedaulatan rakyat (= negara demokrasi: sila IV).
2.
Negara kesatuan, negara
bangsa (nation state, wawasan nasional dan wawasan nusantara: sila
III), ditegakkan sebagai NKRI.
3.
Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat):
asas supremasi hukum demi keadilan dan keadilan sosial: oleh semua untuk semua
(sila I-II-IV-V); sebagai negara hukum Pancasila.
4.
Negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab
(sila I-II) sebagai asas moral kebangsaan kenegaraan RI; ditegakkan sebagai budaya
dan moral manusia warga negara dan politik kenegaraan RI.
5. Negara berdasarkan asas kekeluargaan (paham persatuan:
negara melindungai seluruh tumpah darah Indonesia, dan seluruh rakyat
Indonesia. Negara mengatasi paham golongan dan paham perseorangan: sila
III-IV-V); ditegakkan dalam sistem ekonomi Pancasila (M Noor Syam,
2000: XV, 3).
Sistem kenegaraan Pancasila
secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan mewujudkan asas
normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila)
sebagai kaidah fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam
kelembagaan negara bangsa (nation state), terlukis dalam skema 1.
Perwujudan Sistem NKRI Berdasarkan Pancasila - UUD 45
(MNS,
1985)
skema 1
Asas normatif fundamental ini bersumber
dari sistem
filsafat Pancasila yang memancarkan identitas martabatnya sebagai sistem
filsafat theisme-religious. (Bandingkan dengan berbagai sistem filsafat
yang melandasi sistem kenegaraan dari: negara komunisme, negara
liberalisme-kapitalisme; negara sosialisme, zionisme maupun fascisme). Jadi,
bangsa dan NKRI secara normatif memiliki integritas dan kualitas keunggulan
sistem kenegaraan; karenanya kita optimis dapat menjadi bangsa dan negara jaya
(MNS, 2000: 45)
IV.
INTEGRITAS SISTEM
KENEGARAAN PANCASILA DAN
UUD PROKLAMASI 1945
Bangsa Indonesia bersyukur dan bangga
mewarisi (sebagai anugerah dan amanat Allah Yang Maha Kuasa) NKRI sebagai
negara Proklamasi. Negara Proklamasi ini memiliki integritas keunggulan
sebagai sistem kenegaraan Pancasila; karena dijiwai (sebagai asas kerohanian
dan asas moral Indonesia) dan terjabar dalam UUD Proklamasi 45 seutuhnya
! Amanat demikian tersurat dan tersirat di dalam Pembukaan UUD Proklamasi !
Kesetiaan dan kebanggaan nasional atas
warisan dan amanat the founding fathers (PPKI) juga dimufakati
dan dihormati oleh MPR RI dalam komitmen untuk tidak melakukan amandemen
(perubahan) atas UUD 45; meliputi : Pembukaan UUD 45; NKRI; Sistem
Pemerintahan Presidensial; nilai dalam Penjelasan UUD 45 diakomodasi dalam
Batang Tubuh (Pasal-Pasal); dan Amandemen dalam bentuk Addendum.
Amanat
demikian berlaku secara universal sebagaimana diuraikan berikut.
A. Amanat PPKI sebagai Pendiri Negara Pancasila
Amanat filosofis-ideologis yang bersifat universal ini,
sekaligus mengandung makna moral nasional generasi penerus yang senantiasa
hormat dan khidmat kepada semua the founding fathers, in casu :
PPKI; bahkan juga semua pahlawan nasional yang membela kemerdekaan nasional dan
NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi.
Integritas Sistem Kenegaraan Pancasila – UUD Proklamasi
Dalam analisis kajian
normatif-filosofis-ideologis, dan konstitusional dan kritis
atas UUD 45 (amandemen) dan dampaknya dalam hukum ketatanegaraan RI,
dapat diuraikan landasan pemikiran
berikut:
1. Baik menurut teori umum hukum ketatanegaraan
dari Nawiasky, maupun Hans Kelsen dan Notonagoro diakui kedudukan dan fungsi kaidah
negara yang fundamental yang bersifat tetap; sekaligus
sebagai norma tertinggi, sumber dari segala sumber hukum dalam negara.
Karenanya, kaidah ini tidak dapat diubah, oleh siapapun dan
lembaga apapun, karena kaidah ini ditetapkan hanya sekali
oleh pendiri negara (Nawiasky1948: 31 – 52; Kelsen 1973: 127 –
135; 155 – 162; Notonagoro 1984: 57 – 70; 175 – 230; Soejadi 1999: 59 – 81).
2. Dengan mengakui kedudukan dan fungsi kaidah
negara yang fundamental, dan bagi negara Proklamasi 17 Agustus 1945
(baca: NKRI) ialah berwujud: Pembukaan UUD Proklamasi 1945.
Maknanya, PPKI sebagai pendiri negara mengakui dan mengamanatkan bahwa atas
nama bangsa Indonesia kita menegakkan sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45.
Asas demikian terpancar dalam nilai-niai fundamental yang terkandung di dalam Pembukaan
UUD 45 sebagai kaidah filosofis-ideologis Pancasila seutuhnya.
Karenanya dengan jalan apapun, oleh lembaga apapun tidak dapat diubah. Karena Pembukaan
ditetapkan hanya 1 x oleh pendiri negara (the founding fathers,
PPKI) yang memiliki legalitas dan otoritas pertama dan tertinggi (sebagai
penyusun yang mengesahkan UUD negara dan lembaga-lembaga negara). Artinya,
mengubah Pembukaan dan atau dasar negara berarti mengubah negara; berarti pula
mengubah atau membubarkan negara Proklamasi (membentuk negara baru; mengkhianati negara Proklamasi 17 Agustus
1945).
3. Penghayatan kita diperjelas oleh amanat
pendiri negara di dalam Penjelasan UUD 45; terutama melalui
uraian: keempat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 45 (sebagai asas kerokhanian
negara dan Weltanschauung bangsa)
terutama:
"4. Pokok
pikiran yang keempat yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemnusiaan yang adil dan
beradab.
Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar
harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara
negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur.
III. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi
suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok
pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar
negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak
tertulis.
Undang-Undang
Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya."
Amanat moral ini wajib kita tegakkan sebagai pembudayaan nilai dasar negara
Pancasila dan UUD Proklamasi.
Jadi, kedudukan Pembukaan
UUD 45 berfungsi sebagai perwujudan dasar negara Pancasila;
karenanya memiliki supremasi dan integritas filosofis-ideologis secara
konstitusional (terjabar dalam Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 45).
Sistem
kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan
mewujudkan asas normatif
filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah
fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam
kelembagaan negara bangsa (nation state).
Tujuan Pendidikan dan Pembudayaan Nilai Dasar Negara
Pancasila terpadu dengan penghayatan UUD Proklamasi 45,
adalah keniscayaan bagi pembinaan bangsa dan watak bangsa (Nation
and character building). Demi tegak-lestarinya NKRI sebagai sistem
kenegaraan Pancasila UUD-Proklamasi, maka tiap warganegara sebagai
subyek bhayangkari NKRI wajib menghayati, mengamalkan dan membudayakannya
sebagai wujud kesetiaan dan kebanggaan nasional. Dalam budaya bangsa negara
beradab dan bermartabat, proses demikian, generasi-demi-generasi (proses
regenerasi bangsa) --- melalui Pendidikan dan Pembudayaan Nilai Dasar Negara
Pancasila --- bersifat imperatif.
B. Pembudayaan
Sistem Ideologi Pancasila sebagai N-Sistem Nasional
Menegakkan
filsafat Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional, secara
kebangsaan dan kenegaraan berwujud sistem kenegaraan Pancasila. Sebab, setiap sistem kenegaraan dilandasi
sistem filsafat dan atau sistem ideologi.
Kesadaran
dan kebanggaan nasional suatu bangsa terpancar dalam asas kebangsaan
(nasionalisme);
sebagai wujud kesadaran jatidiri bangsa (jatidiri nasional, identitas nasional)
yang ditegakkan dalam semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem
kenegaraan demikian berwujud dikembangkannya dan ditegakkannya berbagai sistem nasional sebagai pengamalan dan pembudayaan
dasar negara dan ideologi negara.
Pengembangan
dan pembudayaan sistem nasional ini sebagai wujud kesadaran nasional dan
wawasan nasional; sekaligus sebagai fungsi
dari asas
imperatif konstitusional sistem ideologi nasional. Sebaliknya, tidak dikembangkan dan dibudayakannya N-sistem nasional adalah fenomena degradasi nasional yang bermuara: disintegrasi nasional; dan keruntuhan sistem kenegaraannya.
Semua asas
filosofis-ideologis demikian terjabar dalam UUD Proklamasi; karenanya kewajiban
semua lembaga negara dan kepemimpinan nasional untuk melaksanakan amanat
konstitusional dimaksud; terutama NKRI dengan identitas sebagai negara
demokratis dan negara hukum menegakkan HAM dengan
asas dan praktek budaya dan moral politik yang dijiwai
moral filsafat Pancasila ---yang beridentitas theisme-religious---.
Amanat konstitusional ini secara kenegaraan terutama menegakkan moral
Ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab; dalam NKRI sebagai negara
hukum (Rechtsstaat) demi supremasi hukum dan keadilan
serta keadilan sosial (oleh semua, untuk semua!).
Secara formal-struktural-kenegaraan
asas normatif filosofis-ideologis Pancasila dikembangkan (dijabarkan) dalam
tatanan kenegaraan sebagai terlukis dalam skema berikut.
*) = N
= sejumlah sistem nasional,
terutama:
1. Sistem filsafat Pancasila
2. Sistem ideologi Pancasila
3. Sistem Pendidikan Nasional
(berdasarkan) Pancasila
4. Sistem hukum (berdasarkan)
Pancasila
5. Sistem ekonomi Pancasila
6. Sistem politik Pancasila (=
demokrasi Pancasila)
7.
Sistem budaya Pancasila
8. Sistem Hankamnas, Hankamrata
(MNS, 1988)
skema 2
Secara fundamental:
normatif-filosofis-ideologis dan konstitusional skema di atas
melukiskan asas normatif: praktek budaya dan moral politik bangsa negara
sebagaimana tersurat dan tersirat dalam UUD Proklamasi (UUD 45). Pengamalan amanat
dimaksud terjabar dalam UUD 45, dan dikembangkan di dalam Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM, dan dilengkapi dengan Undang-Undang No. 39
tahun 1999 tentang HAM. Juga dilengkapi pula dengan Tap MPR RI No.
VI/MPR/2000 tentang Etika Kehidupan Bernegara.
V.
TANTANGAN NASIONAL :
GLOBALISASI-LIBERALISASI DAN, POSTMODERNISME
Dinamika millenium III dan postmodernisme yang paling
dirasakan ialah dinamika globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme yang
menggoda dan melanda bangsa-bangsa, sebagai tantangan aktual dan mendesak
terutama bagi negara-negara berkembang.
Juga memperhatikan runtuhnya negara adidaya Unie Soviet
pasca reformasi glassnost dan perestroika; mereka
(rakyat, warganegaranya) kehilangan kepercayaan kepada integritas dan otoritas
negara Unie Soviet sekaligus ideologi marxisme-komunisme-atheisme ---yang telah
dipraktekkan sejak 17 Oktober 1917, runtuh 1990---. Era reformasi Indonesia,
Mei 1998 hampir satu dasawarsa bangsa dan NKRI hidup dalam krisis
multidimensional yang tak teratasi.
Reformasi yang ditandai dengan sikap elite politisi
memuja kebebasan dan demokrasi atas nama HAM. Fenomena sosial politik dan
ekonomi bangsa nampak terlanda oleh praktek budaya supremasi ideologi
politik liberalisme-kapitalisme ---yang bergerak sebagai “proses supremasi dan
dominasi” ideologi neo-liberalisme yang berwatak:
sekularisme-pragmatisme dan neo-imperialisme!
Secara filosofis-ideologis dan politis bangsa dan negara
RI sesungguhnya telah terbawa a r
u s dan dinamika
globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme; tepatnya tergoda dan terlanda oleh
praktek budaya ideologi neo-liberalisme (perhatikan watak neo-liberalisme
dan neo-PKI dalam skema 3, terlampir).
Tantangan
Globalisasi-Liberalisasi dan Postmodernisme
Menyelamatkan bangsa
dan NKRI dari tantangan demikian (baca: keruntuhan sebagaimana yang dialami
Unie Soviet), maka bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan nasional
dan Ketahanan mental-ideologi Pancasila (sebagai essensi Ketahanan
Nasional). Visi-misi demikian terutama meningkatkan wawasan
nasional dan kepercayaan nasional (kepercayaan diri) dan kebanggaan
nasional agar SDM warga negara kita mampu mewaspadai tantangan : globalisasi-liberalisasi
dan postmodernisme !.
Kemampuan menghadapi
tantangan yang amat mendasar dan akan melanda kehidupan nasional ---
sosial-ekonomi dan politik, bahkan mental dan moral bangsa --- maka benteng
terakhir yang diharapkan mampu bertahan ialah keyakinan nasional atas
kebenaran dan kebaikan (baca: keunggulan) dasar negara Pancasila
baik sebagai filsafat hidup bangsa (Weltanschauung), maupun
sebagai dasar negara (ideologi negara, ideologi nasional). Hanya dengan
keyakinan nasional ini manusia Indonesia tegak-tegar dengan keyakinannya yang benar
dan terpercaya: bahwa sistem filsafat Pancasila sebagai bagian dari
filsafat Timur, mengandung dan memancarkan identitas dan integritas
martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious. Maknanya, sistem
filsafat demikian secara filosofis-ideologis dan konstitusional berfungsi
sebagai asas kerokhanian Indonesia; jiwa dan kepribadian bangsa
(jatidiri nasional); jiwa UUD negara sekaligus sumber dari segala sumber hukum
Indonesia.
Ajaran filsafat
Pancasila terjabar dalam Pembukaan UUD 45 dan Batang Tubuh seutuhnya;
karenanya melaksanakan dasar negara Pancasila terutama dengan dilandasi dan
berpedoman UUD 45 (UUD Proklamasi) kita akan tegak-tegar, bahkan jaya
sentausa............insya Allah dunia dan akhirat.
Bandingkan dengan ajaran filsafat kapitalisme-liberalisme yang beridentitas
individualisme-materialisme-sekularisme-pragmatisme akan hampa spiritual
religius sebagaimana juga identitas ideologi marxisme-komunisme-atheisme!
Kapitalisme-liberalisme memuja kebebasan dan HAM demi kapitalisme
(baca: materi, kekayaan sumber daya alam yang dikuasai neoimperialisme): dalam praktek
politik dan ekonomi liberal!
1.
Watak setiap ajaran filsafat dan
ideologi dengan asas dogmatisme senantiasa merebut supremasi dan dominasi atas
berbagai ajaran filsafat dan ideologi yang dipandangnya sebagai saingan.
Ideologi kapitalisme-liberalisme yang dianut negara-negara Barat sebenarnya
telah merajai kehidupan berbagai bangsa dan negara: politik
kolonialisme-imperialisme. Karena itulah, ketika perang dunia II berakhir 1945,
meskipun mereka meraih kemenangan atas German dan Jepang, namun mereka
kehilangan banyak negara jajahan memproklamasikan kemerdekaan, termasuk
Indonesia. Sejak itulah penganut ideologi kapitalisme-liberalisme menetapkan
strategi politik neo-imperialisme untuk melestarikan penguasaan ekonomi dan
sumber daya alam di negara-negara yang telah mereka tinggalkan (disusun
strategi rekayasa global, 1947).
2.
Melalui berbagai organisasi dunia,
mulai PBB, World Bank dan IMF sampai APEC dipelopori Amerika Serikat mereka
tetap sebagai kesatuan Sekutu dan Unie Eropa dalam perjuangan
merebut supremasi politik dan ekonomi dunia (neo-imperialisme).
3.
Hampir semua negara berkembang
yang kondisi ipteks, industri dan ekonomi amat tergantung kepada negara maju
(G-8) maka melalui bantuan modal pembangunan baik bilateral maupun
multilateral, seperti melalui IMF dan World Bank, termasuk IGGI kemudian CGI
semuanya mengandung strategi politik ekonomi negara Sekutu.
4. Melalui kesepakatan APEC, mereka menyebarkan doktrin ekonomi liberal,
atas nama ekonomi pasar ---tidak boleh ada proteksi demi peningkatan kemampuan
dan kemandirian---. Sementara potensi ekonomi berbagai negara berkembang tanpa
proteksi, tanpa daya saing yang memadai...... semuanya dilumpuhkan dan
ditaklukkan. Tercapailah politik supremasi ekonomi
kapitalisme-liberalisme, neo-imperialisme.
5.
Sejak dimulai perang dingin
(sekitar 1950 – 1985) Sekutu telah menampilkan watak untuk merebut
supremasi ideologi dan dominasi politik internasional. Kondisi perang
dingin yang amat panjang meskipun menguras dana dan biaya perang (angkatan
perang dan persenjataan), namun juga dijadikan media propaganda bahwa otoritas
supremasi ideologi politik dan ekonomi tetap dimiliki Blok Barat. Supremasi
ideologi, politik dan ekonomi ini juga didukung oleh supremasi ipteks
.......sehingga banyak intelektual negara berkembang (baca: negara GNB) yang
belajar ipteks ke negara-negara blok Barat. Ternyata, intelektual hasil didikan
Barat, banyak membawa budaya dan moral ideologi politik neo-liberalisme ---
langsung maupun tak langsung mendorong berkembangnya neo-imperialisme --- di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
6.
Berakhirnya perang dingin,
bukanlah kemenangan Sekutu (USA dan UE) atas ideologi marxisme-komunisme-atheisme;
melainkan sebagai dampak reformasi Unie Soviet dengan gerakan glasnost
dan perestroika yang dipelopori Michael Gorbachew. Keruntuhan
kubu dan benteng blok komunis negara adidaya Unie Soviet, membuktikan bahwa
ajaran marxisme-komunisme-atheisme tidak mampu bertahan dalam abad XXI,
karena bertentangan dengan kerohanian manusia (kepercayaan
theisme-religious); bahkan juga tidak sesuai dengan perkembangan asas
dan teori politik ekonomi modern !
7.
Bandingkan, bagaimana perkembangan
negara Rusia sebagai bangsa yang tidak lagi menerapkan sistem komunisme;
dengan NKRI yang menerapkan neo-liberalisme, neo-kapitalisme … yang dapat
runtuh kedalam cengkeraman neo-imperialisme, dan atau neo-komunisme ---
waspadalah : neo-PKI / KGB sedang bersiap mengomando revolusi sosial, karena
rakyat Indonesia makin tenggelam dalam kemiskinan dan krisis multi-dimensional
yang berkepanjangan !---
Untuk meningkatkan kewaspadaan
nasional, kita terutama elite reformasi wajib merenungkan ---
sebagai audit nasional atas neraca kepemimpinan reformasi ---
dapat dicermati, dihayati bagaimana tantangan mendesak dalam era
reformasi, sebagai terlukis dalam skema berikut.
Skema ini
melukiskan bagaimana NKRI dalam dinamika : tergoda dan terlanda ideologi
dunia : blok Barat dan Timur; yang sinergis dengan tantangan dalam NKRI
INTEGRITAS
NASIONAL DAN NKRI SEBAGAI SISTEM KENEGARAAN PANCASILA
|
(MNS, 2007)
VI.
TANTANGAN NASIONAL (NKRI) DALAM ERA REFORMASI
Praktek dan budaya era reformasi (dalam NKRI) merupakan
budaya neo-liberalisme, yang memuja kebebasan (=liberalisme)
atas nama demokrasi (demokrasi liberal) dan HAM (HAM
individualisme yang bersumber dari ajaran filsafat Hukum Alam / Natural
Law, yang menjiwai dan melandasi ideologi Barat :
liberalisme-kapitalisme). Demikian pula praktek dan budaya ekonomi
liberal yang bersumber dari ajaran kapitalisme (individualisme,
materialisme).
Praktek budaya demikian adalah bukti bahwa
Pemerintahan era reformasi telah tergoda dan terlanda ideologi-neo-liberalisme
dan neo-kapitalisme; sebagai supremasi neo-imperialisme.
Jadi, sesungguhnya bangsa dan NKRI dalam era reformasi bukanlah
menikmati “ keterbukaan dan kebebasan ”, melainkan tenggelam
dibawah otoritas dan supremasi ideologi neo-liberalisme sebagai
neo-imperialisme!
Pemerintahan dan kelembagaan negara era reformasi,
bersama berbagai komponen bangsa berkewajiban meningkatkan kewaspadaan
nasional yang dapat mengancam integritas nasional dan NKRI.
A. Praktek Budaya Neo-Liberalisme dalam Era Reformasi
Tantangan nasional yang mendasar dan mendesak untuk
dihadapi dan dipikirkan alternatif pemecahannya, terutama:
1.
Amandemen UUD 45 yang sarat mengandung kontroversial; baik filosofis-ideolofis bukan
sebagai jabaran dasar negara Pancasila, juga secara konstitusional
amandemen mengandung sarat kontroversial dan konflik kelembagaan. Berdasarkan
analisis demikian berbagai kebijaksanaan negara dan strategi nasional, dan
sudah tentu program nasional mengalami distorsi nilai ---dari ajaran
filsafat Pancasila, menjadi praktek budaya kapitalisme-liberalisme dan
neo-liberalisme--- terutama demokrasi liberal dan ekonomi liberal.
2.
Rakyat Indonesia mengalami degradasi wawasan nasional ---bahkan juga degradasi
kepercayaan atas keunggulan dasar negara Pancasila, sebagai sistem
ideologi nasional---. Karenanya, elite reformasi mulai pusat sampai daerah mempraktekkan
budaya kapitalisme-liberalisme dan neo-liberalisme (praktek demokrasi
liberal, multi partai dengan praktek sistem parlementer; bahkan juga budaya
negara federal; dan ekonomi liberal). Jadi, rakyat dan bangsa
Indonesia mengalami erosi jatidiri nasional dan ideologi nasional !
3.
Elite reformasi dan
kepemimpinan nasional, hanya mempraktekkan budaya demokrasi
liberal atas nama HAM; yang aktual dalam tatanan dan fungsi
pemerintahan negara (suprastruktur dan infrastruktur sosial
politik) berwujud : praktek budaya oligarchy, plutocrachy.......bahkan
sebagian rakyat mengembangkan budaya anarchisme !--- terutama
dalam berbagai Pilkada yang bermuara konflik horisontal ---.
4.
Otonomi daerah sekarang cenderung
mempraktekkan budaya negara federal; mulai otoritas Pemda yang makin liberal,
sampai penguasaan kekayaan daerah (PAD) yang cenderung bersifat kapitalisme.
Artinya, hak-hak rakyat warganegara di daerah itu terlupakan --- kekayaan
daerah hanya dinikmati oleh elite Pemda --- bersama elite partai.
Praktek Otoda yang cenderung mengejar
peningkatan PAD, namun bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan lebih untuk
kepentingan elite dan pejabat. Praktek otoda cenderung menjadi budaya negara
federal, mungkin lebih federal dari sistem di Negara aselinya. Perhatikan
syarat calon : putera daerah aseli, PNS lokal sulit pindah antar
kabupaten/kota.
5.
Pelaksanaan Pilkada
Pilkada
sebagai praktek demokrasi liberal, juga menghasilkan otoda dalam budaya
politik federalisme, dilaksanakan: dengan biaya amat mahal + social
cost juga mahal, dilengkapi dengan konflik horisontal sampai anarchisme.
Pilkada dengan praktek demokrasi liberal, menghasilkan budaya demokrasi semu (demokrasi palsu). Bagaimana tidak semu ;
bila peserta pilkada 3 – 5 paket calon; terpilih dengan jumlah suara
sekitar 40%, 35%, 25%. Biasanya, yang terbanyak 40% ini dianggap terpilih sebagai mayoritas. Padahal norma mayoritas di negara demokrasi
umumnya dengan norma 51%. (Pilkada menetapkan norma = 31 %! )
Sebaliknya,
bila diadakan putaran kedua, akan
sangat mahal !. Inilah demokrasi liberal
yang lebih liberal dari yang berlaku di negara asalnya
Negara
demokrasi modern ditegakkan dengan asas : Majority ruler, minority
rights dalam makna : Mayoritas memerintah, dengan kewajiban
mengayomi minoritas !.
Bandingkan bagaimana : Kehidupan multi partai dalam NKRI
Sudah
amat banyak partai politik supaya rakyat rukun bersatu, masih terjadi konflik
internal. Bila parpol kita hargai sebagai upaya persatuan dan kesatuan warga
masyarakat; atas nama demokrasi dan HAM kita juga menghargai hak individu
atas nama golongan independen untuk tampil dalam pemilu ? Apakah ini
budaya individualisme ?
6.
NKRI sebagai negara hukum,
dalam praktek justru menjadi negara yang tidak menegakkan kebenaran dan
keadilan berdasarkan Pancasila – UUD 45. Praktek dan “budaya” korupsi makin
menggunung, mulai tingkat pusat sampai di berbagai daerah: Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Kekayaan negara dan kekayaan PAD bukan dimanfaatkan demi
kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat, melainkan dinikmati oleh elite
reformasi. Demikian pula NKRI sebagai negara hukum, keadilan dan
supremasi hukum; termasuk HAM belum dapat ditegakkan sebagaimana harapan
kita semua !.
7.
Ekonomi nasional dalam NKRI
menerapkan ekonomi liberal, sebagaimana terbukti dalam praktek budaya
ekonomi era reformasi. Perlu direnungkan bagaimana dampak ekonomi liberal
yang dilaksanakan dengan Perpres No. 76 dan 77 th. 2007 tentang PMDN dan PMA
yang Terbuka dan Tertutup; yang bermuara neo-imperialisme!
(silahkan cermati dan hayati !)
8.
Tokoh-tokoh nasional, baik dari infrastruktur (orsospol), maupun dalam suprastruktur
(lembaga legislatif dan eksekutif) hanya berkompetisi untuk merebut jabatan dan
kepemimpinan yang menjanjikan (melalui pemilu dan pilkada). Berbagai rekayasa
sosial politik diciptakan, mulai pemekaran daerah sampai usul
amandemen UUD 45 tahap V, sekedar untuk mendapatkan legalitas dan otoritas
kepemimpinan demi kekuasaan. Sementara kondisi nasional rakyat Indonesia,
dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang tetap menggunung
belum ada konsepsi alternatif strategis pemecahannya; dilengkapi dengan krisis
BBM dan tenaga listrik. Kondisi demikian dapat melahirkan konflik
horisontal dan vertikal, bahkan anarchisme sebagai fenomena
sosio-ekonomi-psikologis rakyat dalam wujud stress massal.
9.
Pemujaan demokrasi liberal atas
nama kebebasan dan HAM telah mendorong bangkitnya primordialisme kesukuan dan
kedaerahan. Mulai praktek otoda dengan budaya negara federal sampai
semangat separatisme. Fenomena ini membuktikan degradasi nasional
telah makin parah dan mengancam integritas mental ideologi Pancasila,
integritas nasional dan integritas NKRI.
10. Pemujaan kebebasan (neo-liberalisme) atas nama demokrasi dan HAM juga
telah membangkitkan partai terlarang PKI. Mulai gerakan “pelurusan sejarah”
---terutama G.30S/PKI--- sampai bangkitnya neo-PKI sebagai KGB
melalui PRD dan Papernas. Mereka semua melangkahi (baca: melecehkan Pancasila –
UUD 45) dan rambu-rambu (= asas-asas konstitusional) yang telah berlaku sejak
1966, terutama :
a.
Bahwa filsafat dan ideologi
Pancasila memancarkan integritas sebagai sistem
filsafat dan ideologi theisme-religius. Artinya, warga negara RI senantiasa
menegakkan moral dan budaya politik yang adil dan beradab yang dijiwai moral
Pancasila yang menghadapi separatisme ideologi:
marxisme-komunisme-atheisme.
b.
UUD Proklamasi seutuhnya memancarkan nilai dasar negara Pancasila :
dalam Pembukaan, Batang Tubuh (hayati: Pasal 29) dan Penjelasan UUD
45.
c.
Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan
dikukuhkan Tap MPR RI No. I/MPR/2003 Pasal 2 dan Pasal
4.
d.
Tap MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa; dan
e.
Undang Undang No. 27 tahun 1999 tentang Keamanan Negara ( yang direvisi, terutama Pasal 107 a – 107
f ).
(Perhatikan : Tantangan ideologis
dan politik dalam skema 4 ).
Bila NKRI sebagai negara Pancasila dan negara
hukum membiarkan/tidak menindak gerakan separatisme ideologi
dari kaum marxisme-komunisme-atheisme (neo-PKI, KGB, PRD, Papernas)
berarti:
a. Membiarkan
identitas dan integritas sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45
dilecehkan; dan atau dilangkahi yang bermuara : diruntuhkan..........!
b. Membiarkan
berbagai komponen rakyat bangkit membendung mereka; seperti: HMI, FPI, PMII dan
berbagai organisasi keagamaan..... bermakna negara memberi kebebasan konflik
horisontal dan anarchisme dalam NKRI !
Mutlak diperlukan kebijaksanaan negara dan strategi nasional menghadapi
tantangan dimaksud, terutama dengan :
B. Kebijaksanaan Negara, Strategi dan Program
Nasional
Memperhatikan tantangan dimaksud dan
multi krisis nasional maka dipandang mendesak untuk menetapkan kebijaksanaan
negara ---oleh kelembagaan negara yang berwenang : MPR – Presiden – DPR –
DPD – MA dan MK--- secara sinergis dan mufakat; dan fungsional.
1. Kebijaksanaan negara dimaksud,
terutama memprioritaskan:
a.
Menegakkan budaya dan moral
politik nasional berdasarkan filsafat dan ideologi negara Pancasila sebagaimana
diamanatkan UUD Proklamasi 45.
b.
Menegakkan integritas
kepemimpinan nasional demi integritas nasional supaya
semua komponen bangsa, rakyat seutuhnya senantiasa rukun bersatu.
c.
Melaksanakan pendidikan dan pembudayaan
dasar negara Pancasila secara melembaga.
d.
Membudayakan Asas-Asas Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional.
e.
Menegakkan dan membudayakan Sistem Hankamnas sebagai Sistem Hankamrata
(sebagai konsekuensi sistem negara berkedaulatan rakyat / negara demokrasi).
2. Strategi
Nasional dan Program Nasional
Mendesak adanya strategi nasional
dan program nasional untuk pendidikan dan pembudayaan dasar negara Pancasila
sebagai ideologi nasional. Strategi nasional yang diprioritaskan, terutama:
a.
Mengembangkan sistem nasional
(sebagai dimaksud skema 2, terlampir).
b.
Mengembangkan budaya dan moral
politik berdasarkan filsafat Pancasila, ideologi Pancasila dan UUD Proklamasi.
c.
Membina kelembagaan pengembangan
dan pembudayaan : Filsafat Pancasila sebagai ideologi nasional
(lintas departemen dan lembaga negara), dengan mendayagunakan lembaga-lembaga
perguruan tinggi (PTN-PTS), termasuk Menkominfo berkewajiban untuk
membudayakannya melalui media teknologi yang dimilikinya !.
Supaya
pemikiran mendasar ini cukup kaya, valid dan terpercaya maka diperlukan
kelembagaan yang lebih representatif, dibawah otoritas kelembagaan
negara. Alternatif kelembagaan dimaksud merupakan sinergis antar dan lintas
(kelembagaan) departemental dan nondepartemental; terutama:
Mendiknas;
Mendagri; Menag; Wantannas; LIPI; Lemhannas; Meneg Pemuda dan Olah Raga
(Menpora); dan Meneg Komunikasi dan Informasi (Menkominfo untuk melaksanakan
sosialisasi, pembudayaan) secara nasional; serta didukung berbagai potensi
dalam komponen-komponen kelembagaan keagamaan: MUI, DGI, MAWI dan sebagainya.
Catatan:
Kelembagaan demikian untuk menghindarkan
pendapat atas pengalaman sejarah adanya BP-7 dan Team P-7 --yang dianggap di
bawah otoritas tunggal Presiden---. Mengingat visi-misi PNP adalah bertujuan
luhur demi nation and character building, seyogyanya thema
makalah ini dapat dipertimbangkan untuk menjadi gagasan awal langkah
strategis PNP secara nasional.
VII.
POKOK-POKOK PIKIRAN
Berdasarkan uraian ringkas yang terkandung
dalam thema dan sub-thema dalam makalah ini, diharapkan beberapa pokok pikiran
berikut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi tantangan yang
makin meningkat, baik internasional (global, eksternal) maupun nasional
(internal).
Adanya keyakinan bangsa atas keunggulan
sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45 menjamin bangsa untuk menegakkan
kepemimpinan nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dengan asas
budaya dan moral luhur sebagaimana diamanatkan pendiri negara (PPKI) dalam UUD
Proklamasi seutuhnya.
Pokok-pokok pikiran berikut mendorong
kepemimpinan nasional, kelembagaan negara maupun komponen bangsa; termasuk
berbagai partai politik dan elite reformasi untuk merenungkan (refleksi) demi
masa depan bangsa dan NKRI, serta generasi muda bangsa sebagai potensi dan
generasi penerus.
1.
Keunggulan sistem filsafat
Pancasila sebagai ideologi nasional secara fundamental
terpancar dalam integritas martabatnya sebagai sistem filsafat
theisme-religius. Artinya, sistem ideologi Pancasila menjamin
integritas moral SDM dan kepemimpinan nasional untuk ditegakkan dalam moral dan
budaya sosial politik dan ekonomi dalam NKRI.
2.
Dasar negara Pancasila terjabar dalam UUD 45 seutuhnya secara valid dan orisinal berkat dirumuskan
oleh PPKI dengan jiwa pengabdian, dan kearifan kenegarawanan yang tulus
---tanpa interest dan kepentingan golongan; bahkan dari mayoritas atas
minoritas---; bukan sebagai yang kita saksikan dalam praktek budaya politik era
reformasi.
Keabsahan (validitas)
nilai mendasar ini menjadi landasan dan pedoman kelembagaan dan
kepemimpinan penyelenggaraan pemerintahan dalam NKRI dengan menegakkan
budaya dan moral politik Pancasila-UUD Proklamasi 45.
3.
UUD Proklamasi (Pembukaan-Batang Tubuh-Penjelasan) adalah perwujudan dan
pedoman sistem kenegaraan yang unggul
terpercaya; sebagai negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara
hukum dalam integritas NKRI sebagai nation state yang
ditegakkan dengan asas wawasan nasional, wawasan nusantara
dan asas kekeluargaan. Asas fundamental ini menjadi landasan
konstitusional membangun bangsa dalam NKRI yang adil dan sejahtera.
4.
Integritas nilai dasar negara
Pancasila sebagai filsafat hidup, dasar negara dan ideologi nasional secara
konstitusional menjamin masa depan bangsa dalam
dinamika dan kompetisi antar ideologi yang berjuang merebut supremasi. Artinya,
bagaimanapun gejolak dunia postmodernisme (cermati isi nilai dalam skema 4),
insya Allah bangsa dan NKRI tegak dalam integritas sebagai kenegaraan
Pancasila. Untuk tujuan ini negara berkewajiban melaksanakan visi-misi
nation and character building melalui pendidikan dan pembudayaan dasar
negara Pancasila (secara melembaga dan lintas lembaga).
5.
Kondisi reformasi dan amandemen
UUD 45 (= UUD 2002) secara fundamental
dan konstitusional cukup mengandung distorsi filosofis-ideologis dan
konstitusional. Karenanya, berdampak langsung terhadap proses degradasi wawasan
nasional, sosial politik dan ekonomi bangsa nampak dalam kondisi konflik,
kemiskinan dan pengangguran; pendidikan biaya tinggi dan praktek anarchisme
Kondisi demikian bermuara kepada disintegrasi nasional dan NKRI.... yang pada
gilirannya tercengkeram oleh neo-imperialisme!
6.
Reformasi yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM mengancam
integritas nasional dan integritas NKRI; bahkan integritas mental dan moral SDM
Indonesia, mulai pemimpin sampai generasi penerus. Praktek demikian dapat
melahirkan tragedi nasional, tragedi moral dan peradaban!
7.
Kebebasan atas nama HAM dengan praktek demokrasi liberal melanda budaya, sosial ekonomi
nasional termasuk dunia dan lembaga kependidikan nasional. Momentum
kebebasan (neo-liberalisme) cukup dimanfaatkan untuk kebangkitan neo-PKI/KGB
untuk memperjuangkan ideologi marxisme-komunisme-atheisme sebagai
wujud separatisme ideologi. Proses degradasi mental dan moral
demikian dapat meruntuhkan moral dan martabat manusia Indonesia dan
integritas sistem kenegaraan Pancasila.
8.
Demokrasi yang dilaksanakan budaya
era reformasi adalah demokrasi liberal ; meliputi :
a.
Praktek otoda menjadi budaya
negara federal;
b.
Praktek demokrasi liberal melalui Pilkada,
sangat menguras tenaga dan dana nasional; sedangkan hasilnya hanyalah demokrasi
semu (= demokrasi palsu). Karena, dengan calon yang dipilih 3 paket saja,
tidak mungkin terpilih pemimpin berdasarkan suara terbanyak (dengan
standar norma demokrasi = mayoritas 51 %). Praktek Pilkada dengan
data, misalnya : paket 1 = 40 %; paket 2 = 35 %; dan paket 3 = 25 %. Maka,
paket terpilih dengan sah = paket 1. Padahal, 40 % ini dibawah kategori
standar mayoritas dalam demokrasi yang berlaku diseluruh dunia !.
c.
Praktek ini sungguh tragis; dengan
biaya mahal, yang didapatkan pemimpin dengan dukungan bukan oleh
mayoritas yang sah (valid).
d.
Bila ada 5 paket calon,
angka-angkanya lebih di bawah contoh b diatas. Kalau diulang dengan putaran
kedua, dana dan tenaga sangat mahal !
e.
Belum lagi budaya yang tidak
demokratis; yang kalah dengan berbagai alasan menolak hasil Pilkada.
Terjadilah konflik horisontal, sampai anarchisme ...... bermuara disintegrasi
bangsa (tidak rukun, persatuan nasional runtuh !).
Jadi, akibat praktek budaya demokrasi
palsu, rakyat kita menjadi kehilangan kesadaran kerukunan dan kesadaran
nasional !
9.
Sebagai bangsa kita berkewajiban
menggalang kesadaran nasional (nasionalisme, wawasan nasional)
sebagai Kebangkitan Nasional II (100 tahun ke-2, awal millenium III) dengan membendung degradasi nasional
sebagai landasan kerukunan nasional dan Ketahanan Nasional. Demi
visi-misi yang diamanatkan Dasar Negara Pancasila dan UUD Proklamasi 45,
maka Sistem Pendidikan Nasional berkewajiban melaksanakan Pendidikan dan
Pembudayaan nilai Dasar Negara Pancasila, khususnya melalui PPKN dan Pendidikan
Pancasila di Perguruan Tinggi.
10.
Kebijaksanaan negara untuk pemberdayaan rakyat, istimewa anak Indonesia sebagai
SDM masa depan melalui sistem pendidikan nasional yang memberdayakan
rakyat warganegara, dengan meningkatkan mutu, metode dan sistem ujian;
termasuk biaya murah bagi rakyat, sebagai wujud keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Pemberdayaan ekonomi rakyat dengan modal kredit kecil bagi UMKM sebagai pemberdayaan
ekonomi nasional! tegasnya, b u k a n dengan memberikan BLT yang
konsumtif; dan bernuansa politis --- memberi pangan, bukan pancing ---.
Pemerintah wajib meningkatkan keadilan, dengan melaksanakan visi-misi KPK
dengan prioritas pemberantasan korupsi dan penuntasan masalah BLBI dan
kredit macet (yang mencapai Rp. 2500 T).
Bagaimana tantangan dan ancaman ini
dihadapi oleh Pemerintah bersama Lembaga Tinggi Negara, terutama MPR RI dalam
menegakkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan UU RI No. 27 tahun 1999 tentang
Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara (yang direvisi, terutama pasal 107a – 107f)
Semoga
bangsa dan NKRI berdasarkan Pancasila – UUD 45 senantiasa dalam pengayoman
Tuhan Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Kuasa, Yang menganugerahkan dan
mengamanatkan kemerdekaan nasional dalam integritas NKRI. Amien.
Malang,
20 Juli 2008
Laboratorium
Pancasila
Universitas Negeri Malang
(UM)
Ketua
Prof.
Dr. Mohammad Noor Syam, SH
B A C A A N
Al-Ahwani,
Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan pustaka firdaus).
Ary
Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi
dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi
XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________________
2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II),
Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the
History of Philosophy, New York, Barnas & Noble, Inc.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas
National Standards For Civics and Government, Calabasas, California,
U.S Departement of Education.
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar
Pancasila, cetakan ke-4, Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of
Law and State, New York, Russell & Russell
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence
(second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat
Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi
edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.
------------------ 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia
(Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II,
Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction
to Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine
Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, Zurich/Koln
Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara,
Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy
Eastern and Western, London, George Allen and Unwind Ltd.
UNO 1988: HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights,
New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966; 2001, 2003)
Wilk, Kurt (editor) 1950: The
Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard
College, University Press.
B. Integritas
Sistem Kenegaraan Pancasila – UUD Proklamasi
Dalam analisis kajian
normatif-filosofis-ideologis, dan konstitusional dan kritis
atas UUD 45 (amandemen) dan dampaknya dalam hukum ketatanegaraan RI,
dapat diuraikan landasan pemikiran
berikut:
1. Baik menurut teori umum hukum ketatanegaraan
dari Nawiasky, maupun Hans Kelsen dan Notonagoro diakui kedudukan dan fungsi kaidah
negara yang fundamental yang bersifat tetap; sekaligus
sebagai norma tertinggi, sumber dari segala sumber hukum dalam negara.
Karenanya, kaidah ini tidak dapat diubah, oleh siapapun dan
lembaga apapun, karena kaidah ini ditetapkan hanya sekali
oleh pendiri negara (Nawiasky1948: 31 – 52; Kelsen 1973: 127 –
135; 155 – 162; Notonagoro 1984: 57 – 70; 175 – 230; Soejadi 1999: 59 – 81).
2. Dengan mengakui kedudukan dan fungsi kaidah
negara yang fundamental, dan bagi negara Proklamasi 17 Agustus 1945 (baca:
NKRI) ialah berwujud: Pembukaan UUD Proklamasi 1945. Maknanya,
PPKI sebagai pendiri negara mengakui dan mengamanatkan bahwa atas nama
bangsa Indonesia kita menegakkan sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45.
Asas demikian terpancar dalam nilai-niai fundamental yang terkandung di dalam Pembukaan
UUD 45 sebagai kaidah filosofis-ideologis Pancasila seutuhnya.
Karenanya dengan jalan apapun, oleh lembaga apapun tidak dapat diubah. Karena Pembukaan
ditetapkan hanya 1 x oleh pendiri negara (the founding fathers,
PPKI) yang memiliki legalitas dan otoritas pertama dan tertinggi (sebagai
penyusun yang mengesahkan UUD negara dan lembaga-lembaga negara). Artinya,
mengubah Pembukaan dan atau dasar negara berarti mengubah negara; berarti pula
mengubah atau membubarkan negara Proklamasi (membentuk negara baru; mengkhianati negara Proklamasi 17 Agustus
1945).
3. Penghayatan kita diperjelas oleh amanat
pendiri negara di dalam Penjelasan UUD 45; terutama melalui
uraian: keempat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 45 (sebagai asas kerokhanian
negara dan Weltanschauung bangsa)
terutama:
"4. Pokok
pikiran yang keempat yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemnusiaan yang adil dan
beradab.
Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar
harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara
negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur.
III. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi
suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok
pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar
negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak
tertulis.
Undang-Undang
Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya."
Jadi, kedudukan Pembukaan
UUD 45 berfungsi sebagai perwujudan dasar negara Pancasila;
karenanya memiliki supremasi dan integritas filosofis-ideologis secara
konstitusional (terjabar dalam Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 45).
Sistem
kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan
mewujudkan asas normatif
filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah
fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam
kelembagaan negara bangsa (nation state).
Tujuan Pendidikan dan Pembudayaan Nilai Dasar Negara
Pancasila terpadu dengan penghayatan UUD Proklamasi 45,
adalah keniscayaan bagi pembinaan bangsa dan watak bangsa (Nation
and character building). Demi tegak-lestarinya NKRI sebagai sistem
kenegaraan Pancasila UUD-Proklamasi, maka tiap warganegara sebagai
subyek bhayangkari NKRI wajib menghayati, mengamalkan dan membudayakannya
sebagai wujud kesetiaan dan kebanggaan nasional. Dalam budaya bangsa negara
beradab dan bermartabat, proses demikian, generasi-demi-generasi (proses
regenerasi bangsa) --- melalui Pendidikan dan Pembudayaan Nilai Dasar Negara
Pancasila --- bersifat imperatif.
VIII.
SISTEM FILSAFAT DAN SISTEM KENEGARAAN
Setiap bangsa dan negara menegakkan sistem kenegaraannya
berdasarkan sistem filsafat dan atau ideologi nasionalnya; nilai
fundamental ini menjiwai, melandasi dan memandu tatanan dan fungsi
kebangsaan, kenegaraan dan kebudayaan, yang secara umum diakui sebagai Weltanschauung!
Nilai fundamental ini merupakan perwujudan jiwa dan kepribadian bangsa (Volksgeist)
sekaligus sebagai asas kerohanian bangsa dan jiwa konstitusi negara,
sebagai terjabar dalam UUD Negara (UUD Proklamasi 1945).
Sistem filsafat terutama mengajarkan bagaimana kedudukan,
potensi dan martabat kepribadian manusia di
dalam alam; khususnya dalam masyarakat dan negara. Karenanya, ajaran ini
melahirkan teori hak asasi manusia (HAM) dan teori kekuasaan (kedaulatan)
dalam negara; termasuk sistem ketatanegaraan dan sistem
negara hukum.
Jadi, sistem kedaulatan maupun sistem
negara hukum adalah ajaran filsafat yang bertujuan menjamin HAM
dalam budaya dan peradaban, istimewa dalam sistem kenegaraan. Tegasnya, sistem
ideologi nasional ditegakkan dan dikembangkan dalam sistem kenegaraan,
melalui N-Sistem Nasional.
Sistem kenegaraan Pancasila sebagai terjabar dalam UUD
Proklamasi 45 secara intrinsik filosofis-ideologis dan konstitusional
sesuai dengan nilai-nilai filsafat Pancasila (dasar negara, ideologi
negara, ideologi nasional); karenanya tidak dapat diubah oleh lembaga
apapun, sebagaimana dimaksud dalam uraian bagian I B diatas.
A. Ajaran Sistem Filsafat tentang
Kedudukan dan Martabat Manusia
Sejarah HAM membuktikan bahwa sepanjang peradaban
senantiasa dalam tantangan: Mesir purbakala, Cina, Yunani. . . sampai kolonialisme-imperialisme di Asia
dan Afrika baru runtuh pertengahan abad XX.
Nilai demokrasi sebagai suatu teori kedaulatan, atau
sistem politik (kenegaraan) diakui sebagai teori yang unggul, karena mengakui
kedudukan, hak asasi, peran (fungsi), bahkan juga martabat (pribadi, individu)
manusia di dalam masyarakat, negara dan hukum.
Secara universal
diakui kedudukan dan martabat manusia sebagai dinyatakan, antara lain: “. . .
these values be democratically shared in a world-wide order, resting on respect
for human dignity as a supervalue . . .” (Bodenheimer 1962: 143). Sebagaimana
juga Kant menyatakan: “. . .that humanity should always be respected as an end
it self (Mc Coubrey & White 1996: 84)
Pemikiran mendasar
tentang jatidiri bangsa, peranannya dalam memberikan identitas sistem
kenegaraan dan sistem hukum, dikemukakan juga oleh Carl von Savigny (1779 -
1861) dengan teorinya yang amat terkenal sebagai Volksgeist ---yang dapat
disamakan sebagai jiwa bangsa dan atau jatidiri nasional---. Demikian pula di
Perancis dengan "teori 'raison d' etat' (reason of state)
yang menentukan eksistensi suatu bangsa dan negara (the rise of souvereign,
independent, and nationa state)". (Bodenheimer 1962: 71-72)
Demikianlah budaya dan
peradaban modern mengakui dan menjamin kedudukan manusia dalam konsepsi HAM
sehingga ditegakkan sebagai negara demokrasi, sebagaimana tersirat dalam pernyataan:
“. . . fundamental rights and freedom as highest value as legal.” (Bodenheimer
1962: 149) sebagaimana juga diakui oleh Murphy & Coleman: “. . . respect
to central human values . . .” (1996: 22; 37).
B. Ajaran Sistem Filsafat
Pancasila dan Sistem Kenegaraan RI
Filsafat Pancasila cukup memberikan kedudukan yang tinggi
dan mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sila I dan II); karenanya ajaran
HAM berdasarkan Pancasila mengutamakan asas normatif theisme-religious:
Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita
juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan
mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya ---sebagai terpancar dari
akal-budinuraninya--- sebagai subyek budaya (termasuk subyek
hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2000: 147-160)
Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan
manusia (termasuk wawasan nasional) atas martabat
manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan;
sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat
dan negara
hukum. Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan sistem
kenegaraan RI berdasarkan Pancasila – UUD 45. Karenanya, menjadi amanat
nasional, konstitusional, kultural dan moral bagi semua generasi bangsa
Indonesia !
Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas
theisme-religious sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat
Timur umumnya --- karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas
kepribadian manusia---.
(Cermati
keunggulan dan integritas NKRI sebagai diuraikan dalam I. B dan II. B).
Berdasarkan berbagai
pandangan filosofis di atas, wajarlah kita bangga dengan filsafat Pancasila
yang mengakui asas keseimbangan HAM dan KAM, sekaligus mengakui kepribadian
manusia sebagai subyek budaya, subyek hukum dan subyek moral.
Secara normatif filosofis ideologis, negara
RI berdasarkan Pancasila – UUD 45 mengakui kedudukan dan martabat manusia
sebagai asas HAM berdasarkan Pancasila yang menegakkan asas
keseimbangan hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban asasi manusia (KAM)
dalam integritas nasional dan universal.
Sebagai integritas
nasional bersumber dari sila III, ditegakkan dalam asas Persatuan Indonesia (=
wawasan nasional) dan dijabarkan secara konstitusional sebagai negara
kesatuan (NKRI dan wawasan nusantara). Bandingkan
dengan fundamental values dalam negara USA sebagai terumus dalam CCE
1994: 24-25; 53-55, terutama: "Declaration of independence, Human Rights,
E Pluribus Unum, the American political
system, market economy and federalism."
NKRI berdasarkan Pancasila - UUD 45 memiliki
integritas-kualitas keunggulan normatif filosofis-ideologis dan konstitusional:
asas theisme-religious dan UUD Proklamasi menjamin integritas budaya dan moral politik
yang bermartabat.
Bagi bangsa Indonesia, kita bersyukur menegakkan NKRI
sebagai sistem kenegaraan Pancasila (dasar negara Pancasila, sebagai
ideologi negara) sebagaimana terjabar dalam UUD Proklamasi 45.
Tantangan bagi bangsa Indonesia, mampukah menegakkan
ajaran Pancasila, mulai HAM berdasarkan filsafat Pancasila, demokrasi
(berdasarkan Pancasila) dan sosial ekonomi berdasarkan Pancasila dalam globalisasi-liberalisasi
dan postmoderenisme yang makin dikendalikan oleh politik supremasi neoimperialisme
!
Kepustakaan
filsafat hukum dan teori negara mengakui adanya teori
kedaulatan secara filosofis-ideologis tentang teori negara termasuk
teori kekuasaan (teori kedaulatan) yang menjadi dasar teori
kenegaraan, meliputi : Faham theokratisme : klassik dan modern; ajaran
kedaulatan raja; faham teori perjanjian, disebut teori kedaulatan
rakyat atau teori hukum alam; faham kedaulatan negara; dan teori
kedaulatan hukum (reine Rechtslehre). (MNS, 2007 : 123-125).
Thema
pembahasan kita secara ringkas bagaimana kewajiban bangsa melaksanakan
pendidikan dan pembudayaan asas kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam NKRI
berdasarkan wawasan filosofis-ideologis dan konstitusional). Artinya, bangsa
Indonesia berkewajiban menegakkan sistem kedaulatan rakyat atau demokrasi
--- termasuk melalui pemilu --- berdasarkan budaya, filsafat, ideologi
dan moral dasar negara Indonesia. Karena itulah, pra-reformasi kita
mempraktekkan demokrasi (berdasarkan) Pancasila. (dalam era reformasi,
kita mempraktekkan budaya demokrasi liberal).
IX.
SISTEM KENEGARAAN PANCASILA-UUD 45 DAN PEMBUDAYAANNYA
Sesungguhnya secara filosofis-ideologis-konstitusional
bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan dalam tatanan
negara Proklamasi, sebagai NKRI berdasarkan Pancasila-UUD 45, dengan asas
dan identitas fundamental, adalah fungsional sebagai asas
kerokhanian-normatif-filosofis-ideologis dalam UUD 45. Artinya, dasar
negara Pancasila (filsafat Pancasila) ditegakkan dan dikembangkan sebagai sistem
ideologi negara (ideologi nasional). Secara kelembagaan negara,
ditegakkan sebagai sistem kenegaraan (in casu: sistem kenegaraan Pancasila;
analog dengan: sistem negara kapitalisme-liberalisme; dan sosialisme, atau
marxisme-komunisme).
Demi integritas sistem kenegaraan
Pancasila sebagai diamanatkan UUD Proklamasi 45, maka secara imperatif
(mutlak, mengikat dan memaksa) Pemerintah bersama semua komponen bangsa
berkewajiban untuk menegakkan dan membudayakannya; dalam makna
menegakkan: N-Sistem Nasional.