PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN (PENDIDIKAN DEMOKRASI) DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Menurut Malik Fadjar dan
pendidikan
kewarganegaraan (civic education) saat ini menyoroti khusus soal
demokrasi dan hak asasi. Penyajiannya pun tidak berbentuk
indoktrinasi.”Melalui forum diharapkan tersaji format
pendidikan
kewarganegaraan yang baik,” ujarnya. Mendiknas menyebutkan, kesiapan
masyarakat harus dimulai, dan terutama dari kalangan akademisi yang
diharapkan bisa turut terlibat memberi masukan.
Dalam pandangannya, ”mind-set” masyarakat Indonesia harus diubah dari
yang semula menganut budaya minta petunjuk dan minta penjelasan.
Meskipun, diakuinya, perubahan mind-set tersebut tidak bisa dalam waktu
sebentar. ”Butuh lima sampai 10 tahun lagi, baru bisa mengubah mind-set
kerangka budaya bangsa Indonesia,” ujarnya.
Dipaparkan Mendiknas, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, civic
education mulai berkembang. Lalu memasuki era Orde Baru memasuki era
seperti
Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P-4).”Suka atau tidak suka, selama 30 tahun itu berhasil terbentuk
manusia Indonesia. Selama masa itu, suasananya memang monolitik dan
uniform,” katanya.
Dalam era reformasi sekarang, sasarannya terbentuk masyarakat madani
(civil society), serta menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka.
”Pancasila itu merupakan komitmen, kontrak politik. Sehingga, jangan
diperas lagi seperti waktu lalu ada Trisila dan Ekasila,” jelasnya.
Mendiknas berpendapat, kelemahan bangsa Indonesia adalah dalam hal
”maintenance and inovative learning”. ”Ini kelemahan kita, tidak perlu
khawatir kalau ada perbedaan, asalkan tetap memegang prinsip dasar,”
katanya seraya mencontohkan, komitmen yang terkandung dalam Mukadimah
UUD 1945.
Senada dengan Malik Fadjar, pengamat politik UI, Maswadi Rauf menilai,
dalam soal pendidikan kewarganegaraan ini, pemerintah sebaiknya hanya
memberi guideline (garis besar), sedangkan mengenai isi pendidikan
kewarganegaraan tersebut diserahkan kepada masyarakat (swasta).
Dalam penilaiannya, pendidikan kewarganegaraan selama ini telah
diselewengkan, diangap sebagai alat penguasa untuk penanaman nilai-nilai
yang dianut penguasa.
”Ini tentunya harus ditinggalkan, seiring pemberlakuan otonomi daerah
dan otonomi kampus,” katanya. Tujuan pentingnya dalam terbentuknya warga
negara yang baik, namun selama ini belum dihayati benar.
Maswadi menegaskan, untuk soal ini jangan ditekankan pada kurikulum
pendidikan, maksudnya guna menghindari kemungkinan indoktrinasi
terselubung. Caranya, melalui kebebasan pers dan pelaksanaan diskursus
publik.
”Kalau soal pendidikan kewarganegaraan ini diserahkan pada masyarakat
memang akan terlalu bebas, akan terjadi berbagai pandangan. Karenanya,
perlu wacana publik berupa public discourse itu,” jelasnya.
Penanaman nilainya melalui pendidikan kewarganegaraan, jelasnya, antara
lain berupa sikap toleran, sikap patuh pada hukum, dan menyadari hak dan
kewajiban. ”Intinya terjadi penanaman budaya demokrasi di masyarakat,
dan tentunya ini lebih luas dibandingkan hanya di sekolah,” ujarnya.
Selain Depdiknas, ujar Maswadi, Kantor Menteri Negara Informasi dan
Komunikasi (Inkom) mempunyai peranan besar dalam peningkatan pendidikan
kewarganegaraan
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Menyadari betapa pentingnya pendidikan demokrasi dalam pembangunan
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, Center for Indonesian Civic
Education (CICED) bekerjasama dengan USIS Jakarta, Balitbang Dikbud, dan
IKIP Bandung pada tanggal 16-17 Maret 1999, telah mengadakan
“Conference on Civic Education for Civil Society” dengan mengambil tema
“Democratic Citizens in a Civil Society: Building Rationales for the
21st Century’s Civic Education”. Khusus mengenai konsep dan strategi
pendidikan demokrasi dirumuskan kesimpulan bahwa secara konseptual
pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis diterima sebagai dasar
pertimbangan utama bagi pendidikan di Indonesia. Ikhtiar kependidikan
ini pada dasarnya harus ditujukan untuk mengembangan kecerdasan
spiritual, rasional, emosional, dan sosial warganegara baik sebagai
aktor sosial maupun sebagai pemimpin/khalifah pada hari ini dan hari
esok. Sedangkan rumusan mengenai karakter utama warganegara yang cerdas
dan baik adalah bahwa warganegara Indonesia yang cerdas dan baik itu
adalah mereka yang secara ajek memelihara dan mengembangkan cita-cita
dan nilai demokrasi sesuai perkembangan jaman, dan secara efektif dan
langgeng menangani dan mengelola krisis yang selalu muncul untuk
kemaslahatan masyarakat Indonesia sebagai bagian integral dari
masyarakat global yang damai dan sejahtera.
Dari kedua konsep dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa paradigma
pendidikan demokrasi yang digagaskan adalah pendidikan demokrasi yang
bersifat multidimensional atau multidimensional citizenship education
(Cogan, 1998). Sifat multidimensionalitasnya itu terletak dalam asumsi
positif dan programatiknya yang menyangkut individu, negara, dan
masyarakat global; tujuannya yang diarahkan pada semua dimensi
kecerdasan (spiritual, rasional, emosional, dan sosial); latarnya
(setting) yang mencakup seluruh jalur dan jenjang pendidikan; dan
pengalaman belajarnya yang terbuka, fleksibel, dan bervariasi merujuk
kepada dimensi tujuannya. Paradigma ini berbeda dengan paradigma
pendidikan demokrasi yang pernah ada pada saat ini yang didasarkan pada
asumsi normatif kepentingan politik, tujuan yang kenyataannya
monodimensional dan atomistik, tidak ada interaksi antarlatar pendidikan
(setting), dan pengalaman belajar yang serba terbatas antara lain
bersifat test-driven atau hanya digiring untuk lulus tes dan bukan untuk
mampu hidup yang demokratis di masyarakat.
Bila ditampilkan dalam wujud program pendidikan, paradigma baru ini
menuntut hal-hal sebagai berikut (Gandal dan Finn, 1992; Bahmuller,
1996; Winataputra; 1999): Pertama, memberikan perhatian yang cermat dan
usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang hakikat
dan karakteristik aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang berkembang di
Indonesia. Kedua, mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang
sengaja dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi
bagaimana cita-cita demokrasi telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan
dan praktek di berbagai belahan bumi dan dalam berbagai kurun waktu.
Ketiga, tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu
mengeksplorasi sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab
persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di
negaranya itu secara jernih. Keempat, tersedianya sumber belajar yang
dapat memfasilitasi siswa untuk memahami penerapan demokrasi di negara
lain sehingga mereka memiliki wawasan yang luas tentang ragam ide dan
sistem demokrasi dalam berbagai konteks. Kelima, dikembangkannya kelas
sebagai democratic laboratory, lingkungan sekolah/kampus sebagai micro
cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open global classroom
yang memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam situasi
berdemokrasi, dan untuk tujuan melatih diri sebagai warganegara yang
demokratis atau learning democracy, in democracy, and for democracy.
METODOLOGI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN (PENDIDIKAN DEMOKRASI)
Secara tradisional, khususnya di Indonesia, baik dalam rangka mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau
sebelumnya Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun dalam rangka
Penataran P-4, demokrasi terkesan lebih banyak diajarkan atau
tought dan bukan dipelajari atau learned dengan peran
guru/dosen/penatar/manggala yang lebih dominan. Karena itu situasi
kelasnya pun, dengan meminjam istilah Flanders (1972) lebih bersifat
dominative dan bukan integrative. Dampak instruksional dan pengiringnya
pun tentu tak bisa dielakkan lagi lebih bersifat pengetahuan atau
knowledge oriented. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa bangsa
Indonesia dalam berbagai lapisan sosial terkesan belum bisa menjalankan
cita-cita, nilai, dan prinsip demokrasi (Asia Foundation, 1998).
Keadaan itulah yang ingin diatasi melalui upaya dikembangkannya
paradigma baru pendidikan kewarganegaraan yang urgensinya tampak begitu
kuat, sebagaimana ditemukan dalam National Survey: Needs-Assessment for
New Indonesian Civic Education (CICED, 1999).
Sebagaimana dirumuskan sebelumnya, paradigma baru pendidikan
kewarganegaraan, yang nota bene tercakup pendidikan demokrasi dan HAM
didalamnya, secara metodologis menuntut perbaikan dalam ketiga
dimensinya, yakni dalam curriculum content and instructional strategies;
civic education classroom; and learning environment (CICED, 1999a).
Pertama, diyakini bahwa isi kurikulum dan strategi pembelajarannya
ditekankan bahwa “…for all levels of schools should be carefully
selected and dynamically organized integratedly upon the bases of
democratic ideals, values, norms, and moral; psychologically relevant to
individual development, contextually relevant to various learning
environment, and scientifically sound” (CICED, 1999a). Implikasi dari
semua prinsip tersebut adalah bahwa kurikulum dan strategi pembelajaran
pendidikan demokrasi seyogyanya dikembangkan secara sistemik (lintas
jenjang, jalur, dan bidang), dengan konsep dasar demokrasi yang
komprehensif (utuh dan lengkap), dan dengan organisasi kurikulum yang
berdiversifikasi merujuk kepada life cycle anak (perkembangan kognitif,
afektif, sosial-moral, dan skill); serta lingkungan belajar setempat
(desa, kota). Dengan kata lain, kurikulum pendidikan demokrasi
seyogyanya mengandung aspek ideal yang bersifat nasional, aspek
instrumental yang bercorak ragam, dan aspek praksis yang adaptif
terhadap lingkungan setempat. Oleh karena itu dalam pengembangan
kurikulum dan strategi pembelajaran pendidikan demokrasi dan HAM,
seyogyanya melibatkan para ahli dan praktisi pendidikan kewarganegaraan;
para ahli dan praktisi disiplin sosial terkait seperti: politik, hukum,
sejarah, sosiologi, antropologi, geografi; dan wakil birokrat
pemerintahan daerah dan tokoh masyarakat setempat dan LSM terkait. Isi
inti kurikulum seyogyanya mengandung muatan nasional, muatan regional,
dan muatan lokal.
Yang perlu dijadikan muatan nasional adalah pilar-pilar demokrasi
konstitusional Indonesia yakni cita-cita, nilai, dan prinsip demokrasi
Indonesia yang: berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan jaminan
hak asasi manusia, berdasarkan kedaulatan rakyat, bertujuan
mencerdaskan bangsa, menerapkan prinsip pembagian kekuasaan negara,
mengembangkan otonomi daerah, menegakkan rule of law, mengembangkan
sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak, mengutamakan
kesejahteraan rakyat, dan melaksanakan prinsip keadilan sosial (UUD
1945; Sanusi, 1998; CICED, 1999). Pilar-pilar itu dapat pula
dibandingkan dengan, dan jika perlu diadaptasi seperlunya sokoguru
demokrasi yang dianggap bersifat universal ala demokrasi liberal Amerika
(USIS, 1991) yang mencakup: “kedaulatan rakyat; pemerintahan yang
berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; kekuasaan mayoritas;
hak-hak minoritas; jaminan hak asasi manusia; pemilihan yang bebas dan
jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang wajar; pembatasan
pemerintahan secara konstitusional; pluralisme sosial, ekonomi dan
politik; dan nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama, dan
mufakat”. Perbedaan yang mendasar dari sokoguru demokrasi tersebut,
adalah bahwa dalam pilar demokrasi konstitusional Indonesia secara
eksplisit mendasarkan pada nilai-nilai dan prinsip yang dikandung oleh
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kedua, kelas pendidikan kewarganegaraan seyogyanya dilihat dan
diperlakukan, artinya dikembangkan sebagai “…laboratory for democracy
where the spirit of citizenship and humanity emanating from the ideals
and values of democracy are put into the actual practice by learners and
teachers as well. In such a classroom learners and teachers should
collaboratively develop and share democratic climate where decision
making process is acquired and learned” (CICED, 1999a). Profil
konseptual kelas pendidikan kewarganegaraan yang digagaskan di atas,
harus dikembangkan untuk menggantikan kelas pendidikan
kewarganegaraan/pendidikan demokrasi saat ini yang bersifat lebih
dominatif dan indoktrinatif. Yang perlu digarisbawahi di situ adalah
perwujudan semangat kewarganegaraan dan kemanusiaan, yakni civic virtue
yang menjadi inti nilai demokrasi, dalam prilaku interaktif guru-siswa
dan siswa-siswa, dan penciptaan iklim demokratis dalam rangka
pengambilan keputusan. Untuk itu maka proses pembelajaran pendidikan
demokrasi perlu dikembangkan dengan menerapkan pendekatan belajar yang
bersifat memberdayakan siswa. Dengan demikian kelas pendidikan demokrasi
akan berubah dari yang selama ini bersifat dominatif menjadi
integratif.
Pendekatan pembelajaran yang disarankan untuk dikembangkan adalah
yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan masalah.
Salah satu model pembelajaran yang kini secara internasional diterapkan
secara adaptif adalah model “We the People…Project Citizen” (CCE,
1992-2000). Model ini dikenal sebagai A portfolio-based civic education
project yang dirancang untuk mempraktekkan salah satu hak warganegara,
yakni the right to try to influence the decision people in his/her
government make about all of those problems (CCE, 1998), dengan cara
melibatkan siswa melalui suatu “proyek belajar” yang secara prosedural
menerapkan langkah-langkah sebagai berikut:
- Identify a problem to study;
- Gather Information;
- Examine Solutions;
- Develop students’ own public policy; and
- Develop an Action Plan.
Seluruh kegiatan siswa dengan langkah-langkah tersebut diakhiri
dengan penyajian hasil proyek dalam bentuk Portfolio di hadapan para
pejabat publik terkait untuk mendapat tanggapan, dan bila perlu
dijadikan masukan bagi pembuatan kebijakan publik di daerahnya. Hasilnya
ternyata bukan saja siswa menjadi lebih peka dan tanggap terhadap
masalah kebijakan publik tetapi lebih jauh, di banyak negara seperti di
beberapa negara bagian di USA, beberapa kota di Italia, Bosnia, Rusia,
Nigeria, Mongolia, Croatia, Polandia, Ceko, Ukraina, Macedonia, Mesir,
Turki, Irlandia, Canada, Slovenia, Rumania, Jerman, Philippina,
Kazkastan, dan beberapa negara emerging democracies lainnya (CIVITAS,
2000), temuan proyek siswa itu benar-benar diadopsi oleh pemerintah
setempat sebagai bagian dari kebijakan publik di daerahnya.
Dengan demikian para guru dan siswa dapat melakukan refleksi betapa
bermanfaatnya nilai dan prinsip demokrasi diterapkan dalam kehidupan di
sekolah yang diintegrasikan dengan kehidupan di dalam masyarakatnya. Di
situlah kelas pendidikan demokrasi benar-benar dikembangkan sebagai
laboratorium demokrasi yang tidak dibatasi oleh empat dinding ruangan
kelas. Untuk Indonesia, model tersebut telah diadaptasi menjadi model
“Proyek Kewarganegaraan…Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI) yang kini sedang
diujicobakan oleh CICED bekerjasama dengan Kanwil Depdiknas Jawa Barat
dan Pusbangkurrandik. Uji coba dilakukan di enam SLTP Negeri di sekitar
Bandung, Jawa Barat, yang akan berlangsung selama satu caturwulan mulai
bulan Agustus sampai dengan Nopember 2000.
Ketiga, pada saat bersamaan lingkungan masyarakat sekolah dan
masyarakat yang lebih luas seyogyanya juga dikondisikan untuk menjadi
spiral global classroom (CICED, 1999a). Dengan demikian kesenjangan yang
melahirkan kontroversi atau paradoksal antara yang dipelajari di
sekolah dengan yang sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan masyarakat
secara sistimatis dapat diminimumkan. Hal inilah yang ingin dijembatani
oleh model “We the People…Project Citizen” atau “Proyek Kewarganegaraan…
Kami Bangsa Indonesia”.
Jika ketiga unsur baru dalam paradigma pendidikan kewarganegaraan itu
mulai dicoba penerapannya di Indonesia, diperkirakan pendidikan
demokrasi yang diprogramkan dalam wadah pendidikan kewarganegaraan
secara perlahan akan meningkat lebih menantang, lebih efektif, dan lebih
bermanfaat bagi pengembangan demokrasi dalam dan melalui pendidikan.
Tentu saja hal ini menuntut perubahan cara berpikir, terutama dari para
pengambil keputusan pendidikan di pusat dan di daerah, para pengembang
kurikulum, para penulis buku, para administrator pendidikan, para guru,
para pejabat daerah dalam menyikapi dan memprogramkan pendidikan
demokrasi dan HAM sebagai bagian integral dari pendidikan
kewarganegaraan dan proses demokratisasi secara keseluruhan.
KESIMPULAN
Bila ditampilkan dalam wujud program pendidikan, paradigma baru ini
menuntut hal-hal sebagai berikut (Gandal dan Finn, 1992; Bahmuller,
1996; Winataputra; 1999): Pertama, memberikan perhatian yang cermat dan
usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang hakikat
dan karakteristik aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang berkembang di
Indonesia. Kedua, mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang
sengaja dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi
bagaimana cita-cita demokrasi telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan
dan praktek di berbagai belahan bumi dan dalam berbagai kurun waktu.
Ketiga, tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu
mengeksplorasi sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab
persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di
negaranya itu secara jernih. Keempat, tersedianya sumber belajar yang
dapat memfasilitasi siswa untuk memahami penerapan demokrasi di negara
lain sehingga mereka memiliki wawasan yang luas tentang ragam ide dan
sistem demokrasi dalam berbagai konteks. Kelima, dikembangkannya kelas
sebagai democratic laboratory, lingkungan sekolah/kampus sebagai micro
cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open global classroom
yang memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam situasi
berdemokrasi, dan untuk tujuan melatih diri sebagai warganegara yang
demokratis atau learning democracy, in democracy, and for democracy.
Pendekatan dan metodologi pembelajaran yang disarankan untuk
dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan
pemecahan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Center for Indonesian Civic Education (CICED). 2000c. Panduan “Proyek Kewarganegaraan…Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI), Bandung.
Gandal, J.E. dan Finn,E.S. 1992. Education for Democracy, Calabasas: CCE.
Wahab, A.A. 1999. Pengembangan Konsep dan Paradigma Pendidikan
Kewarganegaraan Baru Indonesia bagi Terbinanya Warganegara
Multidimensional Indonesia, Bandung: CICED.
Sumber dari:
http://elearningpendidikan.com/paradigma-pendidikan-kewarganegaran-pendidikan-demokrasi-di-indonesia.html
akses tanggal, 18 Februari 2012